Rabu, 14 Desember 2011

NERACA HARA DAN KARBON DALAM SISTEM AGROFORESTRI


1. Konsep dasar siklus hara dalam sistem agroforestri

1.1 Siklus hara
Di dalam ekosistem, hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan bagian yang paling dinamis. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk dipergunakan dalam proses-proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah berupa daun dan ranting serta cabang yang rontok. Bagian akar tanaman memberikan masukan bahan organik
melalui akar-akar dan tudung akar yang mati serta dari eksudasi akar. Di dalam system agroforestri sederhana, misalnya sistem budidaya pagar, pemangkasan cabang dan ranting tanaman pagar memberikan masukan bahan organik tambahan. Bahan organik yang ada di permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah selanjutnya akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah.
Istilah siklus hara ini di dalam sistem agroforestri sering diartikan sebagai penyediaan hara secara terus menerus (kontinyu) bila ditinjau dari konteks hubungan tanaman-tanah. Dalam konteks yang lebih luas, penyediaan hara secara kontinyu ini melibatkan juga masukan dari hasil pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan transformasi lain yang ada di biosfir, lithosfir dan hidrosfir.
Hara hasil mineralisasi dari bahan organik tanah (BOT), mineral tanah dan dari pemupukan memasuki pool hara tersedia dalam tanah. Hara tersedia selanjutnya dapat diserap oleh tanaman, atau mengalami imobilisasi karena adanya khelat oleh bahan organik tanah atau mineral tanah. Hara tersedia yang berada di dalam larutan tanah dapat terangkut oleh pergerakan air tanah keluar dari jangkauan perakaran tanaman sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Dengan kata lain hara tersebut telah mengalami pencucian (leaching).
Beberapa hara terutama dalam bentuk anion sangat lemah diikat oleh partikel liat dan memiliki tingkat mobilitas tinggi (misalnya nitrat), sehingga hara ini mudah mengalami pencucian. Di lain pihak hara dalam bentuk kation (misalnya kalium), gerakannya sangat
ditentukan oleh kapasitas pertukaran tanah.
Di dalam ekosistem hutan alami tercipta “siklus hara tertutup” yaitu suatu sistem yang memiliki jumlah kehilangan hara lebih rendah dibandingkan dengan jumlah masukan hara yang diperoleh dari penguraian seresah atau dari serap ulang (recycle) hara pada lapisan tanah dalam. Atau dengan kata lain sistem hutan tersebut memiliki daya serap ulang yang tinggi (efisiensi penggunaan hara tinggi), sedang sistem pertanian memiliki siklus hara yang ‘terbuka’ atau ‘bocor’ karena memiliki jumlah kehilangan hara yang besar. Sistem
agroforestri berada diantara ke dua sistem tersebut di atas.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akhir-akhir ini pada sistem agroforestri, ada 3 proses utama yang terlibat dalam siklus hara :
(1) Fiksasi N dari udara: peningkatan jumlah N hasil penambatan dari udara bila tanaman legume yang ditanam,
(2) Mineralisasi bahan organik: peningkatan jumlah hara dari hasil mineralisasi serasah dan dari pohon yang telah mati,
(3) ‘Serap ulang’ hara: peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar pepohonan yang menyebar cukup dalam. Akar pepohonan juga mengurangi jumlah kehilangan hara melalui erosi dengan jalan memperlambat laju aliran permukaan dan
meningkatkan air infiltrasi karena adanya perbaikan porositas tanah.

1.2 Siklus karbon (C)
Kebanyakan CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian
akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati.
Ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah adalah:
(a) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen;
(b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar;
(c) biota.
Serasah dan akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sedangkan kehilangan C dari dalam tanah
dapat melalui (a) respirasi tanah, (b) respirasi tanaman, (c) terangkut panen, (d) dipergunakan oleh biota, (e) erosi.

2. Ketersediaan BOT dan hara di daerah tropis

2.1 Fungsi BOT
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber ('source') dan pengikat ('sink') hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat-sifat kimianya.. Aktivitas mikroorganisma dan fauna tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas.
Telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa pelapukan BO dapat mengikat /mengkhelat Al dan Mn oleh asam-asam organik, sehingga dapat memperbaiki lingkungan pertumbuhan perakaran tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Hasil mineralisasi BO
dapat meningkatkan ketersediaan hara tanah dan nilai kapasitas tukar kation tanah (KTK), sehingga kehilangan hara melalui proses pencucian dapat dikurangi.

2.2 Ketersediaan BOT di daerah tropik
Tanah-tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki kandungan bahan organik yang sangat rendah di lapisan atas. Pada tanah yang masih tertutup vegetasi permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di lapisan atas masih sangat tinggi.
Perubahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan kadar BOT menurun dengan cepat. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa alasan:
• Pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi.
• Pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik.
Menurunnya kandungan BOT ini sangat mudah dikenali di lapangan antara lain tanah berwarna pucat dan padat




3. Pengukuran kandungan BOT
Indikasi penurunan BOT biasanya diukur dari kadar C-total dan N-total sehingga diperoleh nilai nisbah C/N, yang selanjutnya oleh model simulasi dapat dipakai untuk menaksir ketersedian hara dari mineralisasi bahan organik. Namun penelitian terakhir membuktikan
bahwa kadar C-total bukan merupakan tolok ukur yang akurat, karena hasil dari pengukuran tersebut diperoleh berbagai macam BOT. BOT lambat lapuk dan pasif (stabil) berada dalam tanah sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Kelompok ini meliputi asam-asam organik dan bahan organic yang terjerap kuat oleh liat yang tidak tersedia bagi tanaman dan biota.
Pemahaman petani: Tanah dingin – tanah kaya bahan organik
Dalam mengenali tingkat kesuburan tanah, banyak sekali indikator-indikator yang digunakan, tetapi tidak dapat langsung dipahami oleh petani. Petani lokal memiliki istilah yang berbeda beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Misalnya petani transmigrasi di Lampung mengamati bahwa tanah yang warnanya hitam pada umumnya adalah tanah yang kandungan bahan organiknya tinggi. Di kalangan petani, istilah bahan organik ini di lapangan lebih dikenal sebagai 'humus' atau 'kompos'. Tanah hitam itu disebut juga sebagai tanah ‘dingin’, yang sifatnya sangat berbeda dengan tanah ‘panas’ yang terlalu terbuka terhadap sinar matahari dan tidak subur. Tanah ‘dingin’ adalah tanah yang subur, mudah diolah (gembur), selalu lembab, dan sangat sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Ada pula petani yang mengukur tingkat kesuburan tanahnya berdasarkan
tingkat ketersediaan 'humus' yang ditunjukan oleh tingkat ke’gembur’an, dan ke’bongkor’an. Tanah bongkor menurut petani adalah tanah-tanah yang ditelantarkan karena tanah telah keras, tidak bias ditanami lagi sehingga ditumbuhi alang-alang atau gulma lainnya sehingga produksi tanaman terus menurun, dan akhirnya ditelantarkan. Oleh karena itu istilah tanah bongkor yang digunakan oleh petani seringkali diterjemahkan sebagai tanah tidak subur, walaupun hal tersebut tidak selalu benar (beberapa petani mengatakan tanahnya ‘bongkor’ karena ketersediaan tenaga kerja terbatas). Petani menyadari bahwa tanah dingin itu perlu dipertahankan. Supaya tanah tetap ‘dingin’, lapisan serasah di permukaan tanah harus dipertahankan, seperti yang terdapat di hutan. Kenyataannya, sangatlah sulit mempertahankan kondisi tersebut pada lahan yang diusahakan untuk pertanian, terutama jika dilakukan pengolahan tanah secara intensif untuk pemberantasan gulma atau untuk persemaian. Usaha menggemburkan tanah melalui pengolahan tanah tersebut akan mempercepat hilangnya lapisan organik tanah, bila tidak diimbangi dengan masukan bahan organik secara terus menerus.
Pada prinsipnya (berdasarkan fungsinya) bahan organik tersusun dari komponen labil dan stabil. Komponen labil terdiri dari bahan yang sangat cepat didekomposisi pada awal proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang tahan terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang terdahulu. Umur paruh (turnover: adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik sampai habis) dari fraksi labil dan stabil ini bervariasi dari beberapa bulan saja sampai ribuan tahun. Hasil percobaan isotop menunjukkan bahwa fraksi BOT dapat sangat stabil dalam tanah sampai lebih dari 9.000 tahun. Sekitar 60-80 % BOT dalam tanah-tanah pada umumnya terdiri dari substansi
humus.

Fraksi Labil
Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun. Komponen BOT labil terdiri dari 3 kelompok :
• Bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman seperti karbohidrat, asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida.
• Bahan yang agak lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin, lignin dan hemiselulosa.
• Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass ) dan bahan residu recalcitrant lainnya.
Fraksi labil berperanan sangat penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Biomasa mikrobia sangat penting dalam mempertahankan
status BOT yang berperanan sebagai source dan sink bagi ketersediaan hara karena daur hidupnya relatif singkat.
Faktor iklim makro yang menentukan kecepatan dekomposisi fraksi adalah temperatur dan kelembaban tanah serta keseimbangan biomasa mikrobia. Di daerah tropika basah yang memiliki resim temperatur isothermik atau isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang beragam sangat menentukan perkembangan populasi mikrobia tanah sehingga berpengaruh besar tehadap kecepatan dekomposisi komponen labil BOT.
Substansi Humik: Fraksi Stabil

Komponen BOT yang paling sulit dilapuk adalah asam-asam humik. Asam-asam ini merupakan hasil pelapukan seresah (substansi organik menyerupai lignin) atau kondensasi substansi organik terlarut yang dibebaskan melalui dekomposisi gula, asam amino, polifenol dan lignin. Jadi bisa dikatakan bahwa substansi humik adalah produk akhir dekomposisi BOT oleh mikrobia.
Ketahanan susbstansi humik terhadap proses dekomposisi disebabkan konfigurasi fisik maupun struktur kimia yang sulit dipecahkan oleh mikrobia. Substansi ini secara fisik terikat kuat dengan liat dan koloidal tanah lainnya, atau dapat juga karena letaknya didalam agregat-mikro (Hassink, 1995 ; Matus, 1994) dan ditambah lagi dengan adanya hyphae ataupun akar-akar halus.
Kontribusi substansi humik terhadap ketersediaan hara masih belum banyak diketahui, karena waktu turnover-nya yang terlalu panjang. Namun demikian pool stabil dari bahan organik ini tetap memegang peranan penting sebagai biological ameliorant terhadap unsure beracun bagi tanaman, juga sangat berperanan dalam pembentukan agregat tanah dan pengikatan kation dalam tanah. Peranan sebagai pengikat kation lebih diutamakan karena pada tanah-tanah masam BOT merupakan satu-satunya fraksi tanah bermuatan positif.

3.1 Mempertahankan Kandungan BOT
Bahan organik tanah memberikan pengaruh yang menguntungkan bukan hanya pada sifat kimia, tetapi juga sifat fisik dan biologi tanah. Untuk mendapatkan kondisi tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, diperlukan adanya BOT (C-total) di lapisan atas paling
sedikit 2 % (Young, 1989). Jumlah ini didasarkan pada taksiran kasar saja, karena kandungan bahan organik tanah yang optimal berhubungan erat sekali dengan kandungan liat dan pH tanah.
Kandungan bahan organik tanah yang optimal harus dikoreksi dengan kandungan liat dan pH tanahnya (Cref). Perhitungan sederhana telah dikembangkan oleh Van Noordwijk et al.
(1997) adalah sebagai berikut: Cref = (Zcontoh/ 7.5)0.42 exp(1.333 + 0.00994* %liat + 0.00699* %debu – 0.156*pHKCl + 0.000427 *
ketinggian tempat)
Persamaan 2.
di mana: Z contoh = kedalaman pengambilan contoh tanah, cm
Ketinggian tempat = m di atas permukaan laut.
Persamaan ini berlaku untuk semua lahan kering dan tanah volkanik muda. Dengan demikian dapat ditetapkan kejenuhan bahan organik tanah (Ctotal/Cref ) yaitu nisbah antara kandungan total bahan organik tanah (Ctotal atau Corg) pada kondisi sekarang
dengan kandungan bahan organik tanah yang dikoreksi (Cref).
Hubungan antara kondisi BOT yang telah dikoreksi dengan kandungan liat tanah (Ctot / Cref) dengan kandungan liat pada tanah hutan (pH 4.0) di Sumatra (Van Noordwijk, personal com.) disajikan pada Gambar 4.. Dari gambar tersebut dapat dipelajari bahwa BOT sejumlah 2 % adalah merupakan jumlah maksimum yang dapat diperoleh pada tanah pasir. Untuk tanah liat, jumlah kandungan BOT sekitar 2 % berarti tanah tersebut telah kehilangan C-organik sekitar 50% dari jumlah maksimum. Maka jumlah BOT 2 % yang dikemukakan oleh Young (1989) tersebut di atas menjadi terlalu tinggi untuk tanah pasir dan terlalu rendah untuk tanah liat. Oleh karena itu target rata-rata untuk berbagai jenis tanah sebaiknya sekitar 2.5- 4 %. Untuk mempertahankan kondisi, tanah pertanian harus selalu ditambah bahan organik minimal sebanyak 8 - 9 ton ha-1 setiap tahunnya (Young, 1989).

4. Peranan agroforestri dalam mempertahankan kandungan BOT
dan ketersediaan hara dalam tanah
Pohon memberikan pengaruh positif terhadap kesuburan tanah, antara lain melalui:
(a) peningkatan masukan bahan organik
(b) peningkatan ketersediaan N dalam tanah bila pohon yang ditanam dari keluarga leguminose,
(c) mengurangi kehilangan bahan organic tanah dan hara melalui perannya dalam mengurangi erosi, limpasan permukaan dan
pencucian,
(d) memperbaiki sifat fisik tanah seperti perbaikan struktur tanah, kemampuan menyimpan air (water holding capacity), (e) dan perbaikan kehidupan biota.
Tabel 1. Hipotesis Pengelolaan Tanah secara Biologi untuk Penggunaan Lahan yang Berkelanjutan
A Lewat proses-proses dalam tanah
1. Mengurangi erosi tanah.
2. Mempertahankan kandungan bahan organik tanah
3. Memperbaiki dan mempertahankan sifat fisik tanah (lebih baik dibanding tanaman semusim).
4. Menambah jumlah kandungan N tanah melalui fiksasi N dari udara oleh tanaman legume
5. Sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci di lapisan tanah bawah, dan menciptakan daur ulang ke lapisan tanah atas melalui mineralisasi seresah yang jatuh di permukaan tanah.
6. Membentuk kurang lebih sistem ekologi yang tertutup (yaitu menahan semua, atau hampir semua, atau sebagian besar unsur hara di dalam sistem)
7. Mengurangi kemasaman tanah (melalui pelepasan kation dari hasil mineralisasi seresah)
8. Mereklamasi tanah yang terdegradasi
9. Memperbaiki kesuburan tanah lewat masukan biomass dari sistem perakaran pohon dan kontribusi dari bagian atas pohon 10.Memperbaiki aktivitas biologi tanah dan mineralisasi N lewat naungan pohon
11.Memperbaiki asosiasi mikoriza lewat interaksi tanaman dan pohon
B Lewat interaksi biofisik
12.Memperbaiki penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral, sehingga meningkatkan produksi biomass.
13.Memperbaiki efisiensi penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral yang dipakai.
14.Terhindar dari penyebaran dan kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit
C Keuntungan lingkungan yang lain dari pohon atau semak
15.Meningkatkan fiksasi N pohon legume melalui peningkatan jumlah bintil akar bila akar pohon legume tersebut tumbuh berdekatan atau kontak langsung dengan akar tanaman bukan pemfiksasi N (mungkin
dikarenakan adanya perpindahan langsung dari unsur N atau rendahnya ketersediaan N dalam tanah yang meningkatkan efektifitas bintil akar)
16.Tajuk pohon dapat melindungi tanah dari bahaya erosi
17.Pepohonan memberikan peneduh bagi tanaman yang membutuhkan naungan (misalnya kopi) dan menekan populasi rerumputan yang tumbuh dibawahnya.

4.1 Sumbangan bahan organik dalam sistem agroforestri
Masukan bahan organik melalui hasil pangkasan pohon
Pepohonan dalam sistem agroforestri memberikan masukan bahan organik melalui daun, ranting dan cabang yang telah gugur di atas permukaan tanah. Di bagian bawah (dalam tanah), pepohonan memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar yang telah mati, tudung akar yang mati, eksudasi akar dan respirasi akar.
Banyaknya masukan bahan organik dalam sistem budidaya pagar = hedgerow intercropping. Pohon ditanam berbaris sebagai pagar. Lorong yang terbentuk di antara baris pohon ditanami tanaman semusim. Tajuk tanaman pagar dipangkas secara rutin bila telah mulai menaungi tanaman semusim. Semua hasil pangkasan dikembalikan ke dalam petak lahan sebagai mulsa, namun cabang yang garistengahnya lebih dari 5 cm diangkut keluar lahan. Beberapa jenis tanaman pagar dari keluarga leguminosa yang ditanam yaitu Calliandra yang dapat memberikan hasil biomasa tertinggi dibanding jenis pohon lainnya , dadap minyak (Erythrina) memberikan hasil terendah. Gamal (Gliricidia) dan petaian (Peltophorum) atau kombinasi keduanya dapat memenuhi target masukan bahan organik ke dalam tanah dengan jumlah produksi rata-rata 8 ton ha-1 setiap tahunnya. Masukan N yang berasal dari bahan organic ini ke dalam tanah berkisar antara 100 - 270 kg N ha-1. Bila ditinjau dari besarnya masukan bahan organik asal pangkasan ini, nampaknya sistem budidaya pagar dapat memberikan harapan baru bagi petani dalam mengelola kesuburan tanah di lahannya. Tetapi sistem ini tampaknya kurang diminati atau disukai petani.

Masukan seresah dari daun yang gugur
Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Contoh dari tanah masam, pohon petaian (Peltophorum) monokultur memberikan masukan serasah (daun,
batang, ranting yang jatuh) sekitar 12 ton ha-1 th-1; gamal (Gliricidia) monokultur sekitar 5 ton ha-1 th-1. Sedang hutan sekunder memberikan masukan sekitar 8-9 ton ha-1 th-1.
Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan dan mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan oraganik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan tersebut dilapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan. Wasrin et al. (1997) melaporkan akumulasi bahan organik pada berbagai sistem berbasis pohon
Tabel Total masukan biomas tajuk rata-rata per tahun yang merupakan hasil pangkasan rata-rata tiga kali setahun, kandungan N daun dan total masukan N ke dalam tanah.
Jenis tanaman          Berat Kering    N(%)        N-total(kg ha-1)
Tajuk (ton ha -1)
Dadap (Erythrina)     4.5             2.4         108
Lamtoro (Leucaena)     6.0             3.0         180
Gamal (Gliricidia)     8.0             2.9         232
Petaian (Peltophorum) 8.0             1.7         136
Gamal/petaian         8.0             2.7         216
Calliandra 1        0.0             2.7         270

Tabel Biomasa serasah pada permukaan tanah berbagai sistem penggunaan lahan berbasis pohon
Sistem Penggunaan Lhn      Brt kering Serasah,ton ha -1 Ttl ton
         Kayu     Non kayu         tonha-1
Htn Primer diPasirMayang         1.72         2.23            3.95
Htn Primer diRantauPandan         0.98         1.80             2.78
Hutan Bekas tebangan          2.88         3.06             5.94
HTI monokultur (sengon)         3.09         4.14             7.23
Agroforest Karet (20 th)         0.74         1.80             2.54
Agroforest Karet                 0.93         1.35             2.28
Kebun durian                 2.25         3.16             5.41
Kebun karet muda (5 th)         1.56         2.38             3.94
Hutan alami sekunder             2.96         3.07             6.03

Penebangan hutan meningkatkan jumlah akumulasi serasah terutama dalam bentuk kayu (cabang dan ranting). Pada sistem berbasis pohon ini akumulasi serasah pada permukaan tanah bervariasi berkisar antara 3-7 ton ha-1. Bila kandungan C dalam biomas sekitar 45 %, maka masukan C ke dalam tanah sekitar 1.5 – 3 ton ha-1.

4.2 Kualitas bahan organik
Pemberian bahan organik ke dalam tanah seringkali memberikan hasil yang kurang memuaskan, sehingga banyak petani tidak tertarik untuk melakukannya. Hal ini disebabkan kurangnya dasar pengetahuan dalam memilih jenis bahan organik yang tepat. Pemilihan jenis bahan organik sangat ditentukan oleh tujuan pemberian bahan organik tersebut. Tujuan pemberian bahan organik bisa untuk penambahan hara atau perbaikan sifat fisik seperti mempertahankan kelembaban tanah yaitu sebagai mulsa. Pertimbangan pemilihan jenis bahan organik didasarkan pada kecepatan dekomposisi atau melapuknya. Bila bahan organik akan dipergunakan sebagai mulsa, maka jenis bahan organik yang dipilih adalah dari jenis yang lambat lapuk. Apabila digunakan untuk tujuan pemupukan bisa dari jenis yang lambat maupun yang cepat lapuk.
Kecepatan pelapukan suatu jenis bahan organik ditentukan oleh kualitas bahan organic tersebut. Penetapan kualitas dilakukan dengan menggunakan seperangkat tolok ukur, yang berbeda-  beda.untuk setiap jenis unsur hara.
• Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur N, yang ditentukan oleh besarnya kandungan N, lignin dan polifenol. Bahan organik dikatakan berkualitas tinggi bila kandungan N tinggi, konsentrasi lignin dan polifenol rendah. Nilai kritis konsentrasi N adalah 1.9 % ; lignin > 15 % dan polifenol > 2 %. Tolok ukur lain yang
juga penting adalah tingginya sinkronisasi saat ketersediaan hara dengan saat tanaman membutuhkannya.
• Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur P ditentukan oleh konsentrasi P dalam bahan organik. Nilai kritis kadar P dalam bahan organik adalah 0.25 %.
Hasil analisis beberapa variabel yang dipakai sebagai tolok ukur kualitas bahan organik akan sangat membantu petani dalam memilih jenis bahan organik yang sesuai dengan kebutuhannya
4.3 Efisiensi penggunaan hara
Penambahan bahan organik ke dalam tanah baik melalui pengembalian sisa panen, kompos, pangkasan tanaman penutup tanah dan sebagainya dapat memperbaiki cadangan total BOT
(capital store C). Praktek pertanian secara terus-menerus akan mengurangi cadangan total C dan N dalam tanah. Apabila ada pemberaan maka secara bertahap kondisi tersebut akan pulih kembali. Dari semua unsur hara, unsur N dibutuhkan dalam jumlah paling banyak tetapi ketersediaannya selalu rendah, karena mobilitasnya dalam tanah sangat tinggi.
Kemampuan tanah dalam menyediakan hara N sangat ditentukan oleh kondisi dan jumlah bahan organik tanah. Tiga sumber utama N tanah berasal dari
(1) bahan organik tanah,
(2) N tertambat dari udara bebas oleh tanaman kacang-kacangan (legume) yang bersimbiosis dengan bakteri rhizobium dan
(3) dari pupuk anorganik. Pelapukan bahan organik di daerah tropik sangat cepat mengakibatkan N juga cepat dilepas dalam bentuk N-anorganik yang mudah tersedia bagi tanaman. Unsur N yang tersedia dalam jumlah besar ini tidak menjamin tercapainya produksi tanaman yang optimum

Komposisi Bahan Organik
Hasil pengukuran kandungan lignin, polifenolik dan total kation (Ca+Mg+K) pada beberapa jenis tanaman pepohonan di Lampung disajikan pada Tabel 5. Bahan organik asal pangkasan gamal
(Gliricidia) merupakan bahan yang paling cepat melepaskan unsur hara bila dibandingkan dengan seresah asal daun jambu karena kandungan ligninnya lebih tinggi. Seresah gamal akan cepat habis
terdekomposisi dalam waktu 4 minggu (Handayanto, 1997). Petaian memiliki kualitas lebih rendah dibanding gamal, bukan karena kandungan ligninnya, melainkan karena kandungan polifenoliknya
yang lebih tinggi. Dalam waktu 4 minggu petaian baru melepaskan sekitar sepertiga dari N yang dikandungnya.
Tabel  Konsentrasi total kation, nisbah C/N, Lignin : N (Lg/N), Polyphenolic : N (Pp/N) dari biomas yang dipakai dalam percobaan inkubasi.
Spesies     N%    C:N   L%  P%   Lg :N   Pp:N (Lg+Pp)/NS  kation
  cmol kg-1
1 Kaliandra     3.65  13.1  12   4.26   3.29    1.17   4.45       58.8
2 Petaian     2.47  13.6  19   4.76   7.69    1.93   9.62       58.4
3 Gamal      4.57  10.2  11   1.80   2.41    0.39   2.80       52.9
4 Lamtoro     3.28  14.8  12   2.30   3.66    0.70   4.36       42.1
5 Flemingia 3.22  17.6   9    2.59   2.80    0.80   3.60       36
6 Jambu air 2.81  8.73   2    0.32   11.4    0.11   11.5       88.9
7 Bulangan  6.11  6.7    28  1.10    4.58    0.18   4.76       126.2
8 Sungkai    5.85  9.0    37  1.56    6.33    0.27   6.59       72.5
9 Krinyu       1.88  27.7  32  2.33    17       1.24   18.3       100
10 Alang2    0.78  74     11  0.65    14       0.83   14.9       19.45

Penambahan bahan organik asal famili kacang-kacangan (legume) dapat melepaskan hara N sekitar 20 - 45 % dari jumlah total N yang terkandung di dalamnya (Handayanto et al., 1994) selama satu siklus tanaman semusim. Dari jumlah yang dilepaskan ternyata hanya sekitar 30 % nya yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman semusim. Timbul pertanyaan: mengapa hanya sedikit hara yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman semusim? Hal ini kemungkinan disebabkan saat tersedia N dalam tanah tidak bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya. Kondisi ini disebut sebagai sinkronisasi antara ketersediaan hara dan kebutuhan tanaman. Tingkat sinkronisasi ini ditentukan oleh kecepatan dekomposisi (melapuk) dan mineralisasi (pelepasan unsur hara) bahan organik.
Kecepatan melapuk bahan organik ditentukan oleh berbagai faktor antara lain kelembaban, suhu tanah dan kualitas bahan organik.
Bahan organik berkualitas tinggi akan cepat dilapuk dan akibatnya unsur hara (misalnya N) dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk tersedia. Jika yang ditanam adalah tanaman yang lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan organik dilapuk dan unsur hara N dilepaskan dalam jumlah maksimal, ternyata tanaman belum membutuhkan N dalam jumlah banyak. Dengan kata lain terjadi kelebihan N tersedia tetapi tidak bisa dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga N yang berlebih ini dapat hilang melalui pencucian dan penguapan
Sebaliknya pada saat tanaman tersebut membutuhkan N dalam jumlah banyak (ketika mencapai fase pertumbuhan cepat), ternyata N tersedia dalam tanah sudah tidak mencukupi lagi. Pengaruh yang berbeda akan dijumpai apabila bahan organik yang berkualitas rendah diberikan pada tanaman yang pertumbuhannya cepat. Pada saat tanaman membutuhkan unsur N dalam jumlah banyak, bahan organik belum termineralisasi, sehingga N tersedia dalam tanah tidak cukup. Dalam hal ini terjadi tingkat sinkronisasi rendah, di mana penyediaan hara lambat sementara tanaman telah membutuhkannya,
sehingga terjadi kekahatan hara
Idealnya, tanaman pagar harus mampu menghasilkan serasah dengan kemampuan melapuk cukup lambat untuk menekan kehilangan N yang dilepaskan, tetapi cukup cepat untuk menjamin ketersediaan N pada saat dibutuhkan tanaman. Kenyataannya, sangat sulit menemukan pohon yang memiliki sifat ideal seperti ini. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya pohon dengan serasah yang cepat melapuk ditanam bersama-sama dengan pohon yang memiliki serasah lambat lapuk.
Bila tidak ada masukan bahan organik ke dalam tanah akan terjadi masalah pencucian dan sekaligus kelambatan penyediaan hara. Pada kondisi seperti ini penyediaan hara hanya terjadi dari mineralisasi bahan organik yang masih terdapat dalam tanah,
sehingga mengakibatkan cadangan total C tanah semakin berkurang.
5. Neraca hara

Penyediaan lahan untuk pertanian kebanyakan dilakukan dengan cara menebang dan membakar pepohonan atau alang-alang (sistem tebang-bakar). Pembakaran vegetasi mengakibatkan hampir semua cadangan C dan N hilang, tetapi petani masih tetap memilih cara ini karena mudah dan murah. Cara ini dapat menambah pupuk secara cuma-cuma dari hasil pembakaran biomasa, dapat meningkatkan pH, P-tersedia dan kation basa dalam jumlah besar. Setelah pembakaran, tanah menjadi lebih subur dan bebas gulma, hama dan
penyakit, sehingga biasanya langsung ditanami tanaman pangan (misalnya ubikayu, jagung atau padi). Setelah beberapa tahun, produksi semakin rendah karena tanah semakin tidak subur. Salah satu penyebab turunnya produksi tanaman semusim adalah penurunan kesuburan tanah. Hal ini terjadi karena adanya pengangkutan hara keluar dari petak yang terjadi terus-menerus dalam jumlah besar melalui panen, pencucian dan erosi. Sementara itu jumlah hara yang kembali ke dalam tanah melalui daun yang gugur dan pengembalian sisa panen lebih sedikit dibanding hara yang diangkut ke luar, sehingga setiap tahun terjadi defisit hara. Akibatnya, tanaman pada musim berikutnya akan mengalami kahat hara, sehingga perlu diberi pupuk. Petani sering mengakui bahwa karena kekurangan modal untuk beli pupuk mengakibatkan produksi tanaman selalu menurun. Hal ini membuktikan bahwa jumlah hara tersedia dalam tanah lebih sedikit dibanding jumlah yang dibutuhkan
tanaman
Contoh kasus. Neraca C pada berbagai pola tanam
Pengukuran neraca karbon (C) dilakukan pada beberapa macam pola tanam berbasis ubikayu, budidaya pagar dan tumpang gilir tanaman leguminosa (kacang-kacangan).
Hasilnya menunjukkan bahwa pola tanam berbasis ubi kayu memberikan neraca C negatif (artinya jumlah C yang terangkut keluar > jumlah C yang kembali ke tanah), dengan jumlah yang terangkut
sebagai umbi dan batang sekitar 7 ton ha-1 th-1. Pola tanam budidaya pagar memberikan neraca C positif, di mana jumlah keluaran C yang terangkut panen sekitar 1.5 ton ha-1 th-1, dan masukan C sekitar 2.5 ton ha-1 th-1 sebagai biomas hasil pangkasan. Pola tanam tumpang gilir dengan tanaman kacang-kacangan penutup tanah menghasilkan kelebihan (surplus) masukan C ke dalam tanah sekitar 1.5 ton ha-1 th-1.
Sedang pada neraca N, pola tanam berbasis ubikayu (menghasilkan neraca negatif. Pola tanam budidaya pagar dan kacang-kacangan menghasilkan neraca positif. Pola tanam budidaya pagar memberikan neraca netral karena adanya pengangkutan N melalui biji kacang tunggak. Pada sistim budidaya pagar terjadi surplus N sekitar 15-50 kg ha-1; dan untuk sistim rotasi sekitar 10-20 kg ha-1.
Pola tanam berbasis ubikayu memberikan neraca N minus sekitar 60 kg ha-1 Hasil perhitungan ini belum memperhitungkan adanya kehilangan N melalui pencucian, erosi atau penguapan maupun besarnya masukan N dari hasil penambatan N dari udara oleh tanaman kacangkacangan.
Perhitungan neraca C dan N ini dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa selalu terjadi penurunan produksi ubikayu setelah hutan dikonversi menjadi lahan pertanian. Dengan sistem budi daya pagar, produksi jagung dapat meningkat sekitar 1.5 ton ha-1 (Van Noordwijk et al., 1995).
Mengingat produksi tanaman yang diperoleh per satuan tenaga kerja
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi dari pembukaan lahan baru, maka petani akan memilih membuka lahan baru dan meninggalkan lahan yang lama. Lahan pertanian yang telah terlantar tersebut akhirnya ditumbuhi gulma alang-alang (Imperata cylindrica
PT Uraian Pola Tanam
1 Ubikayu monokultur
2 Ubikayu + jagung + padi /kacang tanah
3 Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam petaian dicampur dengan gamal tumpang sari dengan jagung + padi / kacang tanah/kc. tunggak
4 Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam Flemingia tumpang sari dengan jagung + padi / kacang tanah/kc.tunggak
5 Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/ kacang tunggak
6 Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/koro benguk + berarti tumpang sari; / berarti dikuti oleh tanaman berikutnya atau tumpang gilir

6. Neraca C dalam WaNuLCAS
Pada prinsipnya parameter-parameter yang digunakan dalam model simulasi WaNuLCAS untuk mempelajari dinamika C sama dengan yang digunakan dalam model CENTURY
(Parton et al, 1997). Di dalam model simulasi WaNuLCAS, bahan organik terdiri dari pool ‘struktural’, ‘aktif’ dan ‘pasif’. Terminologi yang dipergunakan sama dengan yang telah diuraikan.
Pada agro-ecosistem tanpa olah tanah, di atas permukaan tanah terbentuk lapisan organik yang akan mengalami dekomposisi walaupun tidak ada kontak langsung dengan tanah mineral. Dinamika C dan N dalam lapisan organik tersebut berbeda dengan lapisan
tanah mineral pada setiap kedalaman, dikarenakan adanya ‘perlindungan fisik’ BOT terhadap serangan biota. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan kandungan liat, suhu dan ketersediaan air pada setiap kedalaman dalam profil tanah. Pembenaman bahan organik ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dapat disebabkan oleh adanya aktivitas biota atau adanya pengolahan tanah.
7. Latihan: Model Penyediaan Unsur Hara menggunakan model
WaNuLCAS
Tanah ini diklasifikasikan sebagai Grossarenic Kandiudult (Van der Heide et al., 1992), yang dicirikan oleh nilai KTK yang rendah, miskin hara dan bahan organik, pH rendah, tekstur agak berpasir tetapi liat meningkat di lapisan bawah, kejenuhan Al yang tinggi di lapisan bawah
. Data iklim yang digunakan adalah data yang diperoleh pada musim tanam September 1997- September 1998. Lokasi ini termasuk daerah tropik basah, masalah pencucian hara dan penurunan kandungan bahan organik merupakan hal yang umum terjadi di lahan
pertanian di daerah ini.
Salah satu teknik alternatif pengelolaan tanah di daerah ini adalah sistim tumpangsari pepohonan yang berperakaran dalam dengan tanaman semusim yang umumnya berperakaran lebih dangkal. Pepohonan ditanam berbaris, dan lorong antar baris pohon
ditanami tanaman semusim (jagung). Tanaman pagar yang ditanam adalah petaian dengan jarak tanam 4 x 0.5 m. Untuk menguji manfaat penyisipan pepohonan diantara tanaman jagung, budidaya pagar ini perlu dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Pada
kedua pola tanam ini, diperlakukan dengan dan tanpa pemupukan N. Pupuk N sebanyak 30 kg ha-1 diberikan pada saat jagung berumur 7 hari, dan 60 kg ha-1 diberikan pada saat jagung berumur satu bulan.
Skenario pola tanam yang diuji dalam simulasi WaNuLCAS
Pola Tanam
1 Monokultur jagung - jagung Tanpa pemupukan
2 Monokultur jagung - jagung Dipupuk N dosis 90 kg ha-1 pada setiap musim tanam jagung
3 Budi daya pagar : Petaian + Jagung – jagung Tanpa pemupukan
4 Budi daya pagar : Petaian + Jagung – jagung Dipupuk N dosis 90 kg ha-1 pada setiap musim tanam jagung
Keterangan: (+) Tumpang sari; (-) diikuti Pada musim tanam pertama (MT1) jagung ditanam pada tanggal 14-12-97, dan pada musim
tanam kedua (MT2) ditanam pada tanggal 27-03-1998.
Keluaran simulasi
Pendugaan neraca karbon (C)
Penambahan bahan organik secara terus menerus dapat mempertahankan kandungan bahan organik dalam tanah: lebih banyak bahan organik yang ditambahkan, lebih ‘dingin’ tanah
tersebut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan bahan organik tanah (C dan N tanah, Gambar 8A dan B) dari tahun ke tahun. Sistem budidaya pagar dapat memperlambat dan memperkecil penurunan tersebut, terutama jika dikombinasikan dengan pemupukan N. Namun, sistem ini tetap tidak dapat mempertahankan kandungan bahan organik kembali ke kondisi seperti hutan.
Pendugaan neraca N
Bila tidak ada usaha pemupukan, serapan N tanaman jagung pada sistem budidaya pagar lebih tinggi dari pada sistem monokultur. Namun bila ada usaha pemupukan, jagung menyerap unsur N lebih banyak pada sistem monokultur dibandingkan pada sistem budidaya pagar  Kesimpulan yang menarik dari contoh ini adalah pemupukan N pada sistem budidaya pagar justru merugikan tanaman jagung.
Pencucian N terbesar terjadi pada sistem monokultur dengan usaha pemupukan  Sistem budidaya pagar mampu menurunkan pencucian N sebesar 40% dari jumlah N tercuci pada sistem monokultur, baik dengan maupun tanpa pemupukan N. Pengaruh seperti inilah yang dinamakan ‘fungsi jaring penyelamat hara’, seperti yang didiskusikan sebelumnya.
Jika kita membandingkan jumlah N yang dapat diserap tanaman dengan jumlah N yang tersedia selama musim tanam (Gambar 9C), maka dapat dilihat bahwa pada system monokultur jagung hanya dapat menyerap sekitar 43 % N tersedia jika tanpa pemupukan,
dan 36% saja jika diberi pupuk N.
Pada sistem budidaya pagar, jagung dapat menyerap sekitar 38% N tersedia jika tanpa pemupukan, dan sekitar 32% jika diberi pupuk N. Tanaman pagar menyerap 33% N tersedia, baik dengan maupun tanpa pemupukan. Dengan demikian, jumlah total yang dapat diserap tanaman meningkat dari 36% (dengan pupuk) dan 43% (tanpa pupuk) pada sistem monokultur menjadi 65% (dengan pupuk) dan 70% (tanpa pupuk) pada system budidaya pagar. Kehilangan unsur hara N melalui pencucian yang dapat diturunkan dengan sistem budidaya pagar adalah 30-57% jika tanpa pemupukan, dan 35-64% jika diberi pupuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar