Sabtu, 31 Desember 2011

Sabut Kelapa


Bila air buah kelapa dapat dimanfaatkan sebagai campuran bahan baku pada pembuatan bio starter alami seperti yang sudah pernah   diuraikan pada berbagai artikel sebelumnya.

Tahukah kalau sabut kelapa pun dapat dimanfaatkan sebagai media tanam terkait budidaya tanaman hias, pertanian dan perkebunan? Semoga informasi berikut ini dapat memberikan manfaat: Sabut kelapa merupakan bagian yang cukup besar dari buah kelapa, yaitu 35 % dari berat keseluruhan buah. Sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus yang menghubungkan satu serat dengan serat lainnya. Serat adalah bagian yang berharga dari sabut. Setiap butir kelapa mengandung serat 525 gram (75 % dari sabut), dan gabus 175 gram (25 % dari sabut).

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa sabut kelapa sangatlah baik dipergunakan sebagai media tanam? Adapun cocopeat bisa dipergunakan sebagai media semai dan untuk stek tanaman. Semoga informasi berikut dapat memberikan manfaat: Pemanfaatan sabut kelapa lain yang tidak kalah menarik adalah sebagai cocopeat yaitu sabut kelapa yang diolah menjadi butiran-butiran gabus sabut kelapa. Coco peat dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut, sehingga coco peat dapat digunakan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan tanaman hortikultura dan media tanaman sistem hidroponik.

Sulitkah mengolah sabut kelapa menjadi cocopeat?
Cocopeat diolah dari sabut kelapa. Sebelum diolah, sabut kelapa direndam selama 6 bulan untuk menghilangkan senyawa-senyawa kimia yang dapat merugikan tanaman seperti tanin. Senyawa itu dapat menghambat pertumbuhan tanaman dengan setiap beberapa hari air rendaman di ganti. Setelah dikeringkan, sabut kelapa itu dimasukkan ke dalam mesin untuk memisahkan serat dan jaringan empulur. Residu dari pemisahan itulah yang kemudian dicetak membentuk kotak. Media dicetak dengan tingkat kerapatan rongga kapiler sehingga dapat menyimpan oksigen sampai 50%. Itu lebih tinggi ketimbang kemampuan menyimpan oksigen pada tanah yang hanya 2-3%. Ketersediaan oksigen pada media tanam dibutuhkan untuk pertumbuhan akar. Hasil penelitian Dr Geoff Creswell, dari Creswell Horticultural Service, Australia, media tanam cocopeat sanggup menahan air hingga 73%. Dari 41 ml air yang dialirkan melewati lapisan cocopeat, yang terbuang hanya 11 ml. Jumlah itu jauh lebih tinggi daripada sphagnum moss yang hanya 41%. Secara umum, derajat keasaman media cocopeat 5,8-6, pada kondisi itu tanaman optimal menyerap unsur hara. Derajat keasaman ideal yang diperlukan tanaman 5,5-6,5. Karena kemampuan cocopeat menahan air cukup tinggi, hindari pemberian air berlebih. ‘Pada beberapa jenis tanaman, media terlalu lembap dapat menyebabkan busuk akar,’  Oleh sebab itu, ia mencampur cocopeat dengan bahan lain yang daya ikat airnya tidak begitu tinggi seperti pasir atau arang sekam. Creswell menyarankan, air diberikan sedikit demi sedikit tetapi kontinu seperti dengan cara irigasi tetes atau pengabutan dalam sistem hidroponik. Menurut Kevin Handreck dalam bukunya Growing Media, kandungan klor pada cocopeat cenderung tinggi. Bila klor bereaksi dengan air, ia akan membentuk asam klorida. Akibatnya, kondisi media menjadi asam. Sedangkan tanaman umumnya menghendaki kondisi netral. Sydney Environmental and Soil Laboratory, Australia, mensyaratkan kadar klor pada cocopeat tidak boleh lebih dari 200 mg/l. Oleh sebab itu, pencucian bahan baku cocopeat sangat penting. Sekadar berjaga-jaga, setiap kali membeli cocopeat yang sudah jadi, sebaiknya merendamnya hingga dua atau tiga hari. Air rendaman diganti setiap hari. Karena khawatir masih mengandung tanin atau zat-zat racun lainnya. Membeli cocopeat hasil pabrikan lebih terjamin. Produsen biasanya mencantumkan spesifikasi produk seperti porositas, kelembapan, water hold capacity (WHC), derajat keasaman (pH), electric conductivity (EC), indeks kadar racun, kandungan mineral, dan cara penggunaannya pada kemasan atau brosur.

Cocopeat diperkirakan akan menjadi alternatif dunia bagi peningkatan kesuburan tanah, sebab bila dicampurkan dengan tanah berpasir hasil tanam pun menabjubkan. Hanya saja unsur hara tanah tidak tersedia dalam cocopeat untuk itu pupuk masih sangat dibutuhkan. Cocok buat pembibitan, perkebunan, pertanian bahkan untuk tanaman anthurium. Kelebihan sekam dan serbuk gergaji meningkatkan sirkulasi udara dan sinar matahari ada pada cocopeat, tapi kelemahanan sekam dan serbuk gergaji bersifat panas dan bertahan hanya 6 bulan saja berbeda dengan cocopeat yang netral dan tahan lama.

Kekurangan cocopeat adalah banyak mengandung zat Tanin. Zat Tanin diketahui sebagai zat yang menghambat pertumbuhan tanaman. Untuk menghilangkan zat Tanin yang berlebihan, maka bisa dilakukan dengan cara merendam cocopeat di dalam air bersih selama beberapa jam, lalu diaduk sampai air berbusa putih. Selanjutnya buang air dan diganti dengan air bersih yang baru. Demikian dilakukan beberapa kali sampai busa tidak keluar lagi.

Sebagai penutup: Cocopeat merupakan serabut kelapa yang sudah disterilisasi . Cocopeat bersifat menyimpan air. Dengan menggunakan cocopeat penyiraman dapat dilakukan dengan lebih jarang. Penyiraman dilakukan setelah media kering.Perlakuan cocopeat sebelum digunakan sebagai media tanam untuk anggrek.Serabut kelapa mengandung zat tanin, atau zat anti gizi. Adanya zat tanin ditandai dengan keluarnya warna merah bata saat serabut kelapa direndam dalam air. Sebelum digunakan rendam selama sehari atau direbus terlebih dahulu sampai warna merah yang keluar benar-benar berkurang.

Membuat Pupuk Organik Cair – Berbasis Ikan


Khasiat:
1.    Menambah unsur hara/nutrisi bagi tanaman
2.    Meningkatkan nafsu makan dan metabolisme ternak ruminansia dan juga ikan air tawar
Bahan
Ikan rucah segar sebanyak 5 kg
Air 10 liter
Tomat busuk  1kg
Gula jawa/nira/aren 250 gram dicairkan

Peralatan:
Panci atau periuk kapasitas 20 liter
Jerigen kapasitas 5 liter sebanyak 4 buah atau bisa jerigen kapasitas 25 liter 1 buah
pH meter  1 buah

Cara membuatnya:
1. Ikan dicuci bersih, air direbus sampai mendidih, kemudian masukan ikan biarkan sampai setengah matang. Angkat lalu didinginkan, setelah itu ikan di press. Tampung airnya bersama air rebusan tadi.
2.   Setelah benar-benar dingin lalu di saring dengan kain halus dan diukur pHnya. Netralkan pH dgn memasukkan parutan tomat busuk yg telah disaring sampai menjadi pH netral (pH 7).
3.    Masukkan 250 gram gula jawa ke dalam larutan tersebut, aduk-aduk sampai gula mencair/terlarut semua. Siapkan jerigen yang sudah dicuci bersih dan yakinkan bahwa tidak ada unsur kimia yang dapat merusak adonan  (sabun/larutan antiseptic dan sejenisnya). Masukkan larutan ke dalam jerigen dan tutup rapat-rapat.
4.    Simpan ke dalam almari es pastikan suhunya antara 16-18 derajat celcius, atau diamkan pada tempat yang teduh dan sejuk terhindar dari sinar matahari langsung dan hujan. Biarkan selama 12-15 hari. Periksa jerigen jika menggelembung segera buka kendorkan tutup agar gas dapat keluar dan tutup kembali rapat-rapat.
5.    Jika proses berjalan lancar maka larutan akan akan beraroma khas segar alami, tidak amis/busuk, dan jadilah Pupuk Organik Cair multiguna. Mohon diperhatikan bahwa perubahan suhu yang drastis pada saat fermentasi dapat merusak kultur bakteri tersebut.

Cara Aplikasi:
1.    untuk Tanaman:, ambil 2-4 cc POC larutkan dalam 1 liter air siramkan/semprotkan pada tanaman, ulangi setiap 7-10 hari sekali.
2.     untuk  Ternak ruminansia (sapi/kerbau/kambing dan sejenisnya): ambil 2 cc POC larutkan dalam 1 liter air minumkan pada ternak ulangi setiap 2-3 hari sekali.
3.    untuk ikan di aquarium 5-10 cc  POC dalam 1 m3 air (1000 liter)

Membuat Pupuk Organik Jerami di Sawah!


Prinsip Bertani untung adalah penghematan biaya produksi, jika hemat biaya produksi tetap - untung, jika produksi naik - semakin untung.
Dengan selalu menggunakan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Semoga Para Sahabat Petani sudi memahami dan menghayati prinsip ini.
Salam lestari

Merugi..! Membakar Jerami di Sawah!
Jika jerami tidak diberikan untuk pakan ternak, dan atau dijual, janganlah dibakar! Dibanding keuntungannya, membakar jerami di sawah mempunyai kerugian dan dampak negatif bagi lahan dan ekosistem.

Pembakaran jerami, disadari atau tidak merugikan petani karena:
1. menimbulkan pencemaran udara serta berakibat pd penipisan lapisan ozon pelindung bumi
2. mengurangi ketersediaan bahan organik dalam tanah
3. mempercepat proses tanah/lahan menjadi kritis/tandus/sakit/tidak subur
3. pemakaian pupuk menjadi boros
3. membunuh mikroba tanah yg menguntungkan yg berada dilapisan olah tanah/top soil
4. menghilangkan potensi unsur hara makro & mikro yang bisa dipasok melalui jerami (N, P, K, Si dll)

Potensi panen jerami adalah 1,4 kali dari hasil panen padi (Kim & Dale - 2004), sehingga jika panen padi 8 ton gabah akan diperoleh jerami sebanyak 11,2 ton jika setahun panen padi dua kali potensi jerami ada 22,4 ton, jika selama 10 tahun, 2.240 ton jerami, wow, fantastis!

Kandungan unsur hara jerami (belum dikomposting) di Indonesia rerata adalah berkisar N 0.4%; P 0.02%; K 1,4%; dan Si 5,6% dan unsur hara lainnya.
Hasil analisis laboratorium terhadap kompos jerami (jerami yang sudah dikomposting) yang dibuat dengan menggunakan berbagai bioactivator berbeda-beda nilai haranya. Hal ini tergantung dari jenis mikroba yang digunakan, komposisi bahan, cara dan perlakuan saat pembuatannya. Namun demikian umumnya perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan. Data berikut adalah salah satu dari hasil analisis kompos jerami dengan penggunaan bioactivator "PROMI" dari Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, dari mas Isroi.
- Rasio C/N: 21; C-Organik: 35,11%; Nitrogen (N): 1,86%; Fosfor (P2O5): 0,21%; Kalium (K2O): 5,35%; Kalsium (Ca): 4,2%; Magnesium (Mg): 0,5%; Tembaga (Cu): 20 ppm; Mangan (Mn): 684 ppm; Zing (Zn): 144 ppm.
dari hasil analisis tersebut jika terdapat satu ton pupuk jerami/kompos jerami padi maka akan memiliki kandungan hara setara dengan kurang lebih 41,3kg urea, 5,8 kg SP36, dan 89,17kg KCl.

Membuat Kompos Jerami/Pupuk Organik Jerami
Berikut kiat mengomposkan jerami di lahan sawah petani dalam waktu 2-3 minggu tanpa proses penutupan "Terpal/plastik" dan tanpa "pembalikan":
1. siapkan activator "ragi kompos", buat larutan activator dalam ember.
2. kumpulkan jerami padi di pinggir lahan atau tengah lahan (mana yang paling mudah), tumpuk setinggi 10-15cm, padatkan dgn cara diinjak2, siram dengan larutan bio-activator sampai basah/lembab. Ulangi langkah tersebut sampai bahan jerami habis.
3. ukuran petakan dari tumpukan jerami panjang dan lebarnya bebas, namun tinggi tumpukan HARUS diusahakan minimum 80cm (agar diperoleh energi panas untuk proses deomposisi).
4. Bagian atas tumpukan jerami ditutup dengan tanah dari lahan tsb (seperti plesteran semen). Tipis saja tidak perlu tebal-tebal selain sebagai pemberat agar tumpukan tidak kabur tertiup angin, juga mampu mempertahankan kelembaban tumpukan tetap stabil. Keliling tumpukan tidak perlu diplester. Pertimbangan lain jika ditutup dengan terpal (takutnya terpalnya hilang!)
5. Amati proses pengomposan 5 hari sekali, SELALU USAHAKAN agar kondisi tumpukan LEMBAB, jika agak kering siram/percikan dengan air biasa secukupnya.
Jika kelembaban terjaga maka dalam waktu 2 minggu tinggi tumpukan akan menyusut 50% (separonya), dan jerami telah menjadi kompos dgn ciri coklat kehitaman, lunak, siap disebarkan merata ke lahan.

Kiat ini telah kami berikan pada teman-teman petani di wilayah DIY, Jateng. salam
Perlu diketahui dari pengalaman di lapangan bahwa proses pembuatan jerami dari bahan sebanyak 1 ton ternyata hanya menghasilkan 500-600 kg (terjadi penyusutan sekitar 40-50%).

Pupuk organik/kompos jerami meskipun mengandung unsur hara lengkap (makro & mikro) namun memang ketersediaannya relatif kecil, meskipun demikian hal yg lebih penting dari penyediaan pupuk organik/kompos jerami adalah peranannya dalam menghasilkan asam-asam  organik yang dihasilkan dari aktivitas mikroba pengurai. Oleh karena itu alangkah baiknya untuk terus menganjurkan memberikan bahan organik (matang) ke lahan oleh para petani, karena sebetulnya jika kandungan bahan organik pada lahan bisa 5% tanah sudah hidup dan subur.

Beberapa Kendala-kendala
Budihardjo Soegiarto: Saya pernah tanya ke petani di jalur pantura Jabar, kenapa mereka sering membakar jerami koq ga dikembalikan ke sawah. Jawabannya mereka mengejar waktu tanam, kalo jerami dikembalikan ke sawah nanti ngolah tanahnya berat karena jeraminya belum hancur waktu pembajakan akan dimulai. Di jalur pantura ini ada pembagian waktu pengairan sehingga jadwalnya cukup ketat, kalo kita telat ya bisa pada masa akhir akan kekeringan. Di sini juga budaya ternak tidak seperti di Jawa Tengah belum banyak, sehingga jerami ga laku kalo dijual untuk pakan. Kalo dibakar, mereka cepet ngolah tanah mengejar waktu tanam tetapi masih bisa mengembalikan unsur K ke tanaman. Jadi rasanya ga semua petani yaang bakar jerami ga ngerti pentingnya pengembalian jerami ke sawah, adakah teknologi pengomposan yang sangat cepat yang bisa menggugaah petani untuk mengembalikan jeraminya ke sawah. Teknologi pengomposan yang didemonstrasikan ke petani memang bisa mempercepat pengomposan tetapi masih relatif lama kalo mau mengejar waktu tanam. Kalo setelah padi padi kemudian tanam kedelai,mereka menutup lobang kedelai dengan abu jerami tersebut katanya untuk mempertahankan kelembaban tanah agar benih tumbuh baik, kenyataanya benih yang ditutup abu jerami itu tumbuhnya lebih baik. sekedar informasi yang saya dapat yang mungkin bisa menambah wawsan kita
Yang diajarkan ke petani selain ditutup terpal juga mesti dibalik balik Mas, jadi kalo skalnya untuk jerami satu hektar mereka merasa repot membalikknya bahkan ada yg ngajari jerinya di cacah, komentar petaninya kapan nyacahnya, dah tolong dibuat komposnya nanti tak beli aja komposnya, eh yang ngaajarin/demo ga menimpali

“ kita memang harus memahami posisi petani yang karena telah dirasuki "budaya instan" membuat para petani selesai panen tergopoh-gopoh untuk segera mengolah lahannya untuk ditanami kembali. Beberapa kasus malah menjelang panen para petani sudah membuat persemaian padi, sehingga lahan memang tidak ada kesempatan untuk istirahat. Peluang membuat kompos dari bahan jerami untuk saat ini memang mensyaratkan agar ada jeda lahan (masa istirahat) selama minimum 3-4 minggu. Jika alokasi waktu istirahat sangat pendek misal 1-2 minggu, nyaris sangat sulit untuk mengajak petani mengomposkan jerami pada lahan, meskipun dengan teknik sederhana, tidak perlu menggunakan metode "penutupan dan pembalikan bahan"

11 Hal, Tentang Tape Jerami (Jerami Fermentasi)


1• Jerami  Padi Bisa untuk Pakan Sapi ?
Bisa! Selama ini jerami padi sudah dimanfaatkan sebagai pakan sapi, tetapi bukan sebagai pakan utama melainkan hanya sebagai selingan ketika rumput/hijauan tidak tersedia. Sebenarnya jerami padi sangat memungkinkan dimanfaatkan sebagai pakan sapi untuk menggantikan rumput. Namun jerami padi bergizi rendah (hanya mengandung protein 2-3% saja) serta sedikit vitamin dan mineral. Selain itu jerami padi sulit dicerna karena kandungan serat kasarnya yang sangat tinggi. Tidak heran bila banyak peternak yang belum memanfaatkan jerami padinya untuk pakan ternak. Padahal jerami padi dapat dimanfaatkan sebagai pakan utama sapi  pengganti hijauan dengan cara diolah menggunakan teknologi sederhana.

2 • Jadi Jerami Padi dapat Ditingkatkan Kualitasnya ?
Ya, dengan mengolahnya menjadi Tape Jerami, jerami padi yang diolah menjadi Tape Jerami akan mempunyai kandungan protein lebih tinggi dari jerami biasa (sekitar 7 - 9%), lebih mudah dicerna, beraroma harum karamel dan lebih higienis.

3 • Bagaimana Caranya ?  
Sangat mudah, praktis, ekonomis dan murah, hanya memerlukan waktu 7–10 hari dan siapapun dapat melakukannya.

4 • Apa Bahannya dan Berapa Ukurannya  ?  
a.    Satu ton jerami padi kering/basah (sekitar 3 colt),  yang paling baik tidak kering dan tidak basah = “magel”.
b.    1 botol bioactivator "Ragi Tape Jerami"
c.    1 kg molasse/tetes tebu (bisa digantikan dengan 500 gr gula jawa/gula aren)
d.    air secukupnya
Jika jeraminya basah tidak perlu menambah air, jika jeraminya kering, air yang dibutuhkan antara 300 – 400 liter atau diperkirakan nantinya jerami mengandung air berkisar 50-60%.

5 • Bagaimana Mengolahnya ?
1.    Cari tempat yang berlantai tanah dan kalau bisa teduh (tidak terkena panas dan hujan).
2.    Tumpuk jerami padi setebal 20 cm padatkan dengan cara diinjak-injak.
3.    Campur Ragi Tape Jerami dengan mollase dan air. Siramkan ke seluruh permukaan jerami  agar merata (jika jerami sudah basah, tidak perlu disiram dengan air, cukup dipercik-percikan dgn larutan ragi tape jerami + mollase).
4.    Tumpuk lagi dengan jerami setinggi 20 cm, padatkan.
5.    Ulangi lagi sesuai langkah (3) hingga jerami habis.
6.    Bagian paling atas sebaiknya ditutup dengan plastik atau jerami kering. Dan biarkan selama 7-10 hari.
7.    Pada hari ke 7 periksa aroma (bau) yang timbul pada tumpukan jerami. Jika aroma jerami sudah berubah beraroma harum (karamel atau tape) dan serat-serat jerami sudah lunak (periksa dengan cara pegang dan remas-remas), serta tumpukan dalam jerami sudah mengeluarkan jamur berwarna putih dan kuning, maka proses pembuatan Tape Jerami sudah selesai. Jika belum proses dapat dilanjutkan sampai maksimum 10 hari.

6 • Bagaimana Cara Memberikannya  ?  
Ambil Tape Jerami secukupnya (1 ekor sapi dewasa cukup 10 kg/hari), angin-anginkan terlebih dahulu sekitar 5 menit, baru berikan kepada sapi. Sebaiknya pemberian dibagi dua atau tiga kali dalam sehari, yakni pagi, setelah diberi konsentrat, siang hari, dan malam hari.

7 • Apakah Setiap Sapi Mau Makan Tape Jerami  ?  
Mau ! Jika sapi peternak ternyata tidak mau, maka harus dilatih terlebih dahulu. Caranya: puasakan sapi sepanjang pagi-siang (hanya diberi minum secukupnya dan konsentrat sedikit saja) kemudian pada malam harinya sediakan Tape Jerami. Insya Allah sapi peternak segera mau makan Tape Jerami.Pemberian sebaiknya jangan dicampur dgn rumput segar/hijauan laiinya, setelah terbiasa bisa dicampur.

8 • Tape Jerami  dapat Disimpan ?   
Ya! Tape jerami dapat disimpan sampai satu tahun. Caranya: setelah jadi, bongkar dan angin-anginkan sampai kering, kemudian diikat kembali atau bila perlu dipres agar dapat  lebih padat dan mudah diatur. Jadi saat musim hujan tiba. Hijauan rumput tersedia banyak dan jerami padi juga panen dalam jumlah besar. Maka buatlah Tape Jerami sebanyak-banyaknya untuk disimpan dan digunakan pada musim kemarau. Maka tentunya, meskipun peternak punya banyak ternak sapi, para peternak  tidak perlu kebingunan atau stress mencari rumput atau menjual ternak hanya untuk membeli hijauan.

9 • Apakah Cukup dengan Tape Jerami  ?  
Untuk kebutuhan hijauan, sudah cukup! Jadi tidak perlu lagi ditambah dengan rumput atau hijauan yang lain. Jika peternak memelihara 12 ekor sapi maka harus disediakan 120 kg Tape Jerami per hari atau 3.600 kg (2 truk) per bulan. Peternak cukup membuat sebulan sekali saja. Dengan demikian tidak perlu mencari rumput untuk pakan ternak sapi setiap harinya, dan waktu luang peternak menjadi lebih banyak sehingga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih produktif lainnya (tukang kayu, bisnis, dagang dlsb).

10 • Apakah Perlu Pakan Tambahan lain ?  
Ya! Sapi kita tetap memerlukan pakan tambahan untuk mencukupi kebutuhan sesuai dgn tujuan pemeliharaan. Kita harus menyediakan konsentrat minimum 2,5% dari bobot badan. Konsentrat dapat berupa konsentrat jadi atau meramu sendiri seperti ampas tahu, bekatul, bungkil kedela, dan lain-lain. Jangan lupa agar sapi lebih lahap makannya, pencernaannya semakin optimum, daya tahan lebih tinggi terhadap serangan penyakit dan cuaca ekstrim, serta berpenampilan lebih baik (kulit berminyak, bulu lembut, mata cerah berseri) tambahkan Jamu Ternak/probiotik. Jangan lupa sediakan air minum sebanyak 40 – 60 liter setiap hari agar metabolisme ternak semakin lancar.

11 • Apakah Sudah Selesai ?  
Ya Sudah! Namun hal pertama dan yang lebih utama  dalam berternak adalah keyakinan yang meraga sukma bahwa yang kita kelola adalah mahluk hidup (yang mempunyai nyawa) yang kesemuanya adalah milik Sang Pencipta, oleh karena itu buatlah Ternak kita merasa bahagia sehingga akan memberikan hasil yang baik bagi pemiliknya, keseluruhan proses tersebut dibingkai dalam niat semata-mata ibadah kepada Sang Pencipta yang dinyatakan lahir maupun batin.

PEMBUATAN PROBIOTIK PRAKTIS


Seperti kita ketahui bahwa probiotik tidak dapat di lepaskan dari dunia pertanian, peternakan dan perikanan. Sebenarnya sejak dulu sudah di lakukan perbanyakan namun sangat di sayangkan beberapa teknokrat dan pedagang membatasi kepada kalangannya sendiri. Petani hanya sebatas pengguna saja tanpa di beri akses utk mengetahui bagaimana pembuatan dan perbanyakan probiotik itu sendiri. Barulah pada awal abad ke-21 ini beberapa orang yang berniat untuk menyebar luaskan apa dan bagaimana pembuatan probiotik dan perbanyakannya dilakukan.
Salah seorang dari orang yg berpihak kepada petani itu adalah Suhu dari Kaki Gunung Madu di Lampung yaitu Laksosno Adi Muladi melalui LAM Community Development menyebarluaskan melalui APLESI dan kini sudah sampai ke negeri seberang sana.
Untuk itu kami sangat berterima kasih sekali kepada Bp.Laksosno Adi Muladi dan untuk itu saya mengutip apa yang beliau lakukan untuk kita semua.

Sudah lebih dari 20 tahun probiotik di gunakan dalam kehidupan manusia termasuk apa yang di sebutkan Bp Laksoso Adi Muladi seperti di buku silat Kho Ping Hoo yaitu : ujar-ujar orang tua bahwa ilmu dibagi akan semakin bertambah, tentunya apabila kita lakukan dengan jujur dan ikhlas karena Allah swt. Sebenarnya perbanyakan prebiotik itu dapat dilakukan di rumah kita sendiri tanpa harus mendapatkan perlakuan khusus yg berlebihan. Tetapi kita harus melakukannya sesuai ketentuan atau sifat dari probiotik itu sendiri.

Prebiotik dapat di gunakan untuk berbagai keperluan di kehidupan manusia seperti : 1.Pupuk Organik pada tanahnah perkebunan dan pertanian. 2.Dekomposer/Pengurai Sampah. 3.Penghilang bau WC dan anti sedot WC 4.Pembersih porselen/keramik 5.Mikroba yang membantu pencernaan manusia dan hewan 6.Lulur wajah. 7.Bahan kosmetika 8.Bahan pembantu Planter Tambak 9.Pengendali Amdal/IPAL 10. dan lain-lain.

Memproduksi Probiotik sendiri
Untuk memproduksi 20 liter Probiotik, caranya cukup sederhana yakni:
1 liter probiotik sebagai indukan/biangnya
1-2 gelas (200-400cc) Molase (tetes tebu), bisa juga gula aren/kelapa
250 gram terasi
1 kg Gula Pasir
1 liter Urine Kelinci/urine Sapi

Cara membuatnya:
1. Semua bahan di aduk sampai rata sehingga larut, kemudian dimasukkan ke dalam jerigen 20 liter dan tambahkan air sehingga penuh (jangan menggunakan air PAM). 2. Tutup rapat dan tempat di ruang teduh dan terlinduing dari sinar matahari langsung.
3. Setelah 15 hari Probiotik buatan sendiri sudah dapat di gunakan dan aplikasinya sesuai dengan probiotik indukan/ biang.
Apabila gagal mungkin ada wadah atau bahan beracun yang terikut yang menyebabkan mikrobanya mati. Hindari deterjen atau bahan beracun lainnya seperti pemutih pakaian dan soda ash dan asam sulfat dan asam keras lainnya.
Tentu saja probiotik sederhana ini tidak akan setinggi kualitas probiotik yang dihasilkan dari pabrik-pabrik terkemuka, namun setidaknya bagi para sahabat petani yang jauh dari akses teknologi maupun permodalan, teknik ini cukup membantu dalam usaha Bertani Untung, dengan tetap berlandaskan pada kelestarian lingkungan alam pertanian.

Catatan: Karena proses pembuatan probiotik secara an-aerob (tidak membutuhkan udara), maka usahakan setiap 3 hari sekali atau pada saat jerigen plastik menggelembung karena desakan udara, maka tutup jerigen supaya dibuka agar gas dapat keluar setelah itu tutup kembali rapat-rapat. Periksa 3 hari sekali. ***

Membuat Pupuk Organik Cair - Berbasis Urine


Bahan:
Urine (sapi, kambing, kelinci atau sejenisnya) sebanyak 100 liter
Batang/bonggol pisang sebanyak 5 kg
Sabut kelapa muda sebanyak 1 kg
Buah maja sebanyak 3 buah
Molase/tetes tebu sebanyak 4 kg
Buah nanas (tua/busu) sebanyak 4 buah
Starter/bioactivator/Ragi Kompos sebanyak 2  botol
Bekatul sebanyak 1 kg
Ragi tape 3-5 butir
 
Peralatan:
Drum plastik volume 200 liter
Kayu pengaduk
Parang tajam

Cara membuatnya:
1.    Siapkan ragi kompos dan mollase campur dengan menggunakan air bersih (tidak mengandung chlorin/atau kaporit) secukupnya tambahkan bekatul dan aduk sampai homogen.
2.    Cacah halus gedebog/batang/bonggol pisang dengan menggunakan parang yang tajam demikian pula dengan sabut kelapa muda.
3.    Hancurkan buah maja dan buah nanas dengan cara masukkan ke kantong plastik tebal dan dipukul-pukul dengan menggunakan kayu sampai lumat.
4.    Masukan urine sapi, kambing, kelinci atau sejenisnya sebanyak ¼ drum plastik, masukkan larutan ragi kompos, mollase dan bekatul sambil diaduk sampai rata, berikutnya masukkan lumatan buah maja dan nanas dengan tetap terus diaduk, masukkan cacahan gedebog pisang dan sabut kelapa muda, tambahkan urine sampai volume ½  drum aduk terus agar homogen, terakhir masukkan ragi tape yang sudah dihancurkan dan tambahkan larutan urine sampai habis (umumnya masih ada sisa ¼ volume drum yang kosong). Tambahkan sedikit air sampai volume total larutan dan padatan sekitar 175 liter.
5.    Tutup rapat-rapat dengan menggunakan plastik. Setiap hari sekali dibuka kemudian diaduk selama 15 menit, tutup lagi dan biarkan. Ulangi perlakuan tersebut sampai tujuh hari. Pada minggu kedua pengadukan dilakukan setiap dua atau tiga  hari sekali, kemudian ditutup dan biarkan.
Proses fermentasi akan berlangsung sekitar 2 minggu, pada setiap kegiatan pengadukan amati proses yang terjadi (kemunculan busa, warna cairan coklat kehitaman dan kental, bau/aroma menyengat yang berangsur-angsur berkurang) berarti proses berjalan dengan baik.

Cara Aplikasi:
Saring larutan POC dengan menggunakan kain kassa (kain nyamuk), sisa ampas masukkan kembali ke dalam drum.

1.    Aplikasi semprot: ambil larutan POC 1 gelas (250 cc) campur dalam air 14-15 liter (1 tangki handsprayer), semprot merata pada tanaman pangan, palawija dan sejenisnya sebaiknya pagi hari sebelum pk. 11.00 optimum ulangi setiap 7-10 hari sekali.
2.    Aplikasi kocor/siram: ambil larutan POC 1 gelas (250 cc) campur dalam air 10 liter (1 ember), kocor pada tiap lubang tanam sebanyak 150-200 cc sebaiknya pagi hari sebelum pk. 11.00 optimum,  ulangi setiap 10 hari sekali.
3.    Aplikasi semprot dapat digabungkan dengan pupuk organik cair ber”merek” sehingga lebih berhemat, maupun pestisida.
4.    Aplikasi kocor dapat digabungkan dengan pupuk organik cair ber”merek”, pupuk kompos, maupun pupuk  sintetis.

Catatan:
Buah mojo berfungsi untuk meningkatkan kandungan Nitrogen, sumber mikroba dan pemasok hara mikro bila tidak ada bisa diganti dengan daun sirsak, sengon ataupun daun kaliandra.Serabut kelapa berfungsi untuk meningkatkan kandungan Kalim,sedangkan gedebog pisang untuk meningkatkan unsur Phospat, Si dan mikro element lainnya.
Buah Nanas berfungsi sebagai penawar bau, sumber biakan mikroba, serta hormon dan unsur hara mikro.
Urine kaya kandungan unsur N serta biopestisida
Ragi kompos sebagai sumber konsorsium mikroba terpilih.
Ragi Tape sebagai sumber mikroba saccharomices, pengurang aroma menyengat, sekaligus membuat aroma pupuk organik cair menjadi “harum” – tapi tetap jangan diminum untuk demo!
Penggunaan dosis kecil namun rutin akan lebih baik hasilnya dibanding dosis tinggi namun hanya sekali aplikasi.

Agensia Hayati – Beauveria bassiana


Pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan agens pengendali hayati muncul karena kekhawatiran masyarakat dunia akibat penggunaan pestisida kimia sintetis. Adanya kekhawatiran tersebut membuat pengendalian hayati menjadi salah satu pilihan cara mengendalikan patogen tanaman yang harus dipertimbangkan.
 
Agensia hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Permentan No. 411 tahun 1995).

Beauvaria bassiana merupakan cendawan entomopatogen yaitu cendawan yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga. Beauveria bassiana secara alami terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 °C, kelembapan tanah yang berkurang dan adanya  antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.

Beauveria bassiana membunuh hama melalui infeksi sebagai akibat dari serangga yang kontak dengan spora jamur. Serangga dapat kontak dengan spora jamur melalui beberapa cara: semprotan jamur menempel pada tubuh serangga, serangga bergerak pada permukaan tanaman yang sudah terinfeksi jamur, atau dengan memakan jaringan tanaman yang telah diperlakukan dengan jamur. Setelah spora jamur melekat pada kulit serangga (kutikula), mereka berkecambah membentuk struktur (hifa) yang menembus tubuh serangga dan berkembang biak. Proses ini memakan waktu 3-5 hari sampai akhirnya serangga mati, bangkai yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai sumber spora untuk penyebaran sekunder jamur.  Serangga juga dapat menyebarkan jamur melalui perkawinan.

 Keberhasilan penyemprotan menggunakan jamur Beauveria bassiana bergantung pada kerentanan spesies yang bersangkutan, tingkat populasi hama, dan kondisi lingkungan pada saat aplikasi, serta sumber daya manusia itu sendiri.
 
1.    Aplikasi Beauvaria bassiana  lebih efektif dilakukan pada waktu sore hari atau pagi hari, guna menghindari sengatan sinar matahari yang dapat membunuh spora cendawan tersebut. Residu Beauveria akan hilang/terurai dalam waktu beberapa hari (sekitar 4 hari), oleh karena itu disarankan aplikasi dilakukan berulang kali agar dapat meningkatkan efektivitas serta kontrol yang memadai. Jamur beauveria mudah tercuci oleh hujan sehingga dianjurkan untuk menggunakan perekat dan perata. B. bassiana lebih efektif mengendalikan hama/serangga pada tahap muda dari pada tahap yang lebih dewasa. Beauveria lebih efektif diaplikasikan dalam kondisi kelembaban relatif tinggi, dan suhu rendah sampai moderat.

2.    Jangan mencampur tangki dengan fungisida berbahan tembaga sulfat/alkalis. Penyemprotan fungisida kimia setelah aplikasi B. bassiana juga dapat mengurangi kemanjurannya, sebaiknya jika terpaksa untuk aplikasi fungisida kimia dapat dilakukan setelah hari ke 4 dari aplikasi Beauveria bassiana. Berdasarkan hasil kajian jamur ini efektif mengendalikan 175 jenis serangga seperti hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) dan wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) pada tanaman padi serta hama kutu (Aphis sp.) pada tanaman sayuran, tungau, ulat daun, jangkrik, dan semut merah dan lain-lainnya.

3.    B.bassiana dapat menyerang hampir semua jenis serangga, sehingga cendawan ini digolongkan ke dalam non-selektif pestisida, pada tanaman yang pembuahannya dibantu oleh serangga (lebah dan sejenisnya) penggunaan beauveria tidak dianjurkan. Meskipun Beauveria bassiana bukan parasit bagi manusia dan invertebrata lain, namun bagi individu yang peka apabila terjadi kontak terbuka dengan spora beauveria dapat menyebabkan alergi kulit.

SOP budidaya padi organik

LOKASI : LEMBAH MENOREH, KULON PROGO, DIY....Mr. Galuh Agro Mandiri


Pengolahan Tanah
Sebagai persiapan,taburkan pupuk kandang fermentasi secara merata dipermukaan lahan sebanyak 2 ton/ha.
Selanjutnya tanah digaru sambil disemprot larutan POC Warung Tani I dengan dosis 10ml/liter air; WT Bakterisida Dosis 10 ml/lt air, WT Trico/Glio dosis 10 ml/ lt air
Pada saat menggaru dan meratakan tanah, usahakan agar air tidak mengalir di dalam sawah supaya unsur hara yang ada di tanah tidak hanyut.Setelah tanah diratakan, buatlah parit di bagian pinggir dan tengah tiap petakan sawah untuk memudahkan pengaturan air.
Menyiapkan Benih yang Bermutu
Kebutuhan benih untuk tanaman padi adalah 10 - 15 kg/hektar lahan, benih harus diperam terlebih dahulu selama satu hari satu malam, tidak boleh lebih.
Membuat Persemaian
Persemaian  dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Persemaian Basah dan Persemaian Kering. Persemaian Basah adalah persemaian yang langsung dilakukan dilahan pertanian, seperti pada sistem konvensional.
Persemaian Kering adalah persemaian yang dilakukan dengan menggunakan wadah berupa kotak/besek/wonca/pipiti. Untuk lahan seluas satu hektar dibutuhkan wadah persemaian ukuran 20 cm x 20 cm, sebanyak 80—100 buah.
Tahapan membuat persemaian adalah sebagai berikut:
1.    Siapkan media persemaian dengan cara mencampur tanah dengan pupuk kompos/ pupuk kandang fermentasi/bokhasi dengan perbandingan 1:1;
2.    Sebelum wadah diisi dengan media, lapisi dulu bagian dalamnya dengan daun pisang yang sudah dilemaskan dengan cara dijemur atau dipanaskan di atas api;
3.    Masukkan media ke dalam wadah hingga 3/4 penuh. Siram media peersemaian tersebut dengan air supaya lembab;
4.    Tebarkan benih ke dalam wadah. Jumlah benih per wadah antara 300—350 biji;
5.    Taburkan arang sekam di atas benih sampai rata melapisi/menutupi benih;
6.    Simpan wadah-wadah tersebut di tempat yang teduh. Pada hari pertama dan hari kedua, sebaiknya wadah-wadah tersebut ditutupi supaya tidak kepanasan;
7.    Jika disimpan di pekarangan, jangan lupa untuk meletakkan wadah-wadah ini ditempat yang aman dari gangguan ternak seperti ayam;
8.    Penyiraman bisa dilakukan setiap hari agar media tetap lembab dan bibittanaman tetap segar.
9.    Lakukan penyemprotan POC  Warung Tani I dengan dosis 10 ml/ltr air & WT Zpt dosis 2 ml/lt air pada saat benih mulai tumbuh, dan ulangi 5 hari berikutnya.
Penanaman
Bibit siap dipindahkan ke lahan setelah mencapai umur 14 - 16 hari persemaian. Kondisi air pada saat tanam adalah “macak-macak”(kondisi tanah basah, tapi tidak tergenang).

Pemupukan Setelah Tanam
Larutan POC Warung Tani I dengan dosis 10 ml/liter air, WT Bakterisida dosis 10 ml/lt air, WT Trico/Glio dosis 10 ml/lt disemprotkan secara periodik antara 3 – 7 hari sekali pada saat padi berumur 5 hst s/d 45 hst, dilanjutkan dengan penyemprotan POC Warung Tani II dengan dosis 10 ml/liter air, WT Bakterisida dosis 10 ml/lt air, WT Trico/Glio dosis 10 ml/lt sampai padi menjelang panen. Kebutuhan pupuk organik cair per hektar sekitar 20 liter.
Pada kondisi pertumbuhan yg tdk maksimal/lahan tadah hujan, lihat pertumbuhan tanaman sampai 21 hst, jk kurang maksimal tambahkan pupuk sintetis : Urea : 80 kg/ha, Tsp : 100 kg/ha, Kcl : 100 kg/ha.
Pengelolaan Air dan Penyiangan
Proses pengelolaan air dan penyiangan dilakukan, sebagai berikut:
1.    Ketika padi mencapai umur 1-8 hari sesudah tanam (HST), pertahankan keadaan air di lahan tetap “macak-macak”;
2.    Setelah padi mencapai umur 9-10 HST, genangkan air dengan ketinggian 2-3 cm selama 1 malam. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses penyiangan tahap pertama;
3.    Setelah disiangi, keringkan sawah sampai padi mencapai umur 18 HST;
4.    Pada umur 19-20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkanpenyiangan tahap kedua;
5.    Selanjutnya, setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1-2 cm. Pertahankan  kondisi ini sampai padi “masak susu” (± 15—20 hari sebelum panen);
6.    Kemudian keringkan kembali sawah sampai saat panen tiba;
7.    Usia panen tergantung pada varietas padi yang ditanam. Untuk varietas hibrida panen bisa dilakukan pada usia 72 hari, sedangkan untuk varietas lokal sekitar 92 hari.
Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Pengendalian hama dilakukan dengan sistem PHT. Dengan sistem ini, petani diajak untuk mengelola unsur-unsur dalam agroekosistem (seperti matahari, tanaman, mikroorganisme, air, oksigen, dan musuh alami) sebagai alat pengendali hama dan penyakit tanaman.
Lakukan penyemprotan  WT Bvr dengan dosis  10 ml/liter air secara berkala,atau dilakukan bersamaan pada saat penyemprotan pupuk untuk pencegahan serangan hama serangga. Tingkatkan dosis duakali lipat pada saat terjadi serangan.
Lakukan penyemprotan WT Bacterisida & WT Trico/Glio dengan dosis masing-masing 10 ml/liter air secara berkala,atau dilakukan bersamaan pada saat penyemprotan pupuk untuk pencegahan serangan hama virus, jamur, & bakteri yang merusak tanaman. Tingkatkan dosis duakali lipat pada saat terjadi serangan.  Untuk pengendalian gulma, gunakan tenaga manusia tanpa memakai herbisida apapun. Gunakan alat bantu yang disebut “susruk”/ “ landak”, yaitu alat semacam garu yang berfungsi sebagai alat pencabut gulma. Dengan menggunakan alat ini,gulma yang sudah tercabut sekaligus akan dibenamkan kembali ke dalam tanah,sehingga akan menambah bahan organik tanah.

Perbanyakan Jamur Trichoderma, sp. Skala Petani


Potensi jamur Trichoderma,sp. sebagai agensia pengendali hayati sudah tidak terbantahkan. Beberapa penyakit tanaman sudah dapat dikendalikan dengan aplikasi jamur Trichoderma,sp. Diantaranya adalah busuk pangkal batang pada tanaman panili yang disebabkan oleh jamur Fusarium, sp., Jamur Akar Putih (JAP) yang menyerang tanaman lada dan karet dan beberapa
penyakit terbawa tanah (soil borne) lainnya.
Potensi jamur Trichoderma sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam usaha pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Disamping karakternya sebagai antagonis diketahui pula bahwa Trichoderma,sp. Juga berfungsi sebagai dekomposer dalam pembuatan pupuk organik. Aplikasi jamur Trichoderma pada pembibitan tanaman guna mengantisipasi serangan OPT sedini mungkin membuktikan bahwa tingkat kesadaran petani akan arti penting perlindungan preventif perlahan telah tumbuh.
Penggunaan jamur Trichoderma secara luas dalam usaha pengendalian OPT perlu disebarluaskan lebih lanjut agar petani-petani Indonesia dapat memproduksi jamur Trichoderma secara mandiri. Diharapkan setelah mengetahui langkah-langkah perbanyakan massal jamur Trichoderma, petani
dapat mempraktekkan dan mengaplikasikannya.
Berikut dijelaskan langkah-langkah perbanyakan massal jamur Trichoderma yang dengan mudah dilakukan oleh petani.
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk perbanyakan massal jamur Trichoderma adalah:
Alat:
1. Dandang sabluk
2. Kompor Gas / Kompor minyak
3. Bak plastik
4. Plastik meteran (dijual dalam bentuk lembaran)
5. Entong kayu.
Bahan:
1. Sekam
2. Bekatul (dedak)
3. Air
4. Alkohol 96 %.
5. Isolat (bibit) jamur Trichoderma.
Langkah-langkah perbanyakan massal jamur Trichoderma
1. Campurkan media (sekam dan bekatul) dengan perbandingan 1:3 dalam bak plastik.
2. Berikan air kedalam media tersebut kemudian aduk sampai rata.
3. Tambahkan air sampai kelembaban media mencapai 70 % (dapat di cek dengan meremas media tersebut, tidak ada air yang menetes namun media menggumpal)
4. Masukkan media kedalam kantong plastik.
5. Siapkan dandang sabluk untuk menyeteril media.
6. Isi dandang sabluk dengan air sebanyak 1/3 volume dandang.
7. Masukkan media kedalam dandang sabluk
8. Sterilkan media dengan menggunakan dandang sabluk selama 1 (satu) jam setelah air mendidih. Sterilisasi diulang 2 (dua) kali, setelah media dingin sterilkan kembali media selama 1 jam. Sterilisasi bertingkat ini bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang masih dapat bertahan pada proses sterilisasi pertama.
9. Tiriskan media di dalam ruangan yang lantainya telah beralas plastik. Sebelum digunakan semprot alas plastik menggunakan Alkohol 96%.
10. Ratakan permukaan media dengan ketebalan 1-5 cm.
11. Semprot media dengan suspensi jamur Trichoderma (isolat jamur Trichoderma yang telah dilarutkan kedalam air, 1 (satu) isolat dilarutkan dengan 500 ml air)).
12. Tutup dengan plastik lalu inkubasikan selama 7 (tujuh) hari. Ruangan inkubasi diusahakan minim cahaya, dengan suhu ruangan berkisar 25-27 derajat celcius.
13. Amati pertumbuhan jamur Trichoderma, jamur sudah dapat dipanen setelah seluruh permukaan media telah ditumbuhi jamur Trichoderma, (koloni jamurberwarna hijau).

Kunci keberhasilan perbanyakan massal jamur Trichoderma adalah:
1. Aseptisitas proses produksi, artinya petani selaku pembuat harus mengetahui titik-titik kritis dimana proses produksi harus dilakukan secara aseptis (higienis). Penyiapan dan proses sterilisasi media merupakan titik kritis pertama yang harus diperhatikan.
2. Kualitas isolat jamur Trichoderma, isolat jamur Trichoderma yang diperbanyak secara massal harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya jumlah dan viabilitas spora tinggi, umur biakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan dan isolat dalam keadaan segar (baru dipindahkan ke
media yang baru).
3. Inkubasi. Ruangan inkubasi harus mendukung pertumbuhan jamur Trichoderma. Intensitas cahaya, suhu dan kelembaban ruangan harus diatur sedemikian rupa agar pertumbuhan jamur berjalan optimal.
Demikian proses perbanyakan massal jamur Trichoderma skala petani disampaikan, semoga petani Indonesia mau dan mampu memproduksi jamur Trichoderma secara mandiri. Dengan berkembangnya penggunaan jamur Trichoderma sebagai Agensia Pengendali Hayati oleh para petani diharapkan pemakaian fungisida kimia yang digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman dapat ditekan dan dapat menurun tiap tahunnya.

BUDI DAYA LELE ORGANIK (MEMBUAT PABRIK PAKAN DI DALAM KOLAM)


BUDI DAYA LELE ORGANIK
(MEMBUAT PABRIK PAKAN DI DALAM KOLAM)

TUJUAN:
            Jika kita hitung secara analisa Rugi/Laba, bahwa budi daya lele sering menyebabkan kerugian pada petani lele yg membudi dayakan hal itu dikarenakan:
1.      Harga pakan yg cenderung fluktuatif.
2.      Harga Jual hasil panen petani lele yang juga tidak pasti, sehingga terkadang antara biaya yang dikeluarkan untuk memebeli pakan hampir seimbang dengan harga jual hasil panen yg di dapat oleh petani bahkan kadang2 merugi.

Dari uraian diatas bersama ini kami ingin membedah SOP Budi daya lele organik, mengapa kita sebut organik? Karena pakan yg diberikan bukan dari produk pabrikan (PELET) juga bukan berasal dari limbah rumah tangga.
Hal yang berhubungan dengan budi daya lele Organik :
1.      Pemeliharaan dapat dilakukan di dalam kolam terpal/ kolam permanen.
Tujuan menggunakan kolam terpal adalah untuk menekan biaya pembuatan kolam.
2.      Pakan yg diberikan adalah bukan pakan yg harus kita berikan setiap hari, tetapi kita akan membuat pabrik pakan di dalam kolam ( berupa eksudat : cacing, plankton, serangga air, uret dll ) , sehingga pabrik pakan yg kita buat pada kolam terpal akan menyediakan kebutuhan pakan lele mulai pada saat bibit ditaburkan hingga lele akan panen
3.      Untuk memanfaatkan lahan-lahan sempit rumah tangga, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat kecil, khususnya petani.
4.      Budi daya lele adalah hal yg sudah lazim di lakukan pada sebagian besar masyarakat, sehingga akan lebih mudah dan familiar bagi masyarakat untuk menerimanya.
TAHAP-TAHAP DALAM BUDI DAYA LELE ORGANIK
Pembuatan Kolam terpal.
Untuk skala Rumah tangga ukuran kolam terpal adalah 1 X 4m, dengan jumlah populasi 1000 bibit lele.
Cara pembuatan kolam terpal ada 2 cara:
-           Cara yg pertama adalah kolam dibuat setinggi 1 m dengan pagar-pagar bambu disekelilingnya, yang dibuat dengan tonggak bambu yg ditanam pada tanah sedalam lebih kurang 70 cm, pembuatan kolam terpal ini harus kuat, karena apabila kolam terpal sudah diisi air maka akan mendorong tiang pancangnya, apabila tidak kuat pembuatannya     kolam akan pecah dan air meluber keluar bersama bibit lele yg sudah ada.
-           Cara pembuatan kolam yg lain adalah membuat kolam dalam tanah dengan kedalaman 1m dengan cara menggali tanah dibuat sesuai ukuran kolam, lapisi kolam dengan terpal, tanah hasil galian dibuat bibir kolam.
Pembuatan Kohe Fermentasi yg akan berfungsi sebagai pabrik pakan di dalam kolam.
Bahan-bahan yg dibutuhkan untuk pembuatan kohe fermentasi gawek (Untuk 300 kg /1000 lele )
1.      3 kwintal kohe  (Kotoran Hewan) Sapi. ( sebagai bahan dasar media tumbuh pakan ikan/lele )
2.      Dedak/Katul halus 25 Kg. ( sebagai penghantar panas & media penghantar pertumbuhan mikroba & jamur )
3.      Air kelapa 30 Liter. Air kelapa selain untuk membantu proses percepatan pelepasan asam amino jg untuk menjaga kontinuitas perkembangbiakan mikroba nya..... proses mati tumbuhnya seimbang shg tdk terjadi masa stagnasi perkembangbiakan mikroba yg akan mengakibatkan terhentinya proses pembuatan pakan untuk lele.
4.      Tetes tebu/Molase 1 Liter/ atau gulapasir 1,5 kg. ( sbg makanan & penyedia protein bagi mikroba )
5.      Fermentor / Probio Warung Tani I 1 liter. ( Aktivator pengomposan ini menggunakan mikroba-mikroba terpilih yang memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi limbah-limbah padat organik, yaitu: Trichoderma pseudokoningii, Cytopaga sp, Trichoderma harzianum, Pholyota sp, Agraily sp dan FPP / fungi pelapuk putih)...

Cara pembuatannya :
1.      Kohe (Kotoran Hewan) sapi dan dedak/katul diaduk hingga rata.
2.      Air kelapa dimasukkan pada wadah drum plastik, campurkan/masukan juga ke dalam drum molase / gula pasir & Fermentor / Probio Warung Tani I, diaduk hingga ke3 bahan tersebut tercampur hingga rata.
3.      Kohe yg sudah tercampur dengan Dedak/Katul ditumpuk pada ketinggian yg  rata lalu siram/kocor dengan ketiga campuran bahan yg ada di dalam drum hingga rata, sebaiknya menggunakan gembor & dibolak balik sampai rata tercampur.
4.      Kalau pengocoran/penyiraman & pengadukan selesai, tutup kohe fermentasi yg sdh dalam proses dengan terpal. Biarkan selama 14 hari
Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Kohe fermentasi Probio Warung Tani I :
-           Kohe yg dipakai sebagai bahan utama jangan yg terlalu basah, sehingga banyak kandungan air di dalamnya, kalau terlalu basah endapkan dulu sampai air benar2 susut & mengering.
-           Dosis air kelapa, Dedak, Molase/Gula pasir dan fermentor  Probio Warung Tani I harus tepat, tidak boleh  kurang atau tak boleh lebih.
-           Bahan bahan yg di gunakan jangan tercampur air sedikitpun, agar hasil yg dicapai sesuai   dengan harapan.
-           Usahakan pembuatan Kohe Fermentasi dilakukan di bawah naungan, sehingga tidak terkena sinar matahari secara langsung dan kehujanan, untuk menjaga agar Proses fermentasi sempurna.
-           Pada saat proses fermentasi perhatikan kenaikan suhu kompos yg kita buat, maksimal 70 derajat celcius. Dalam proses dekomposisi akan menghasilkan zat amoniak, NH3 / amoniak terbentuk karena mobilisasi bahan  Nitrogen terurai menjadi asam amino & asam nitrat, jadi amoniak sendiri sebetulnya dibutuhkan dalam proses dekomposisi, bukan dibuang, amoniak sebagian besar terpakai dlm proses dekomposisi, juga dalam proses penguraian unsur N menjadi asam amino tetep dibutuhkan, aktifator berfungsi dalam proses dekomposisi / fisika jg dlm proses penguraian & pengikatan mineral & penyediaan pangan u/ budidaya lele......jadi proses sebetulnya berjalan scr berkesinambungan mulai dr proses dekomposisi sampai penyediaan pakan alami lele
-           Dalam pembuatan kohe fermentasi ini apabila sudah mencapai usia 5 hari bau kohe sapi sudah tidak tercium, yng tercium adalah bau fermentasi (Asam).
-           Apabila proses sempurna maka pada lapisan bagian atas akan tumbuh jamur putih yg merupakan jamur TRICHODERMA yang berfungsi untuk menjaga kestabilan PH dalam kolam terpal. (  jamur putih pertanda pertumbuhan tricoderma yg nantinya akanberguna untuk menjaga pH air dlm kolam, lapisn dlm basah gak masalah selama kohe sdh benar2 " matang " tanda2 nya aroma sdh asem. penambahan probio & mengganti air kolam kira2 100 lt per ukuran 1 x 4 seminggu sekali sdh bisa menjaga stabilitas pH air dalam kolam di angka 5,5 – 7).
Setelah proses selama 14 hari dan proses fermentasi sdh selesai ditunjukan dengan : Suhu kembali menjadi dingin, pada permukaan Kohe fermentasi banyak jamur putih, maka Terpal Dibuka dan angin anginkan atau didinginkan selama minimal 24 jam, semakin lama akan semakin baik. Kalau proses pendinginkan sudah selesai, maka kohe fermentasi Gawek siap untuk dipaking. Sebaiknya dipaking dalam sak/karung gabah diisi masing-masing 50 kg/sak, untuk memudahkan  pengisian atau penenmpatan sak dalam kolam terpal. Dan usahakan setiap sak yg berisi kohe fermentasi dijahit yg kuat.
Perendaman Kohe fermentasi Gawek dalam Kolam Terpal.
-           Perendaman Kohe fermentasi untuk pabrik pakan di dalam kolam harus dilakukan tujuannya untuk membuat pabrik pakan di dalam kolam terpal, pada saat perendaman akan eksudat : plankton, cacing dan binatang lain yang akan menjadi pakan lele.
-Ukuran untuk perendaman dalam kolam terpal ukuran 1x4m dengan populasi 1000 ekor butuh 6 sak kohe fermentasi @ 50 kg total 300Kg.
-Pada saat perendaman air kolam akan berubah warna lama kelamaan menjadi seperti warna kopi, dan akan tumbuh pakan lele,jadi tujuan perendaman itu adalah menyiapkan pakan dalam kolam sebelum benih lele dimasukan, jadi dalam arti apabila benih lele dimasukan maka ketersediaan pakan dalam kolam sudah terpenuhi.
-Tanda tanda kolam siap dimasukki benih dgn sudah tidak munculnya gelembung2 uap & udara didalam air kolam, jg sdh mulai muncul & tumbuh jamur.
Pemasukan benih lele.
Benih yg akan kita budidayakan diupayakan ukuran 4 -6 / 5-7 cm.
Bibit lele yg akan kita masukkan diusahakan diadaptasikan terlebih dulu dengan air kolam dg cara air bawaan dari pembenihan jangan dibuang tetapi masukan ke dalam kolam bersama plastiknya, lobangi plastik wadah benih agar tercampur dgn air kolam, biarkan adaptasi selama 24 jam, baru benih lele dilepaskan ke dalam kolam terpal.
Pada saat sebelum pemasukan benih, dan selesai masa perendaman kohe fermentasi tambahkan air sampai ketinggian 70-80 cm lalu tambahkan POC Warung Tani I dengan dosis 5 tutup diencerkan terlebih dulu ke dalam air sebanyak satu ember aduk hingga rata, lalu siramkan ke kolam secara merata, setelah itu baru adaptasikan benih lele ke kolam terpal.
Kalau air dalam kolam banyak buihnya berarti itu ada indikasi bahwa kebanyakan POC ataupun perendaman kohe kurang sempurna, kalau keadaaan kolam terpal banyak buih sebaiknya dibiarkan dulu atau tunda penebaran benih lelenya.
Pemeliharaan ikan lele dan pemanenan.
Pada masa pemeliharaan lele harus diberikan POC Warung Tani I setiap 7 hari sekali dengan dosis 5 tutup botol untuk ukuran kolam 1X4m dengan populasi 1000 ekor lele, Untuk ukuran lebih besar tinggal dikalikan saja.
Air dalam kolam setiap seminggu sekali sebelum diberikan POC Warung Tani I agar dibuang sekitar 100 liter dan kemudian ditambahkan 100 Liter lagi dengan tujuan agar pH dalam air lebih stabil, dan ketersediaan Oksigen dalam air tercukupi.
Lele organik dapat di panen pada usia minimal 70 hari, dengan cara pemanenan biasa, yg sdh panen biaya tingkat mortalitas 10% dan tingkat keseragaman lele hamper 100%.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada budi daya lele organik :
1.      Kolam terpal usahakan ditempatkan pada kolam yg ternaungi, jangan terkena sinar matahari langsung.Bisa  dibawah pohon, bisa di gang diantara rumah.
2.      Berikan tambahan pakan lele dalam bentuk azolla, bekicot/keong, roti BS, atau pakan tambahan lainnya,  atau pakan dari pabrik  dgn penghematan sampai dgn 60 %, untuk kapasitas 10 ribu bibit, pakan pabrik bisa diberikan2 kg/ hr pd saat lele berumur 3 minggu – 1,5 bulan & selanjutnya 5 kg/hr sampai masa panen.
3.      Suhu air dalam kolam terpal agar selalu dijaga dengan penggantian 100 liter air kolam dgn air baru & pemberian fermentor Gawek setiap 7 hari sekali.
4.      Air yg dimasukan ke dalam kolam terpal jangan sampai menggunakan air yg berasal dari PDAM karena mengandung kaporit yg akan mengancam kehidupan mikroba, usahakan memakai air tanah yg berasal dari sumur.
5.      Ketinggian air dalam kolam harus selalau dijaga, agar diberikan saluran pembuangan dalam kolan dengan ketinggian 70-80cm, agar kalau terjadi hujan deras air tdk akan memenuhi permukaan kolam terpal.
6.      Pembuatan pabrik pakan lele agar dipaking ke dalam sak, karena tujuan awal adalah membuat pabrik pakan di dalam kolam bukan memeberi pakan lele dengan kohe fermentasi tersebut.




SOP diatas hanya kita bahas skala rumah tangga, apabila ingin lebih luas maka kebutuhan kohe fermentasi dan luasan kolam terpal maupun pemberian fermentor harus disesuaikan, dengan cara mengalikan per ukuran 1X4m untuk populasi 1000 ekor lele.

CARA PEMBUATAN ADJUVAN BERBAHAN ALOEVERA


aloevera...tanaman multi fungsi....untuk bidang pertanian bisa digunakan sbg bahan mentah pembuatan adjuvant yg mampu berfungsi sebagai perata....penembus jaringan tumbuh tanaman, selain itu jg mempunyai kandungan hormon auxsin & sitokinin tinggi. shg jg berfungsi hormonal sbg pengatur tumbuh...terutama unt pertumbuhan vegetatif tanaman.
Bahan :
- aloevera                  : 1,5 kg atau 1 ltr cair.
- gula pasir / molase   : 2 sendok makan / 100ml molase.
- mikroba pengurai      : 100 ml ( bisa menggunakan kandungan mikroba dlm POC GaWek )

Cara pembuatan :
- Kupas kulit aloevera, tampung " dagingnya " sampai menghasilkan cairan kira2 1ltr.
- Blender / mixer daging aloevera sampai menjadi buih semuanya.
- Campurkan gula/molase  serta mikroba pada saat mixing dlm blender/ mixer spy bisa tercampur merata.
- Masukkan " busa" aloevera ke dalam wadah tutup rapat.
- Kontrol setiap hari....kempeskan wadah kemudian tutup rapat lg sampai proses berhenti ( tdk menggelembung yg menyebabkan wadah mengeras ), biasanya proses ini berjalan 2 minggu & adjuvan siap untuk digunakan.

Aplikasi :
 Gunakan untuk campuran dlm penyemprotan pemupukan maupun penyemprotan biopesti/bacterisida.
 Gunakan dosis sesuai aturan, dilarang keras over dosis 1cc/ltr air.
 Pada masa pertumbuhan vegetatif reaksi tumbuh sdh bisa terlihat pd period 2-3hr.

Rabu, 28 Desember 2011

Penyakit Hawar Daun Bakteri


Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Petani di Indonesia pada umumnya merupakan petani tradisional.
Teknologi yang mereka terapkan masih turun temurun, sehingga kesejahteraannya masih jauh bila dibandingkan dengan petani di Negara maju. Mayoritas komoditas yang ditanami oleh petani di Indonesia adalah padi (Oryza sativa L.). Karena padi merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam budidayanya petani banyak menghadapi kendala. Salah satunya adalah adanya OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) baik berupa hama maupun penyakit. Penyakit yang sering menyerang tanaman padi diantaranya adalah hawar daun bakteri atau BLB (bacterial leaf blight) yang lebih populer dengan nama penyakit “kresek”.

Penyakit hawar daun bakteri merupakan penyakit yang tersebar luas di pertanaman padi sawah dan bisa menurunkan hasil sampai 36%. Penyakit ini pada umumnya terjadi pada musim hujan atau lembab >75%, terutama pada lahan sawah yang selalu tergenang dengan pemupukan N yang tinggi. Hawar daun bakteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye. yang dapat menginfeksi tanaman padi pada berbagai stadium pertumbuhan.

Klasifikasi Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye.
Menurut Ferdiaz (1992) dalam Triny S. Kadir, Satoto dan Inastuti A. Rumanti (2006), klasifikasi Xanthomonas adalah sebagai berikut:
Phylum     : Prokaryota
Kelas     : Schizomycetes
Ordo     : Pseudomonadales
Famili     : Pseudomonadaceae
Genus     : Xanthomonas
Spesies     : Xanthomonas campestris pv. Oryzae

Morfologi Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye.
 Bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye. berbentuk batang pendek berukuran (1-2) x (0,8-1) m , di ujungnya mempunyai satu flagela polar yang berukuran 6-8 m dan berfungsi sebagai alat bergerak. Bakteri ini bersifat aerob, gram negatif dan tidak membentuk spora. Di atas media PDA bakteri ini membentuk koloni bulat cembung yang berwarna kuning keputihan sampai kuning kecoklatan dan mempunyai permukaan yang licin (Machmud, 1991; Semangun, 2001; Triny dkk., 2006).

Foto Mikroskop Elektron Xanthomonas (30.000 x)
(Sumber: Koleksi PPOPT Bandung, 2008 dan Lozano, 1974 dalam Semangun, 2001)

Sejarah dan Sebaran Penyakit Hawar Daun Bakteri
Penyakit hawar daun bakteri pertama kali ditemukan di Fukuoka Jepang pada tahun 1884. Pada awal abad XX penyakit ini telah diketahui tersebar luas hampir di seluruh Jepang kecuali di pulau Hokkaido. Di Indonesia, penyakit ini mula-mula ditemukan oleh Reitsma dan Schure pada tanaman muda di daerah Bogor dengan gejala layu. Penyakit ini dinamai kresek dan patogennya dinamai xanthomonas kresek Schure. Terbukti bahwa penyakit ini sama dengan penyakit hawar daun bakteri yang terdapat di Jepang (Singh, 1980; Machmud, 1991).

Pengembangan varietas padi unggul dengan hasil tinggi tetapi peka terhadap penyakit menyebabkan semakin tersebar luasnya penyakit ini. Akhir-akhir ini penyakit hawar daun bakteri dilaporkan telah terdapat di negara-negara yang mewakili hampir seluruh benua, misalnya Bangladesh, India, Korea Malaysia, Filipina, Cina, Taiwan dan Vietnam. Penyakit ini bahkan telah dilaporkan dari Rusia, Afrika dan Amerika Latin (Machmud, 1991).

Gejala Serangan Penyakit Hawar Daun Bakteri
Penyakit hawar bakteri pada tanaman padi bersifat sistemik dan dapat menginfeksi tanaman pada berbagai stadium pertumbuhan. Gejala penyakit ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1). Gejala layu (kresek) pada tanaman muda atau tanaman dewasa yang peka, (2). Gejala hawar dan (3). Gejala daun kuning pucat (Singh, 1980; Machmud, 1991; Triny dkk., 2006).

Gejala layu yang kemudian dikenal dengan nama kresek umumnya terdapat pada tanaman muda berumur 1-2 minggu setelah tanam atau tanaman dewasa yang rentan. Pada awalnya gejala terdapat pada tepi daun atau bagian daun yang luka berupa garis bercak kebasahan, bercak tersebut meluas berwarna hijau keabu-abuan, selanjutnya seluruh daun menjadi keriput dan akhirnya layu seperti tersiram air panas. Seringkali bila air irigasi tinggi, tanaman yang layu terkulai ke permukaan air dan menjadi busuk (Anonim, 1989).

Menurut Machmud (1991), pada tanaman yang peka terhadap penyakit ini, gejala terus berkembang hingga seluruh permukaan daun, bahkan kadang-kadang pelepah padi sampai mengering. Pada pagi hari atau cuaca lembab, eksudat bakteri sering keluar ke permukaan bercak berupa cairan berwarna kuning menempel pada permukaan daun dan mudah jatuh oleh hembusan angin, gesekan daun atau percikan air hujan. Eksudat ini merupakan sumber penularan yang efektif.
 
Foto Gejala Serangan Xanthomonas pada Tanaman Padi
(Sumber : Anonim, 1989 dan www.hartanto.wordpress.com)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri
Kultivar padi mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap Xanthomonas. Ketahanan disebabkan karena: 1. Bakteri terhambat penetrasinya, 2. Bakteri tidak dapat meluas secara sistemik, dan 3. Tanaman bereaksi langsung terhadap bakteri (Lozano dan Sequeira, 1974 dalam Semangun, 2001). Menurut Maraite dan Weyns (1979) dalam Semangun (2001), penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Xanthomonas dibantu juga oleh hujan, karena hujan akan meningkatkan kelembaban dan membantu pemencaran bakteri. Intensitas penyakit yang tertinggi terjadi pada akhir musim hujan, menjelang musim kemarau. Suhu optimum untuk perkembangan Xanthomonas adalah sekitar 300C.

Kerugian Akibat Penyakit Hawar Daun Bakteri
Kerugian hasil padi di Jepang yang diakibatkan oleh penyakit hawar daun bakteri setiap tahunnya mencapai 30% bahkan lebih. Di India penyakit ini juga merupakan kendala utama produksi padi, berjuta-juta hektar sawah tiap tahun terserang penyakit tersebut dengan kerugian bervariasi antara 20-60% (Singh, 1980).

Di daerah tropis seperti Indonesia dan Filipina, penyakit ini juga sangat merugikan meskipun besar kerugian kurang diketahui secara pasti. Di Indonesia kerugian akibat penyakit ini diperkirakan berkisar antara 15-25% tiap tahun. Kerusakan berat terjadi bila penyakit ini menyerang tanaman muda yang peka, sehingga menimbulkan gejala kresek dan kemudian tanaman mati (Machmud, 1991).

Pengendalian Penyakit Hawar Daun Bakteri
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri akan lebih berhasil bila dilaksanakan secara terpadu, mengingat berbagai faktor dapat mempengaruhi penyakit ini di lapangan, misalnya keadaan tanah, pengairan, pemupukan, kelembaban, suhu dan ketahanan varietas padi yang ditanam. Usaha terpadu yang dapat dilaksanakan mencakup penanaman varietas yang tahan, pembuatan persemaian kering atau tidak terendam air, jarak tanam tidak terlalu rapat, tidak memotong akar dan daun bibit yang akan ditanam, air tidak terlalu tinggi pada waktu tanaman baru ditanam dan menghindari pemberian pupuk N yang terlalu tinggi.

Upaya pengendalian untuk mengatasi penyakit ini yaitu dengan melakukan beberapa hal :
1.    Perbaikan cara bercocok tanam, melalui:
    Pengolahan tanah secara optimal
    Pengaturan pola tanam dan waktu tanam serempak dalam satu hamparan
    Pergiliran tanam dan varietas tahan
    Penanaman varietas unggul dari benih yang sehat
    Pengaturan jarak tanam
    Pemupukan berimbang (N,P, K dan unsur mikro) sesuai dengan fase pertumbuhan dan musim
    Pengaturan sistem pengairan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman.
2.    Sanitasi lingkungan
3.    Pemanfaatan agensia hayati Corynebacterium
4.    Penyemprotan bakterisida anjuran yang efektif dan diizinkan secara bijaksana berdasarkan hasil pengamatan.

Macam-macam jenis Hama Tanaman dan Cara Pengendalian

HAMA TANAMAN
1. MORFOLOGI UMUM HAMA

Untuk mengenal berbagai jenis binatang yang dapat berperan sebagai hama, maka sebagai langkah awal dalam kuliah dasar – dasar Perlintan akan dipelajari bentuk atau morfologi, khususnya morfologi luar (external morphology) binatang penyebab hama. Namun demikian, tidak semua sifat morfologi tersebut akan dipelajari dan yang dipelajari hanya terbatas pada morfologi “penciri” dari masing-masing golongan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan identifikasi atau mengenali jenis – jenis hama yang dijumpai di lapangan.
Dunia binatang (Animal Kingdom) terbagi menjadi beberapa golongan besar yang masing-masing disebut Filum. Dari masing-masing filum tersebut dapat dibedakan lagi menjadi golongan – golongan yang lebih kecil yang disebut Klas. Dari Klas ini kemudian digolongkan lagi menjadi Ordo (Bangsa) kemudian Famili (suku), Genus (Marga) dan Spesies (jenis).
Beberapa filum yang anggotanya diketahui berpotensi sebagai hama tanaman adalah Aschelminthes (nematoda), Mollusca (siput), Chordata (binatang bertulang belakang), dan Arthropoda (serangga, tunggau, dan lain – lain). Dalam uraian berikut akan dibicarakan secara singkat tentang sifat-sifat morfologi luar anggota filum tersebut.
A. FILUM ASCHELMINTHES
Anggota filum Aschelminthes yang banyak dikenal berperan sebagai hama tanaman (bersifat parasit) adalah anggota klas Nematoda. Namun, tidak semua anggota klas Nematoda bertindak sebagai hama, sebab ada di antaranya yang berperan sebagai nematoda saprofag serta sebagai nematoda predator (pemangsa), yang disebut terakhir ini tidak akan dibicarakan dalam uraian – uraian selanjutnya.
Secara umum ciri – ciri anggota klas Nematoda tersebut antara lain adalah :
* Tubuh tidak bersegmen (tidak beruas)
* Bilateral simetris (setungkup) dan tidak memiliki alat gerak
* Tubuh terbungkus oleh kutikula dan bersifat transparan.

Untuk pembicaraan selanjutnya, anggota klas nematoda yang bersifat saprofag digolongkan ke dalam nematoda non parasit dan untuk kelompok nematoda yang berperan sebagai hama tanaman dimasukkan ke dalam golongan nematoda parasit.
Ditinjau dari susunannya, maka bentuk stylet dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe stomatostylet dan odonostylet. Tipe stomatostylet tersusun atas bagian – bagian conus (ujung), silindris (bagian tengah) dan knop stylet (bagian pangkal). Tipe stylet ini dijumpai pada nematoda parasit dari ordo Tylenchida.
Tipe odonostylet dijumpai pada nematoda parasit dari ordo Dorylaimida, yang styletnya tersusun atas conus dan silindris saja. Beberapa contoh dari nematoda parasit ini antara lain adalah :
* Meloidogyne sp. yang juga dikenal sebagai nematoda “puru akar” pada tanaman tomat, lombok, tembakau dan lain – lain.
* Hirrschmanieella oryzae (vBrdH) pada akar tanaman padi sawah.
* Pratylenchus coffae (Zimm) pada akar tanaman kopi.
B. FILUM MOLLUSCA
Dari filum Mollusca ini yang anggotanya berperan sebagai hama adalah dari klas Gastropoda yang salah satu jenisnya adalah Achatina fulica Bowd atau bekicot, Pomacea ensularis canaliculata (keong emas). Binatang tersebut memiliki tubuh yang lunak dan dilindungi oleh cangkok (shell) yang keras. Pada bagian anterior dijumpai dua pasang antene yang masing-masing ujungnya terdapat mata. Pada ujung anterior sebelah bawah terdapat alat mulut yang dilengkapi dengan gigi parut (radula). Lubang genetalia terdapat pada bagian samping sebelah kanan, sedang anus dan lubang pernafasan terdapat di bagian tepi mantel tubuh dekat dengan cangkok/shell.
Bekicot atau siput bersifat hermaprodit, sehingga setiap individu dapat menghasilkan sejumlah telur fertil. Bekicot aktif pada malam hari serta hidup baik pada kelembaban tinggi. Pada siang hari biasanya bersembunyi pada tempat-tempat terlindung atau pada dinding-dinding bangunan, pohon atau tempat lain yang tersembunyi.
C. FILUM CHORDATA
Anggota Filum Chordata yang umum dijumpai sebagai hama tanaman adalah dari klas Mammalia (Binatang menyusui). Namun, tidak semua binatang anggota klas Mammalia bertindak sebagai hama melainkan hanya beberapa jenis (spesies) saja yang benar – benar merupakan hama tanaman. Jenis – jenis tersebut antara lain bangsa kera (Primates), babi (Ungulata), beruang (Carnivora), musang (Carnivora) serta bangsa binatang pengerat (ordo rodentina). Anggota ordo Rodentina ini memiliki peranan penting sebagai perusak tanaman, sehingga secara khusus perlu dibicarakan tersendiri, yang meliputi keluarga bajing dan tikus.
1. Keluarga Bajing (fam. Sciuridae)
Ada dua jenis yang penting, yaitu Callossciurus notatus Bodd. dan C. nigrovittatus yang keduanya dikenal dengan nama “bajing”. Jenis pertama dijumpai pada daerah – daerah di Indonesia dengan ketinggian sampai 9000 m di atas permukaan laut. Sedang jenis C. nigrovittatus dapat dijumpai di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera pada daerha dengan ketinggian sampai 1500 m.
Jenis bajing ini umumnya banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa namun beberapa jenis tanaman buah kadang – kadang juga diserangnya. Gejala serangan hama bajing pada buah kelapa tampak terbentuknya lubang yang cukup lebar dan tidak teratur dekat dengan ujung buah, sedang jika yang menyerang tikus maka lubang yang terbentuk lebih kecil serta tampak lebih teratur / rapi.
2. Keluarga tikus (fam. Muridae)
Ada beberapa jenis yang diketahui banyak menimbulkan kerusakan antara lain, tikus rumah (Rattus – rattus diardi Jent); tikus pohon (Rattus – rattus tiomanicus Muller), serta tikus sawah (Rattus-rattus argentiver_Rob.&Kl).
Tikus rumah dikenal pula sebagai tikus hitam karena warna bulunya hitam keabu – abuan atau hitam kecoklatan. Panjang tubuh sampai ke kepala antara 11 – 20 cm dan panjang ekor biasanya lebih panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah puting susunya ada 10 buah.
Tikus pohon memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan tikus rumah. Bulu tubuh bagian ventral putih bersih atau kadang – kadang agak keabu-abuan. Panjang ekor biasanya lebih panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah putting susunya ada 10 buah.
Tikus sawah memiliki ciri – ciri tubuh antara lain bulu – bulu tubuh bagian ventral berwarna keabu-abuan atau biru keperakan. Panjang ekor biasanya sama atau lebih pendek daripada panjang tubuh + kepala. Pada pertumbuhan penuh panjang tubuhnya antara 16 – 22 cm serta jumlah puting susu ada 12 buah.
D. FILUM ARTHOPODA
Merupakan filum terbesar di antara filum – filum yang lain karena lebih dari 75 % dari binatang-binatanag yang telah dikenal merupakan anggota dari filum ini. Karena itu, sebagian besar dari jenis-jenis hama tanaman juga termasuk dalam filum Arthropoda.
Anggota dari filum Arthropoda yang mempunyai peranan penting sebagai hama tanaman adalah klas Arachnida (tunggau) dan klas Insecta atau Hexapoda (serangga).
1. Klas Arachnida
Tanda – tanda morfologi yang khas dari anggota klas Arachnida ini adalah:
- Tubuh terbagi atas dua daerah (region), yaitu cephalothorax (gabungan caput dan thorax) dan abdomen.
- Tidak memiliki antene dan mata facet.
- Kaki empat pasang dan beruas – ruas.
Dalam klas Arachnida ini, yang anggotanya banyak berperan sebagai hama adalah dari ordo Acarina atau juga sering disebut mites (tunggau).
Morfologi dari mites ini antara lain, segmentasi tubuh tidak jelas dan dilengkapi dengan bulu – bulu (rambut) yang kaku dan cephhalothorax dijumpai adanya empat pasang kaki.
Alat mulut tipe penusuk dan pengisap yang memiliki bagian – bagian satu pasang chelicerae (masing – masing terdidi dari tiga segmen) dan satu pasang pedipaalpus. Chelicerae tersebut membentuk alat seperti jarum sebagai penusuk.
Beberapa jenis hama dari ordo Acarina antara lain adalah :
- Tetranychus cinnabarinus Doisd. atau hama tunggau merah / jingga pada daun ketela pohon.
- Brevipalpus obovatus Donn. (tunggau daun teh).
- Tenuipalpus orchidarum Parf. (tunggau merah pada anggrek).
2. Klas Insekta (Hexapoda / serangga)
Anggota beberapa ordo dari klas Insekta dikenal sebagai penyebab hama tanaman, namun ada beberapa yang bertindak sebagai musuh alami hama (parasitoid dan predator) serta sebagai serangga penyerbuk.
Secara umum morfologi anggota klas Insekta ini adalah:
- Tubuh terdiri atas ruas – ruas (segmen) dan terbagi dalam tiga daerah, yaitu caput, thorax dan abdomen.
- Kaki tiga pasang, pada thorax.
- Antene satu pasang.
- Biasanya bersayap dua pasang, namun ada yang hanya sepasang atau bahkan tidak bersayap sama sekali.
Memahami pengetahuan morfologi serangga tersebut sangatlah penting, karena anggota serangga pada tiap – tiap ordo biasanya memiliki sifat morfologi yang khas yang secara sederhana dapat digunakan untuk mengenali atau menentukan kelompok serangga tersebut. Sifat morfologi tersebut juga menyangkut morfologi serangga stadia muda, karena bentuk-bentuk serangga muda tersebut juga memiliki ciri yang khas yang juga dapat digunakan dalam identifikasi.
Bentuk-bentuk serta ciri serangga stadia muda tersebut secara khusus kakan dibicarakan pada uraian tentang Metamorfose serangga, sedang uraian singkat tentang morfologi “penciri” pada beberapa ordo penting klas Insekta akan diberikan pada uraian selanjutnya.
Berdasarkan sifat morfologinya, maka larva dan pupa serangga dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Tipe larva
a. Polipoda, tipe larva ini memiliki ciri antara lain tubuh berbentuk silindris, kepala berkembang baik serta dilengkapi dengan kaki abdominal dan kaki thorakal. Tipe larva ini dijumpai pada larva ngengat / kupu (Lepidoptera)
b. Oligopoda, tipe larva ini dapat dikelompokkan menjadi : Campodeiform dan Scarabaeiform,
c. Apodus (Apodous), tipe larva ini memiliki badan yang memanjang dan tidak memiliki kaki. Kepala ada yang berkembang baik ada yang tidak. Tipe larva ini dijumpai pada anggota ordo Diptera dan familia Curculionidae (Coleoptera).
2. Tipe pupa
Perbedaan bentuk pupa didasarkan pada kedudukan alat tambahan (appendages), seperti calon sayap, calon kaki, antene dan lainnya. Tipe pupa dikelompokkan menjadi tiga tipe :
a. Tipe obtecta, yakni pupa yang memiliki alat tambahan (calon) melekat pada tubuh pupa. Kadang-kadang pupa terbungkus cocon yang dibentuk dari liur dan bulu dari larva.
b. Tipe eksarat, yakni pupa yang memiliki alat tambahan bebas (tidak melekat pada tubuh pupa ) dan tidak terbungkus oleh cocon.
c. Tipe coartacta, yakni pupa yang mirip dengan tipe eksarat, tetapi eksuviar tidak mengelupas (membungkus tubuh pupa). Eksuviae mengeras dan membentuk rongga untuk membungkus tubuh pupa dan disebut puparium.
Tipe pupa obtecta dijumpai pada anggota ordo Lepidoptera, pupa eksarat pada ordo Hymenoptera dan Coleoptera, sedang pupa coartacta pada ordo Diptera.
A. Morfologi Beberapa Ordo Serangga yang Penting
a. Ordo Orthoptera (bangsa belalang)
Sebagian anggotanya dikenal sebagai pemakan tumbuhan, namun ada beberapa di antaranya yang bertindak sebagai predator pada serangga lain.
Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena – vena menebal / mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah sayap depan.
Alat – alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap – tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen).
Ada mulutnya bertipe penggigit dan penguyah yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang mandibula, sepasang maxilla dengan masing – masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium dengan palpus labialisnya.
Metamorfose sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur —> nimfa —> dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.
Beberapa jenis serangga anggota ordo Orthoptera ini adalah :
- Kecoa (Periplaneta sp.)
- Belalang sembah / mantis (Otomantis sp.)
- Belalang kayu (Valanga nigricornis Drum.)
b. Ordo Hemiptera (bangsa kepik) / kepinding
Ordo ini memiliki anggota yang sangat besar serta sebagian besar anggotanya bertindak sebagai pemakan tumbuhan (baik nimfa maupun imago). Namun beberapa di antaranya ada yang bersifat predator yang mingisap cairan tubuh serangga lain.
Umumnya memiliki sayap dua pasang (beberapa spesies ada yang tidak bersayap). Sayap depan menebal pada bagian pangkal (basal) dan pada bagian ujung membranus. Bentuk sayap tersebut disebut Hemelytra. Sayap belakang membranus dan sedikit lebih pendek daripada sayap depan. Pada bagian kepala dijumpai adanya sepasang antene, mata facet dan occeli.
Tipe alat mulut pencucuk pengisap yang terdiri atas moncong (rostum) dan dilengkapi dengan alat pencucuk dan pengisap berupa stylet. Pada ordo Hemiptera, rostum tersebut muncul pada bagian anterior kepala (bagian ujung). Rostum tersebut beruas – ruas memanjang yang membungkus stylet. Pada alat mulut ini terbentuk dua saluran, yakni saluran makanan dan saluran ludah.
Metamorfose bertipe sederhana (paurometabola) yang dalam perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Bnetuk nimfa memiliki sayap yang belum sempurna dan ukuran tubuh lebih kecil dari dewasanya.
Beberapa contoh serangga anggota ordo Hemiptera ini adalah :
- Walang sangit (Leptorixa oratorius Thumb.)
- Kepik hijau (Nezara viridula L)
- Bapak pucung (Dysdercus cingulatus F)

c. Ordo Homoptera (wereng, kutu dan sebagainya)
Anggota ordo Homoptera memiliki morfologi yang mirip dengan ordo Hemiptera. Perbedaan pokok antara keduanya antara lain terletak pada morfologi sayap depan dan tempat pemunculan rostumnya.
Sayap depan anggota ordo Homoptera memiliki tekstur yang homogen, bisa keras semua atau membranus semua, sedang sayap belakang bersifat membranus.
Alat mulut juga bertipe pencucuk pengisap dan rostumnya muncul dari bagian posterior kepala. Alat-alat tambahan baik pada kepala maupun thorax umumnya sama dengan anggota Hemiptera.
Tipe metamorfose sederhana (paurometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Baik nimfa maupun dewasa umumnya dapat bertindak sebagai hama tanaman.
Serangga anggota ordo Homoptera ini meliputi kelompok wereng dan kutu-kutuan, seperti :
- Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
- Kutu putih daun kelapa (Aleurodicus destructor Mask.)
- Kutu loncat lamtoro (Heteropsylla sp.).

d. Ordo Coleoptera (bangsa kumbang)
Anggota – anggotanya ada yang bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain.
Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal serta tidak memiliki vena sayap dan disebut elytra.
Apabila istirahat, elytra seolah – olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan.
Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya mandibula berkembang dengan baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan kepala.
Metamorfose bertipe sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong (pupa) —> dewasa (imago). Larva umumnya memiliki kaki thoracal (tipe oligopoda), namun ada beberapa yang tidak berkaki (apoda). Kepompong tidak memerlukan pakan dari luar (istirahat) dan bertipe bebas / libera.
Beberapa contoh anggotanya adalah :
- Kumbang badak (Oryctes rhinoceros L)
- Kumbang janur kelapa (Brontispa longissima Gestr)
- Kumbang buas (predator) Coccinella sp.

e. Ordo Lepidoptera (bangsa kupu/ngengat)
Dari ordo ini, hanya stadium larva (ulat) saja yang berpotensi sebagai hama, namun beberapa diantaranya ada yang predator. Serangga dewasa umumnya sebagai pemakan/pengisap madu atau nektar.
Sayap terdiri dari dua pasang, membranus dan tertutup oleh sisik – sisik yang berwarna – warni. Pada kepala dijumpai adanya alat mulut seranga bertipe pengisap, sedang larvanya memiliki tipe penggigit. Pada serangga dewasa, alat mulut berupa tabung yang disebut proboscis, palpus maxillaris dan mandibula biasanya mereduksi, tetapi palpus labialis berkembang sempurna.
Metamorfose bertipe sempurna (Holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva bertipe polipoda, memiliki baik kaki thoracal maupun abdominal, sedang pupanya bertipe obtekta.
Beberapa jenisnya antara lain :
- Penggerek batang padi kuning (Tryporiza incertulas Wlk)
- Kupu gajah (Attacus atlas L)
- Ulat grayak pada tembakau (Spodoptera litura)

f. Ordo Diptera (bangsa lalat, nyamuk)
Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter. Pada kepalanya juga dijumpai adanya antene dan mata facet.
Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap.
Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu :
- bagian pangkal yang berbentuk kerucut disebut rostum
- bagian tengah yang berbentuk silindris disebut haustellum
- bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc.
Metamorfosenya sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva tidak berkaki (apoda_ biasanya hidup di sampah atau sebagai pemakan daging, namun ada pula yang bertindak sebagai hama, parasitoid dan predator. Pupa bertipe coartacta.
Beberapa contoh anggotanya adalah :
- lalat buah (Dacus spp.)
- lalat predator pada Aphis (Asarcina aegrota F)
- lalat rumah (Musca domesticaLinn.)
- lalat parasitoid (Diatraeophaga striatalis).

g. Ordo Hymenoptera (bangsa tawon, tabuhan, semut)
Kebanyakan dari anggotanya bertindak sebagai predator / parasitoid pada serangga lain dan sebagian yang lain sebagai penyerbuk.
Sayap terdiri dari dua pasang dan membranus. Sayap depan umumnya lebih besar daripada sayap belakang. Pada kepala dijumpai adanya antene (sepasang), mata facet dan occelli.
Tipe alat mulut penggigit atau penggigit-pengisap yang dilengkapi flabellum sebagai alat pengisapnya.
Metamorfose sempurna (Holometabola) yang melalui stadia : telur-> larva–> kepompong —> dewasa. Anggota famili Braconidae, Chalcididae, Ichnemonidae, Trichogrammatidae dikenal sebagai tabuhan parasit penting pada hama tanaman.
Beberapa contoh anggotanya antara lain adalah :
- Trichogramma sp. (parasit telur penggerek tebu / padi).
- Apanteles artonae Rohw. (tabuhan parasit ulat Artona).
- Tetratichus brontispae Ferr. (parasit kumbang Brontispa).

h. Ordo Odonata (bangsa capung / kinjeng)
Memiliki anggota yang cukup besar dan mudah dikenal. Sayap dua pasang dan bersifat membranus. Pada capung besar dijumpai vena – vena yang jelas dan pada kepala dijumpai adanya mata facet yang besar.
Metamorfose tidak sempurna (Hemimetabola), pada stadium larva dijumpai adanya alat tambahan berupa insang dan hidup di dalam air.
Anggota-anggotanya dikenal sebagai predator pada beberapa jenis serangga keecil yang termasuk hama, seperti beberapa jenis trips, wereng, kutu loncat serta ngengat penggerek batang padi.
RANGKUMAN
Mengenal sifat – sifat morfologi luar dari binatang penyebab hama merupakan hal yang penting untuk mempermudah mengenali jenis – jenis hama yang ada di lapangan. Ada beberapa filum dalam dunia binatang yang sebagian dari anggotanya berpotensi menjadi hama tanaman, yakni Filum Aschelminthes, Mollusca, Chordata dan Athropoda.
Dalam filum Aschelminthes, anggota klas nematoda banyak yang berperan sebagai hama tanaman, misalnya anggota dari ordo Tylenchida, “Giantsnail”, Achatina fulica merupakan salah satu anggota filum Mollusca yang diketahui sering merusak berbegai jenis tanaman, baik tahunan maupun tanaman semusim.
Anggota ordo Rodentia, yakni tikus dan bajing merupakan anggota filum Chordata yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman. Anggota filum Chordata lain yang juga berpotensi menjadi hama tanaman adalah kera (Primates) dan babi (Ungulata).
Arthropoda merupakan filum terbesar dalam jumlah anggotanya, sehingga sebagian besar jenis hama tanaman merupakan anggota filum ini. Namun demikian, anggota filum ini khususnya dalam klas Arachida sebagian besar bertindak sebagai musuh alami hama, sedang dari klas Insekta sebagian dari anggotanya menjadi hama penting pada berbagai jenis tanaman dan yang lain ada pula yang berperan sebagai musuh alami hama.
2. CARA MERUSAK DAN GEJALA KERUSAKAN
Pembicaraan mengenai cara merusak dan gejala merusak yang diakibatkan oleh serangan hama khususnya dari serangga tidak dapat lepas dari pembicaraan mengenai morfologi alat mulut serangga hama. Dengan tipe alat mulut tertentu, serangga hama dalam merusak tanaman akan mengakibatkan gejala kerusakan yang khas pada tanaman yang diserangnya. Karena itu, dengan mempelajari berbagai tipe gejala ataupun tanda serangan akan dapat membantu dalam mengenali jenis – jenis hama penyebab yang dijumpai di lapangan. Bahkan lebih jauh dari itu dapat pula digunakan untuk menduga cara hidup ataupun untuk menaksir populasi hama yang bersangkutan.
Berdasarkan pada cara merusak dan gejala kerusakan yang ditimbulkannya, maka hama-hama penyebab kerusakan pada tanaman dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu hama penyebab gejala puru (gall), hama pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung, hama penyebab busuk buah, dan hama pengorok (miner)
RANGKUMAN
Jenis – jenis serangga dapat dikelompokkan berdasarkan tipe alat mulutnya. Dengan tipe alat mulut tertentu, perusakan tanaman oleh serangga akan meninggalkan gejala kerusakan yang khas pada tanaman. Oleh karena itu, dengan mempelajari berbagai tipe gejala serangan akan memepermudah untuk mengetahui jenis hama penyebab kerusakan yang dijumpai di lapangan. Gejala kerusakan dalam bentuk intensitas serangan hama dapat juga digunakan untuk menduga tingkat populasi hama di lapangan.
Berdasarkan cara merusak dan tipe gejala, ada tujuh tipe yaitu hama penyebab puru (gall), hama pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung, hama penyebab busuk buah dan hama penggorok (miner).
3. TAKTIK PENGENDALIAN
Pada dasarnya, pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.
Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian hama Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan berikut ini mengacu pada buku karangan Metcalf (1975) dan Matsumura (1980) yang terdiri dari :
1. Pengendalian secara mekanik
2. Pengendalian secara fisik
3. Pengendalian hayati
4. Pengendalian dengan varietas tahan
5. Pengendalian hama dengan cara bercocok tanam
6. Pengendalian hama dengan sanitasi dan eradikasi
7. Pengendalian kimiawi
A. PENGENDALIAN MEKANIK

Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual.
Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau dengan melibakan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah – daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.
Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat – ulat yang berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau dimusnahkan. Rogesan sering dipraktekkan oleh petani tebu (di Jawa) untuk mencari ulat penggerek pucuk tebu (Scirpophaga nivella) dengan mengiris sedikit demi sedikit pucuk tebu yang menunjukkan tanda serangan. Lelesan dilakukan oleh petani kopi untuk menyortir buah kopi dari lapangan yang terserang oleh bubuk kopi (Hypotheneemus hampei)
B. PENGENDALIAN FISIK

Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor – faktor fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama sukar untuk hidup.
Bahan – bahan simpanan sering diperlakukan denagn pemanasan (pengeringan) atau pendinginan. Cara ini dimaksudkan untuk membunuh atau menurunkan populasi hama sehingga dapat mencegah terjadinya peledakan hama. Bahan-bahan tersebut biasanya disimpan di tempat yang kedap udara sehingga serangga yang bearada di dalamnya dapat mati lemas oleh karena CO2 dan nitrogen.
Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian fisik; karena cara – cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok bagi pertumbuhan serangga. Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan penggenangan karena tanah yang mengandung banyak air akan mendesak oksigen keluar dari partikel tanah. Dengan hilangnya kandungan O2 dalam tanah, nematoda tidak dapat hidup lebih lama.
C. PENGENDALIAN HAYATI
Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh – musuh alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen – agen pengendali alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.
Dua jenis organisme yang digunakan untuk pengendalian hayati terhadap serangga dan tunggau adalah parasit dan predator. Parasit selalu berukuran lebih kecil dari organisme yang dikendalikan oleh (host), dan parasit ini selama atau sebagian waktu dalam siklus hidupnya berada di dalam atau menempel pada inang. Umumnya parsit merusak tubuh inang selama peerkembangannya. Beberapa jenis parasit dari anggota tabuhan (Hymenoptera), meletakkan telurnya didalam tubuh inang dan setelah dewasa serangga ini akan meninggalkan inang dan mencari inang baru untuk meletakkan telurnya.
Sebaliknya predator mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar sari serangga yang dikendalikan (prey), dan sifat predator secara aktif mencari mangsanya, kemudian memakan atau mengisap cairan tubuh mangsa sampai mati. Beberapa kumbang Coccinella merupakan predator aphis atau jenis serangga lain yang baik pada fase larva maupun dewasanya. Contoh lain serangga yang bersifat sebagai predator adalah Chilocorus, serangga ini sekarang telah dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati terhadap hama kutu perisai (Aspidiotus destructor) pada tanaman kelapa.
Agar predator dan tanaman ini sukses sebagai agen pengendali biologis terhadap serangga, maka harus dapat beradaptasi dulu dengan lingkungan tempat hidup serangga hama. Predator dan parasit itu harus dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang baru. Parasit dan predator juga harus bersifat spesifik terhadap hama dan mampu mencari dan membunuhnya.
Parasit harus mempunyai siklus hidup yang lebih pendek daripada inangnya dan mampu berkembang lebih cepat dari inangnya. Siklus hidup parasit waktunya harus sinkron dengan inangnya sehingga apabila saat populasi inang meningkat maka saat peningkatan populasi parasit tidak terlambat datangnya. Predator tidak perlu mempunyai siklus hidup yang sama dengan inangnya, karena pada umumnya predator ini mempunyai siklus hidup yang lebih lama daripada inangnya dan setiap individu predator mampu memangsa beberapa ekor hama.
Baik parasit maupun predator mempunyai ratio jantan dan betina yang besar, mempunyai keperidian dan kecepatan hidup yang tinggi serta memiliki kemampuan meenyebar yang cepat pada suatu daerah dan serangga – serangga itu secara efektif mampu mencari inang atau mangsanya.
Beberapa parasit fase dewasa memerlukan polen dan nektar, sehingga untuk pelepasan dan pengembangan parasit pada suatu daerah, yang perlu diperhatikan adalah daerah tersebut banyak tersedia polen dan nektar yang nanti dapat digunakan sebagai pakan tambahan.
Parasit yang didatangkan dari suatu daerah, mula – mula dipelihara dahulu di karantina selama beberapa saat agar serangga ini mampu beradaptasi dan berkembang. Selama pemeliharaan di dalam karantina, serangga-serangga ini dapat diberi pakan dengan pakan buatan atau mungkin dapat pula digunakan inangnya yang dilepaskan pada tempat pemeliharaan. Setelah dilepaskan di lapangan populasi parasit ini harus dapat dimonitor untuk mengetahui apakah parasit iru sudah mapan, menyebar dan dapat berfungsi sebagai agen pengendali biologis yang efektif; dan bila memungkinkan serangga ini mampu mengurangi populasi hama relatif lebih cepat dalam beberapa tahun.
Contoh pengendalian biologis yang pernah dilakukan di Australia adalah pengendalian Aphis dengan menggunakan tabuhan chalcid atau pengendalian kutu yang menyerang jeruk dengan menggunakan tabuhan Aphytes.
Selain menggunakan parasit dan predator, untuk menekan populasi serangga hama dapat pula memanfaatkan beberapa pathogen penyebab penyakit pada serangga. Seperti halnya dengan binatang lain, serangga bersifat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus dan protozoa. Pada kondisi lingkungan yang cocok beberapa jenis penyakit akan menajdi wabah epidemis. Penyakit tersebut secara drastis mampu menekan populasi hama hanya dalam beberapa hari.
Beberapa jenis bakteri, misal Bacillus thuringiensis secara komersial diperdagangkan dalam bentuk spora, dan bakteri ini dipergunakan untuk menyemprot tanaman seperti halnya insektisida. Yang bersifat rentan terhadap bahan ini adalah fase ulat, dan bilamana ulat-ulat itu makan spora, maka akhirnya bakteri akan berkembang di dalam usus serangga hama, akhirnya bakteri itu menembus usus dan masuk ke dalam tubuhnya, sehingga akhirnya larva akan mati.
Jamur dapat pula digunakan untuk mengendalikan serangga hama, sebagai contoh Entomorpha digunakan untuk mengendalikan Aphis yang menyerang alfafa; spesies Beauveria untuk mengendalikan ulat dan Metarrhizium anisopliae sekarang sudah dikembangkan secara masal dengan medium jagung. Jamur ini digunakan untuk mengendalikan larva Orycetes rhinoceros yang imagonya merupakan penggerek pucuk kelapa.
Lebih dari 200 jenis virus mampu menyerang serangga. Jenis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama adalah Baculovirus untuk menekan populasi Orycetes rhinoceros; Nuclear polyhidrosis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama Heliothis zeae pada tongkol jagung, bahan tersebut telah banyak digunakan di AS, Eropa dan Australia. Virus tersebut masuk dan memperbanyak diri dalam sel inang sebelum menyebar ke seluruh tubuh. Inti dari sel – sel yang terserang menjadi besar, kemudian virus tersebut menuju ke rongga tubuh akhirnya inang akan mati.
Metode pengelolaan agen pengendali biologi terhadap serangga hama meliputi :
1. Introduksi, yakni upaya mendatangkan musuh alami dari luar (exotic) ke wilayah yang baru (ada barier ekologi).
2. Konservasi, yakni upaya pelestarian keberadaan musuh alami di suatu wilayah dengan antara lain melalui pengelolaan habitat.
3. Augmentasi, parasit dan predator lokal yang telah ada diperbanyak secara massal pada kondisi yang terkontrol di laboratorium sehingga jumlah agensia sangat banyak, sehingga dapat dilepas ke lapangan dalam bentuk pelepasan inundative.

D. PENGENDALIAN DENGAN VARIETAS TAHAN
Beberapa varietas tanaman tertentu kuran dapat diserang oleh serangga hama atau kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan varietas lain. Varietas tahan tersebut mempunyai satu atau lebih sifat-sifat fisik atau fisiologis yang memungkinkan tanaman tersebut dapat melawan terhadap serangan hama.
Mekanisme ketahanan tersebut secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Toleransi
Tanaman yang memiliki kemampuan melawan serangan serangga dan mampu hidup terus serta tetap mampu berproduksi, dapat dikatakan sebagai tanaman yang toleran terhadap hama. Toleransi ini sering juga tergantung pada kemampuan tanaman untuk mengganti jaringan yang terserang, dan keadaan ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dan kerapatan hama yang menyerang pada suatu saat.
2. Antibiosis
Tanaman – tanaman yang mengandung toksin (racun) biasanya memberi pengaruh yang kurang baik terhadap serangga. Tanaman yang demikian dikatakan bersifat antibiosis. Tanaman ini akan mempengaruhi banyaknya bagian tanaman yang dimakan hama, dapat menurutkan kemampuan berkembang biak dari hama dan memperbesar kematian serangga. Tanaman kapas yang mengandung senyawa gossypol dengan kadar tinggi mempunyai ketahanan yang lebih baik bila dibandingkan dengan yang mengandung kadar yang lebih rendah, karena bahan kimia ini bekerja sebagai antibiosis terhadap jenis serangga tertentu.
3. Non prefens
Jenis tanaman tertentu mempunyai sifat fisik dan khemis yang tidak disukai serangga. Sifat – sifat tersebut dapat berupa tekstur, warna, aroma atau rasa dan banyaknya rambut sehingga menyulitkan serangga untuk meletakkan telur, makan atau berlindung. Pada satu spesies tanaman dapat pula terjadi bahwa satu tanaman kurang dapat terserang serangga dibanding yang lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sifat yang ada sehingga dapat lebih menarik lagi bagi serangga untuk memakan atau meletakkan telur. Contoh pengendalian hama yang telah memanfaatkan varietas tahan adalah pengendalian terhadap wereng coklat pada tanaman padi, pengendalian terhadap kutu loncat pada lamtoro, pengendalian terhadap Empoasca pada tanaman kapas.
E. PENGENDALIAN HAMA DENGAN PENGATURAN CARA BERCOCOK TANAM
Pada dasarnya pengendalian ini merupakan pengendalian yang bekerja secara alamiah, karena sebenarnya tidak dilakukan pembunuhan terhadap hama secara langsung. Pengendalian ini merupakan usaha untuk mengubah lingkunagn hama dari keadaan yang cocok menjadi sebaliknya. Dengan mengganti jenis tanaman pada setiap musim, berarti akan memutus tersedianya makanan bagi hama-hama tertentu.
Sebagai contoh dalam pengendalian hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) diatur pola tanamnya, yakni setelah padi – padi, pada periode berikutnya supaya diganti dengan palawija. Cara ini dimaksudkan untuk menghentikan berkembangnya populasi wereng. Cara di atas dapat pula diterapkan pada hama lain, khususnya yang memiliki inang spesifik. Kebaikan dari pengendalian hama dengan mengatur pola tanam adalah dapat memperkecil kemungkinan terbentuknya hama biotipe baru. Cara – cara pengaturan pola tanam yang telah diterapkan pada pengendalian wereng coklat adalah :
a. Tanam serentak meliputi satu petak tersier (wikel) dengan selisih waktu maksimal dua minggu dan selisih waktu panen maksimal 4 minggu, atau dengan kata lain varietas yang ditanam relatif mempunyai umur sama. Dengan tanam serentak diharapkan tidak terjadi tumpang tindih generasi hama, sehingga lebih mudah memantau dan menjamin efektifitas pengendalian, karena penyemprotan dapat dilakukan serentak pada areal yang luas.
b. Pergiliran tanaman meliputi areal minimal satu WKPP dengan umur tanaman relatif sama.
c. Pergiliran varietas tahan. Untuk daerah-daerah yang berpengairan baik, para petani pada ummnya akan menanam padi – padi sepanjang tahun. Kalau pola demikian tidak dapat diubah maka teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pergiliran varietas yang ditanam. Pada pengendalian ini diusahakan supaya digunakan varietas yang mempunyai tetua berbeda, dengan demikian dapat menghambat terbentuknya wereng biotipe baru.
F. PENGENDALIAN HAMA DENGAN SANITASI DAN ERADIKASI
Beberapa jenis hama mempunyai makanan, baik berupa tanaman yang diusahakan manusia maupun tanaman liar (misal rumput, semak – semak, gulam dan lain – lain). Pada pengendalian dengan cara sanitasi eradikasi dititikberatkan pada kebersihan lingkungan di sekitar pertanaman. Kebersihan lingkungan tidak hanya terbatas di sawah yang ada tanamannya, namun pada saat bero dianjurkan pula membersihkan semak-semak atau turiang-turiang yang ada. Pada musim kemarau sawah yang belum ditanami agar dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk membunuh serangga-serangga yang hidup di dalam tanah, memberikan pengudaraan (aerasi), dan membunuh rerumputan yang mungkin merupakan inang pengganti suatu hama tertentu.
Contoh pengendalian dengan eradikasi terhadap serangan hama wereng coklat adalah :
a. Pada daerah serangan wereng coklat tetapi bukan merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan pada tanaman padi yang telah puso. Pada daerah serangan berat eradikasi hendaknya diikuti pemberoan selama 1 – 2 bulan atau mengganti dengan tanaman selain padi.
b. Pada daerah serangan hama wereng yang juga merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan sebagai berikut :
1). Eradikasi selektif dilakukan pada padi stadia vegetatif yang terserang virus dengan intensitas sama dengan atau kurang dari 25 % atau padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus kurang dari 75 %.
2). Eradikasi total dilakukan terhadap pertanaman statdia vegetatif dengan intensitas serangan virus lebih besar dari 25 % atau pada padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus lebih besar sama dengan 75 %.
Cara melakukan eradikasi adalah dengan membabat tanaman yang terserang hama, kemudian membakar atau membenamkan ke dalam tanah.
G. PENGENDALIAN KIMIA
Bahan kimia akan digunakan untuk mengendalikan hama bilamana pengendalian lain yang telah diuarikan lebih dahulu tidak mampu menurunkan populasi hama yang sedang menyerang tanaman.
Kelompok utama pestisida yang digunakan untuk mengendalikan serangga hama dengan tunggau adalah insektisida, akarisida dan fumigan, sedang jenis pestisida yang lain diberi nama masing-masing sesuai dengan hama sasarannya. Dengan demikian penggolongan pestisida berdasar jasad sasaran dibagi menjadi :
a. Insektisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa serangga. Contoh : Bassa 50 EC Kiltop 50 EC dan lain – lain.
b. Nematisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa cacing – cacing parasit yang biasa menyerang akar tanaman. Contoh : Furadan 3 G.
c. Rodentisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas binatang – binatang mengerat, seperti misalnya tupai, tikus. Contoh : Klerat RM, Racumin, Caumatatralyl, Bromodoiline dan lain – lain.
d. Herbisida : adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulam (tanaman pengganggu). Contoh : Ronstar ODS 5 / 5 Saturn D.
e. Fungisida : digunakan untuk memberantas jasad yang berupa cendawan (jamur). Contoh : Rabcide 50 WP, Kasumin 20 AB, Fujiwan 400 EC, Daconil 75 WP, Dalsene MX 2000.
f. Akarisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang berupa tunggau. Contoh : Mitac 200 EC, Petracrex 300 EC.
g. Bakterisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan penykit tanaman yang disebabkan oleh bakteri. Contoh : Ffenazin – 5 – oksida (Staplex 10 WP).
Insektisida dapat pula dibagi menurut jenis aktivitasnya. Kebanyakan insektisida bersifat racun bilamana bersentuhan langsung atau tertelan serangga. Namun ada pula jenis lain yang bersifat sebagai repelen (jenis ini digunakan untuk mencegah serangga yang akan menyerang tanaman), atraktan (bahan yang dapat menarik serangga, dengan demikian serangga yang terkumpul akan lebih mudah terbunuh), anti feedan (senyawa ini dapat menghindarkan dari serangan suatu serangga) dan khemosterilan (yang dapat menyebabkan kemandulan bagi serangga yang terkena).
Menurut sifat kecepatan meracun, pestisida digolongkan menjadi :
1. Racun kronis : yaitu racun yang bekerjanya sangat lambat sehingga untuk mematikan hama membutuhkan waktu yang sangat lama. Contoh : racun tikus Klerat RMB.
2. Racun akut : adalah racun yang bekerjanya sangat cepat sehingga kematian serangga dapat segera diketahui setelah racun tersebut mengenai tubuhnya. Contoh : Bassa 50 EC, Kiltop 50 EC, Baycarb 50 EC dan lain – lain.
Ditinjau dari cara bekerjanya, pestisida dibagi menjadi :
1. Racun perut
Racun ini terutama digunakan untuk mengendalikan serangga yang mempunyai tipe alat mulut pengunyah (ulat,belalang dan kumbang), namun bahan ini dapat pula digunakan terhadap hama yang menyerang tanaman dengan cara mengisap dan menjilat. Bahan insektisida ini disemprotkan pada bagian yang dimakan serangga sehingga racun tersebut akan tertelan masuk ke dalam usus, dan di sinilah terjadi peracunan dalam jumlah besar.
Ada 4 cara aplikasi racun perut terhadap serangga :
a. Insektisida diaplikasikan pada makanan alami serangga sehingga bahan tersebut termakan oleh serangga sasaran. Bahan makanan itu dapat berupa daun, bulu-bulu / rambut binatang. Dalam aplikasinya, bahan – bahan makanan serangga harus tertutup rata oleh racun pada dosis lethal sehingga hama yang makan dapat mati.
b. Insektisida dicampur dengan bahan atraktan dan umpan itu ditempatkan pada suatu lokasi yang mudah ditemukan serangga.
c. Insektisida ditaburkan sepanjang jalan yang bisa dilalui hama. Selagi hama itu lewat biasanya antene dan kaki akan bersentuhan dengan insektisida atau bahkan insektisida itu tertelan. Akibatnya hama mati.
d. Insektisida diformulasikan dalam bentuk sistemik, dan racun ini diserap oleh tanaman atau tubuh binatang piaraan kemudian tersebar ke seluruh bagian tanaman atau badan sehingga apabila serngga hama tersebut mengisap cairan tanaman atau cairan dari tubuh binatang (terutama hama yang mempunyai tipe mulut pengisap, misal Aphis) dan bila dosis yang diserap mencapai dosis lethal maka serangga akan mati.
2. Racun kontak
Insektisida ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui permukaan tubuhnya khususnya bagian kutikula yang tipis, misal pada bagian daerah perhubungan antara segmen, lekukan-lekukan yang terbentuk dari lempengan tubuh, pada bagian pangkal rambut dan pada saluran pernafasan (spirakulum). Racun kontak itu dapat diaplikasikan langsung tertuju pada jasad sasaran atau pada permukaan tanaman atau pada tempat – tempat tertentu yang biasa dikunjungi serangga. Racun kontak mungkin diformulasikan sebagai cairan semprot atau sebagai serbuk. Racun kontak yang telah melekat pada serangga akan segera masuk ke dalam tubuh dan disinilah mulai terjadi peracunan.
Yang digolongkan sebagai insektisida kontak adalah :
a. Bahan kimia yang berasal dari kestrak tanamaan, seperti misalnya nikotin, rotenon, pirethrum.
b. Senyawa sintesis organik, misal BHC, DDT, Chlordan, Toxaphene, Phosphat organik.
c. Minyak dan sabun.
d. Senyawa anorganik seperti misalnya Sulfur dan Sulfur kapur.
3. Racun pernafasan
Bahan insektisida ini biasanya bersifat mudah menguap sehingga masuk ke dalam tubuh serangga dalam bentuk gas. Bagian tubuh yang dilalui adalah organ – organ pernafasan seperti misalnya spirakulum. Oleh karena bahan tersebut mudah menguap maka insektisida ini juga berbahaya bagi manusia dan binatang piaraan. Racun pernafasan bekerja dengan cara menghalangi terjadinya respirasi tingkat selulair dalam tubuh serangga dan bahan ini sering dapat menyebabkan tidak aktifnya enzim-enzim tertentu. Contoh racun nafas adalah : Hidrogen cyanida dan Carbon monoksida.
4. Racun Syaraf
Insektisida ini bekerja dengan cara menghalangi terjadinya transfer asetikholin estrase yang mempunyai peranan penting dalam penyampaian impul. Racun syaraf yang biasa digunakan sebagai insektisida adalah senyawa organo klorin, lindan, carbontetraclorida, ethylene diclorida : insektisida-insektisida botanis asli seperti misalnya pirethin, nikotin, senyawa organofosfat (parathion dan dimethoat) dan senyawa karbanat (methomil, aldicarb dan carbaryl).
5. Racun Protoplasmik
Racun ini bekerja terutama dengan cara merusak protein dalam sel serangga. Kerja racun ini sering terjadi di dalam usus tengah pada saluran pencernaan.Golongan insektisida yang termasuk jenis ini adalah fluorida, senyawa arsen, borat, asam mineral dan asam lemak, nitrofenol, nitrocresol, dan logam – logam berat (air raksa dan tembaga).
6. Racun penghambat khitin
Racun ini bekerja dengan cara menghambat terbentuknya khitin. Insektisida yang termasuk jenis ini biasanya bekerja secara spesifik, artinya senyawa ini mempunyai daya racun hanya terhadap jenis serangga tertentu. Contoh : Applaud 10 WP terhadap wereng coklat.
8. Racun sistemik
Insektisida ini bekerja bilamana telah terserap tanaman melalui akar, batang maupun daun, kemudian bahan-bahan aktifnya ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bilamana serangga mengisap cairan atau memakan bagian tersebut akan teracun.
Pestisida adalah merupakan racun, baik bagi hama maupun tanaman yang disemprot. Mempunyai efek sebagai racun tanaman apabila jumlah yang disemprotkan tidak sesuai dengan aturan dan berlebihan (overdosis), karena keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya kebakarn tanaman. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang memadai namun pertumbuhan tanaman tidak terganggu, pemakaian pestisida hendaknya memperhatikan kesesuaiannya, baik tepat jenis, tepat waktu maupun tepat ukuran (dosis dan konsentrasi). Dosis adalah banyaknya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama secara memadai pada lahan seluas 1 ha. Konsentrasi adalah banyaknya pestisida yang dilarutkan dalam satu liter air.
Untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat serta memperoleh efektifitas pengendalian yang tinggi maka oleh perusahaan pestisida, satu bahan aktif dibuat dalam bermacam-macam formulasi.
Tujuan dari formulasi ini adalah :
1. Mempermudah penyimpanan.
2. Mempermudah penggunaan.
3. Mengurangi daya racun yang berlebihan.
Pestisida terbuat dari campuran antara dua bahan, yaitu bahan aktif (bahan pestisida yang mempunyai daya racun) dan bahan pembawa / inert (bahan pencampur yang tidak mempunyai daya racun).
Macam-macam formulasi yang banyak dibuat oleh perusahaan pembuat pestisida adalah :
1. Formulasi dalam bentuk cairan
a. Cairan yang diemulsikan.
Biasanya ditandai dengan kode EC (Emulsifeable Concentrate) yaitu cairan yang diemulsikan. Pestisida ini dalam bentuk asli berwarna bening setelah dicampur air akan membentuk emulsi yang berwarna putih susu. Contoh : Dharmabas 50 EC, Bassa 50 EC dan lain – lain.
b. Cairan yang dapat dilarutkan.
Formulasi ini biasanya ditandai dengan kode WSC atau SCW yaitu kependekan dari Soluble Concentrated in Water. Pestisida ini bila dilarutkan dalam air tidak terjadi perubahan warna (tidak membentuk emulsi sehingga cairan tersebut tetap bening). Contoh : Azodrin 15 WSC.
2. Bentuk Padat
a. Berupa tepung yang dapat dilarutkan, dengan kode SP (Soluble Powder). Penggunaannya disemprotkan dengan sprayer. Contoh : Sevin 85 SP.
b. Berupa tepung yang dapat dibasahi dengan merek dagang WP (Weatable Powder). Pestisida ini disemprotkan dengan dicampur air. Karena sifatnya tidak larut sempurna, maka selama menyemprot seharusnya disertai dengan pengadukan secara terus-menerus.Contoh: Aplaud 10 WP.
c. Berupa butiran dengan kode G (Granulair). Aplikasi pestisida ini adalah dengan menaburkan atau membenamkan dekat. Contoh : Furadan 3 G, Dharmafur 3 G.
d. Campuran umpan (bait). Pestisida ini dicampur dengan bahan makanan yang disukai hama, kemudian diumpankan. Contoh : Klerat RMB.
RANGKUMAN
Pengendalian hama merupakan upaya manusia untuk mengusir, menghindari dan membunuh secara langsung maupun tidak langsung terhadap spesies hama. Pengendalian hama tidak bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan hanya menekan sampai pada tingkat tertentu saja sehingga secara ekonomi dan ekologi dapat dipertanggungjawabkan.
Falsafah pengendalian hama yang digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT tidak pernah mengandalkan satu taktik pengendalian saja dalam memcahkan permasalahan hama yang timbul, melainkan dengan tetap mencari alternatif pengendalian yang lain.
Beberapa taktik pengendalian hama yang dikenal meliputi : taktik pengendalian secara mekanis, fisis, hayati, dengan varietas tahan, mengatur pola tanam, sanitasi dan eradikasi, dan cara kimiawi.