Rabu, 28 Desember 2011

Penyakit Hawar Daun Bakteri


Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Petani di Indonesia pada umumnya merupakan petani tradisional.
Teknologi yang mereka terapkan masih turun temurun, sehingga kesejahteraannya masih jauh bila dibandingkan dengan petani di Negara maju. Mayoritas komoditas yang ditanami oleh petani di Indonesia adalah padi (Oryza sativa L.). Karena padi merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam budidayanya petani banyak menghadapi kendala. Salah satunya adalah adanya OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) baik berupa hama maupun penyakit. Penyakit yang sering menyerang tanaman padi diantaranya adalah hawar daun bakteri atau BLB (bacterial leaf blight) yang lebih populer dengan nama penyakit “kresek”.

Penyakit hawar daun bakteri merupakan penyakit yang tersebar luas di pertanaman padi sawah dan bisa menurunkan hasil sampai 36%. Penyakit ini pada umumnya terjadi pada musim hujan atau lembab >75%, terutama pada lahan sawah yang selalu tergenang dengan pemupukan N yang tinggi. Hawar daun bakteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye. yang dapat menginfeksi tanaman padi pada berbagai stadium pertumbuhan.

Klasifikasi Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye.
Menurut Ferdiaz (1992) dalam Triny S. Kadir, Satoto dan Inastuti A. Rumanti (2006), klasifikasi Xanthomonas adalah sebagai berikut:
Phylum     : Prokaryota
Kelas     : Schizomycetes
Ordo     : Pseudomonadales
Famili     : Pseudomonadaceae
Genus     : Xanthomonas
Spesies     : Xanthomonas campestris pv. Oryzae

Morfologi Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye.
 Bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae Dye. berbentuk batang pendek berukuran (1-2) x (0,8-1) m , di ujungnya mempunyai satu flagela polar yang berukuran 6-8 m dan berfungsi sebagai alat bergerak. Bakteri ini bersifat aerob, gram negatif dan tidak membentuk spora. Di atas media PDA bakteri ini membentuk koloni bulat cembung yang berwarna kuning keputihan sampai kuning kecoklatan dan mempunyai permukaan yang licin (Machmud, 1991; Semangun, 2001; Triny dkk., 2006).

Foto Mikroskop Elektron Xanthomonas (30.000 x)
(Sumber: Koleksi PPOPT Bandung, 2008 dan Lozano, 1974 dalam Semangun, 2001)

Sejarah dan Sebaran Penyakit Hawar Daun Bakteri
Penyakit hawar daun bakteri pertama kali ditemukan di Fukuoka Jepang pada tahun 1884. Pada awal abad XX penyakit ini telah diketahui tersebar luas hampir di seluruh Jepang kecuali di pulau Hokkaido. Di Indonesia, penyakit ini mula-mula ditemukan oleh Reitsma dan Schure pada tanaman muda di daerah Bogor dengan gejala layu. Penyakit ini dinamai kresek dan patogennya dinamai xanthomonas kresek Schure. Terbukti bahwa penyakit ini sama dengan penyakit hawar daun bakteri yang terdapat di Jepang (Singh, 1980; Machmud, 1991).

Pengembangan varietas padi unggul dengan hasil tinggi tetapi peka terhadap penyakit menyebabkan semakin tersebar luasnya penyakit ini. Akhir-akhir ini penyakit hawar daun bakteri dilaporkan telah terdapat di negara-negara yang mewakili hampir seluruh benua, misalnya Bangladesh, India, Korea Malaysia, Filipina, Cina, Taiwan dan Vietnam. Penyakit ini bahkan telah dilaporkan dari Rusia, Afrika dan Amerika Latin (Machmud, 1991).

Gejala Serangan Penyakit Hawar Daun Bakteri
Penyakit hawar bakteri pada tanaman padi bersifat sistemik dan dapat menginfeksi tanaman pada berbagai stadium pertumbuhan. Gejala penyakit ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1). Gejala layu (kresek) pada tanaman muda atau tanaman dewasa yang peka, (2). Gejala hawar dan (3). Gejala daun kuning pucat (Singh, 1980; Machmud, 1991; Triny dkk., 2006).

Gejala layu yang kemudian dikenal dengan nama kresek umumnya terdapat pada tanaman muda berumur 1-2 minggu setelah tanam atau tanaman dewasa yang rentan. Pada awalnya gejala terdapat pada tepi daun atau bagian daun yang luka berupa garis bercak kebasahan, bercak tersebut meluas berwarna hijau keabu-abuan, selanjutnya seluruh daun menjadi keriput dan akhirnya layu seperti tersiram air panas. Seringkali bila air irigasi tinggi, tanaman yang layu terkulai ke permukaan air dan menjadi busuk (Anonim, 1989).

Menurut Machmud (1991), pada tanaman yang peka terhadap penyakit ini, gejala terus berkembang hingga seluruh permukaan daun, bahkan kadang-kadang pelepah padi sampai mengering. Pada pagi hari atau cuaca lembab, eksudat bakteri sering keluar ke permukaan bercak berupa cairan berwarna kuning menempel pada permukaan daun dan mudah jatuh oleh hembusan angin, gesekan daun atau percikan air hujan. Eksudat ini merupakan sumber penularan yang efektif.
 
Foto Gejala Serangan Xanthomonas pada Tanaman Padi
(Sumber : Anonim, 1989 dan www.hartanto.wordpress.com)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri
Kultivar padi mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap Xanthomonas. Ketahanan disebabkan karena: 1. Bakteri terhambat penetrasinya, 2. Bakteri tidak dapat meluas secara sistemik, dan 3. Tanaman bereaksi langsung terhadap bakteri (Lozano dan Sequeira, 1974 dalam Semangun, 2001). Menurut Maraite dan Weyns (1979) dalam Semangun (2001), penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Xanthomonas dibantu juga oleh hujan, karena hujan akan meningkatkan kelembaban dan membantu pemencaran bakteri. Intensitas penyakit yang tertinggi terjadi pada akhir musim hujan, menjelang musim kemarau. Suhu optimum untuk perkembangan Xanthomonas adalah sekitar 300C.

Kerugian Akibat Penyakit Hawar Daun Bakteri
Kerugian hasil padi di Jepang yang diakibatkan oleh penyakit hawar daun bakteri setiap tahunnya mencapai 30% bahkan lebih. Di India penyakit ini juga merupakan kendala utama produksi padi, berjuta-juta hektar sawah tiap tahun terserang penyakit tersebut dengan kerugian bervariasi antara 20-60% (Singh, 1980).

Di daerah tropis seperti Indonesia dan Filipina, penyakit ini juga sangat merugikan meskipun besar kerugian kurang diketahui secara pasti. Di Indonesia kerugian akibat penyakit ini diperkirakan berkisar antara 15-25% tiap tahun. Kerusakan berat terjadi bila penyakit ini menyerang tanaman muda yang peka, sehingga menimbulkan gejala kresek dan kemudian tanaman mati (Machmud, 1991).

Pengendalian Penyakit Hawar Daun Bakteri
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri akan lebih berhasil bila dilaksanakan secara terpadu, mengingat berbagai faktor dapat mempengaruhi penyakit ini di lapangan, misalnya keadaan tanah, pengairan, pemupukan, kelembaban, suhu dan ketahanan varietas padi yang ditanam. Usaha terpadu yang dapat dilaksanakan mencakup penanaman varietas yang tahan, pembuatan persemaian kering atau tidak terendam air, jarak tanam tidak terlalu rapat, tidak memotong akar dan daun bibit yang akan ditanam, air tidak terlalu tinggi pada waktu tanaman baru ditanam dan menghindari pemberian pupuk N yang terlalu tinggi.

Upaya pengendalian untuk mengatasi penyakit ini yaitu dengan melakukan beberapa hal :
1.    Perbaikan cara bercocok tanam, melalui:
    Pengolahan tanah secara optimal
    Pengaturan pola tanam dan waktu tanam serempak dalam satu hamparan
    Pergiliran tanam dan varietas tahan
    Penanaman varietas unggul dari benih yang sehat
    Pengaturan jarak tanam
    Pemupukan berimbang (N,P, K dan unsur mikro) sesuai dengan fase pertumbuhan dan musim
    Pengaturan sistem pengairan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman.
2.    Sanitasi lingkungan
3.    Pemanfaatan agensia hayati Corynebacterium
4.    Penyemprotan bakterisida anjuran yang efektif dan diizinkan secara bijaksana berdasarkan hasil pengamatan.

Macam-macam jenis Hama Tanaman dan Cara Pengendalian

HAMA TANAMAN
1. MORFOLOGI UMUM HAMA

Untuk mengenal berbagai jenis binatang yang dapat berperan sebagai hama, maka sebagai langkah awal dalam kuliah dasar – dasar Perlintan akan dipelajari bentuk atau morfologi, khususnya morfologi luar (external morphology) binatang penyebab hama. Namun demikian, tidak semua sifat morfologi tersebut akan dipelajari dan yang dipelajari hanya terbatas pada morfologi “penciri” dari masing-masing golongan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan identifikasi atau mengenali jenis – jenis hama yang dijumpai di lapangan.
Dunia binatang (Animal Kingdom) terbagi menjadi beberapa golongan besar yang masing-masing disebut Filum. Dari masing-masing filum tersebut dapat dibedakan lagi menjadi golongan – golongan yang lebih kecil yang disebut Klas. Dari Klas ini kemudian digolongkan lagi menjadi Ordo (Bangsa) kemudian Famili (suku), Genus (Marga) dan Spesies (jenis).
Beberapa filum yang anggotanya diketahui berpotensi sebagai hama tanaman adalah Aschelminthes (nematoda), Mollusca (siput), Chordata (binatang bertulang belakang), dan Arthropoda (serangga, tunggau, dan lain – lain). Dalam uraian berikut akan dibicarakan secara singkat tentang sifat-sifat morfologi luar anggota filum tersebut.
A. FILUM ASCHELMINTHES
Anggota filum Aschelminthes yang banyak dikenal berperan sebagai hama tanaman (bersifat parasit) adalah anggota klas Nematoda. Namun, tidak semua anggota klas Nematoda bertindak sebagai hama, sebab ada di antaranya yang berperan sebagai nematoda saprofag serta sebagai nematoda predator (pemangsa), yang disebut terakhir ini tidak akan dibicarakan dalam uraian – uraian selanjutnya.
Secara umum ciri – ciri anggota klas Nematoda tersebut antara lain adalah :
* Tubuh tidak bersegmen (tidak beruas)
* Bilateral simetris (setungkup) dan tidak memiliki alat gerak
* Tubuh terbungkus oleh kutikula dan bersifat transparan.

Untuk pembicaraan selanjutnya, anggota klas nematoda yang bersifat saprofag digolongkan ke dalam nematoda non parasit dan untuk kelompok nematoda yang berperan sebagai hama tanaman dimasukkan ke dalam golongan nematoda parasit.
Ditinjau dari susunannya, maka bentuk stylet dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe stomatostylet dan odonostylet. Tipe stomatostylet tersusun atas bagian – bagian conus (ujung), silindris (bagian tengah) dan knop stylet (bagian pangkal). Tipe stylet ini dijumpai pada nematoda parasit dari ordo Tylenchida.
Tipe odonostylet dijumpai pada nematoda parasit dari ordo Dorylaimida, yang styletnya tersusun atas conus dan silindris saja. Beberapa contoh dari nematoda parasit ini antara lain adalah :
* Meloidogyne sp. yang juga dikenal sebagai nematoda “puru akar” pada tanaman tomat, lombok, tembakau dan lain – lain.
* Hirrschmanieella oryzae (vBrdH) pada akar tanaman padi sawah.
* Pratylenchus coffae (Zimm) pada akar tanaman kopi.
B. FILUM MOLLUSCA
Dari filum Mollusca ini yang anggotanya berperan sebagai hama adalah dari klas Gastropoda yang salah satu jenisnya adalah Achatina fulica Bowd atau bekicot, Pomacea ensularis canaliculata (keong emas). Binatang tersebut memiliki tubuh yang lunak dan dilindungi oleh cangkok (shell) yang keras. Pada bagian anterior dijumpai dua pasang antene yang masing-masing ujungnya terdapat mata. Pada ujung anterior sebelah bawah terdapat alat mulut yang dilengkapi dengan gigi parut (radula). Lubang genetalia terdapat pada bagian samping sebelah kanan, sedang anus dan lubang pernafasan terdapat di bagian tepi mantel tubuh dekat dengan cangkok/shell.
Bekicot atau siput bersifat hermaprodit, sehingga setiap individu dapat menghasilkan sejumlah telur fertil. Bekicot aktif pada malam hari serta hidup baik pada kelembaban tinggi. Pada siang hari biasanya bersembunyi pada tempat-tempat terlindung atau pada dinding-dinding bangunan, pohon atau tempat lain yang tersembunyi.
C. FILUM CHORDATA
Anggota Filum Chordata yang umum dijumpai sebagai hama tanaman adalah dari klas Mammalia (Binatang menyusui). Namun, tidak semua binatang anggota klas Mammalia bertindak sebagai hama melainkan hanya beberapa jenis (spesies) saja yang benar – benar merupakan hama tanaman. Jenis – jenis tersebut antara lain bangsa kera (Primates), babi (Ungulata), beruang (Carnivora), musang (Carnivora) serta bangsa binatang pengerat (ordo rodentina). Anggota ordo Rodentina ini memiliki peranan penting sebagai perusak tanaman, sehingga secara khusus perlu dibicarakan tersendiri, yang meliputi keluarga bajing dan tikus.
1. Keluarga Bajing (fam. Sciuridae)
Ada dua jenis yang penting, yaitu Callossciurus notatus Bodd. dan C. nigrovittatus yang keduanya dikenal dengan nama “bajing”. Jenis pertama dijumpai pada daerah – daerah di Indonesia dengan ketinggian sampai 9000 m di atas permukaan laut. Sedang jenis C. nigrovittatus dapat dijumpai di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera pada daerha dengan ketinggian sampai 1500 m.
Jenis bajing ini umumnya banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa namun beberapa jenis tanaman buah kadang – kadang juga diserangnya. Gejala serangan hama bajing pada buah kelapa tampak terbentuknya lubang yang cukup lebar dan tidak teratur dekat dengan ujung buah, sedang jika yang menyerang tikus maka lubang yang terbentuk lebih kecil serta tampak lebih teratur / rapi.
2. Keluarga tikus (fam. Muridae)
Ada beberapa jenis yang diketahui banyak menimbulkan kerusakan antara lain, tikus rumah (Rattus – rattus diardi Jent); tikus pohon (Rattus – rattus tiomanicus Muller), serta tikus sawah (Rattus-rattus argentiver_Rob.&Kl).
Tikus rumah dikenal pula sebagai tikus hitam karena warna bulunya hitam keabu – abuan atau hitam kecoklatan. Panjang tubuh sampai ke kepala antara 11 – 20 cm dan panjang ekor biasanya lebih panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah puting susunya ada 10 buah.
Tikus pohon memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan tikus rumah. Bulu tubuh bagian ventral putih bersih atau kadang – kadang agak keabu-abuan. Panjang ekor biasanya lebih panjang daripada panjang tubuh + kepala. Jumlah putting susunya ada 10 buah.
Tikus sawah memiliki ciri – ciri tubuh antara lain bulu – bulu tubuh bagian ventral berwarna keabu-abuan atau biru keperakan. Panjang ekor biasanya sama atau lebih pendek daripada panjang tubuh + kepala. Pada pertumbuhan penuh panjang tubuhnya antara 16 – 22 cm serta jumlah puting susu ada 12 buah.
D. FILUM ARTHOPODA
Merupakan filum terbesar di antara filum – filum yang lain karena lebih dari 75 % dari binatang-binatanag yang telah dikenal merupakan anggota dari filum ini. Karena itu, sebagian besar dari jenis-jenis hama tanaman juga termasuk dalam filum Arthropoda.
Anggota dari filum Arthropoda yang mempunyai peranan penting sebagai hama tanaman adalah klas Arachnida (tunggau) dan klas Insecta atau Hexapoda (serangga).
1. Klas Arachnida
Tanda – tanda morfologi yang khas dari anggota klas Arachnida ini adalah:
- Tubuh terbagi atas dua daerah (region), yaitu cephalothorax (gabungan caput dan thorax) dan abdomen.
- Tidak memiliki antene dan mata facet.
- Kaki empat pasang dan beruas – ruas.
Dalam klas Arachnida ini, yang anggotanya banyak berperan sebagai hama adalah dari ordo Acarina atau juga sering disebut mites (tunggau).
Morfologi dari mites ini antara lain, segmentasi tubuh tidak jelas dan dilengkapi dengan bulu – bulu (rambut) yang kaku dan cephhalothorax dijumpai adanya empat pasang kaki.
Alat mulut tipe penusuk dan pengisap yang memiliki bagian – bagian satu pasang chelicerae (masing – masing terdidi dari tiga segmen) dan satu pasang pedipaalpus. Chelicerae tersebut membentuk alat seperti jarum sebagai penusuk.
Beberapa jenis hama dari ordo Acarina antara lain adalah :
- Tetranychus cinnabarinus Doisd. atau hama tunggau merah / jingga pada daun ketela pohon.
- Brevipalpus obovatus Donn. (tunggau daun teh).
- Tenuipalpus orchidarum Parf. (tunggau merah pada anggrek).
2. Klas Insekta (Hexapoda / serangga)
Anggota beberapa ordo dari klas Insekta dikenal sebagai penyebab hama tanaman, namun ada beberapa yang bertindak sebagai musuh alami hama (parasitoid dan predator) serta sebagai serangga penyerbuk.
Secara umum morfologi anggota klas Insekta ini adalah:
- Tubuh terdiri atas ruas – ruas (segmen) dan terbagi dalam tiga daerah, yaitu caput, thorax dan abdomen.
- Kaki tiga pasang, pada thorax.
- Antene satu pasang.
- Biasanya bersayap dua pasang, namun ada yang hanya sepasang atau bahkan tidak bersayap sama sekali.
Memahami pengetahuan morfologi serangga tersebut sangatlah penting, karena anggota serangga pada tiap – tiap ordo biasanya memiliki sifat morfologi yang khas yang secara sederhana dapat digunakan untuk mengenali atau menentukan kelompok serangga tersebut. Sifat morfologi tersebut juga menyangkut morfologi serangga stadia muda, karena bentuk-bentuk serangga muda tersebut juga memiliki ciri yang khas yang juga dapat digunakan dalam identifikasi.
Bentuk-bentuk serta ciri serangga stadia muda tersebut secara khusus kakan dibicarakan pada uraian tentang Metamorfose serangga, sedang uraian singkat tentang morfologi “penciri” pada beberapa ordo penting klas Insekta akan diberikan pada uraian selanjutnya.
Berdasarkan sifat morfologinya, maka larva dan pupa serangga dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Tipe larva
a. Polipoda, tipe larva ini memiliki ciri antara lain tubuh berbentuk silindris, kepala berkembang baik serta dilengkapi dengan kaki abdominal dan kaki thorakal. Tipe larva ini dijumpai pada larva ngengat / kupu (Lepidoptera)
b. Oligopoda, tipe larva ini dapat dikelompokkan menjadi : Campodeiform dan Scarabaeiform,
c. Apodus (Apodous), tipe larva ini memiliki badan yang memanjang dan tidak memiliki kaki. Kepala ada yang berkembang baik ada yang tidak. Tipe larva ini dijumpai pada anggota ordo Diptera dan familia Curculionidae (Coleoptera).
2. Tipe pupa
Perbedaan bentuk pupa didasarkan pada kedudukan alat tambahan (appendages), seperti calon sayap, calon kaki, antene dan lainnya. Tipe pupa dikelompokkan menjadi tiga tipe :
a. Tipe obtecta, yakni pupa yang memiliki alat tambahan (calon) melekat pada tubuh pupa. Kadang-kadang pupa terbungkus cocon yang dibentuk dari liur dan bulu dari larva.
b. Tipe eksarat, yakni pupa yang memiliki alat tambahan bebas (tidak melekat pada tubuh pupa ) dan tidak terbungkus oleh cocon.
c. Tipe coartacta, yakni pupa yang mirip dengan tipe eksarat, tetapi eksuviar tidak mengelupas (membungkus tubuh pupa). Eksuviae mengeras dan membentuk rongga untuk membungkus tubuh pupa dan disebut puparium.
Tipe pupa obtecta dijumpai pada anggota ordo Lepidoptera, pupa eksarat pada ordo Hymenoptera dan Coleoptera, sedang pupa coartacta pada ordo Diptera.
A. Morfologi Beberapa Ordo Serangga yang Penting
a. Ordo Orthoptera (bangsa belalang)
Sebagian anggotanya dikenal sebagai pemakan tumbuhan, namun ada beberapa di antaranya yang bertindak sebagai predator pada serangga lain.
Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena – vena menebal / mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah sayap depan.
Alat – alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap – tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen).
Ada mulutnya bertipe penggigit dan penguyah yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang mandibula, sepasang maxilla dengan masing – masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium dengan palpus labialisnya.
Metamorfose sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur —> nimfa —> dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.
Beberapa jenis serangga anggota ordo Orthoptera ini adalah :
- Kecoa (Periplaneta sp.)
- Belalang sembah / mantis (Otomantis sp.)
- Belalang kayu (Valanga nigricornis Drum.)
b. Ordo Hemiptera (bangsa kepik) / kepinding
Ordo ini memiliki anggota yang sangat besar serta sebagian besar anggotanya bertindak sebagai pemakan tumbuhan (baik nimfa maupun imago). Namun beberapa di antaranya ada yang bersifat predator yang mingisap cairan tubuh serangga lain.
Umumnya memiliki sayap dua pasang (beberapa spesies ada yang tidak bersayap). Sayap depan menebal pada bagian pangkal (basal) dan pada bagian ujung membranus. Bentuk sayap tersebut disebut Hemelytra. Sayap belakang membranus dan sedikit lebih pendek daripada sayap depan. Pada bagian kepala dijumpai adanya sepasang antene, mata facet dan occeli.
Tipe alat mulut pencucuk pengisap yang terdiri atas moncong (rostum) dan dilengkapi dengan alat pencucuk dan pengisap berupa stylet. Pada ordo Hemiptera, rostum tersebut muncul pada bagian anterior kepala (bagian ujung). Rostum tersebut beruas – ruas memanjang yang membungkus stylet. Pada alat mulut ini terbentuk dua saluran, yakni saluran makanan dan saluran ludah.
Metamorfose bertipe sederhana (paurometabola) yang dalam perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Bnetuk nimfa memiliki sayap yang belum sempurna dan ukuran tubuh lebih kecil dari dewasanya.
Beberapa contoh serangga anggota ordo Hemiptera ini adalah :
- Walang sangit (Leptorixa oratorius Thumb.)
- Kepik hijau (Nezara viridula L)
- Bapak pucung (Dysdercus cingulatus F)

c. Ordo Homoptera (wereng, kutu dan sebagainya)
Anggota ordo Homoptera memiliki morfologi yang mirip dengan ordo Hemiptera. Perbedaan pokok antara keduanya antara lain terletak pada morfologi sayap depan dan tempat pemunculan rostumnya.
Sayap depan anggota ordo Homoptera memiliki tekstur yang homogen, bisa keras semua atau membranus semua, sedang sayap belakang bersifat membranus.
Alat mulut juga bertipe pencucuk pengisap dan rostumnya muncul dari bagian posterior kepala. Alat-alat tambahan baik pada kepala maupun thorax umumnya sama dengan anggota Hemiptera.
Tipe metamorfose sederhana (paurometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Baik nimfa maupun dewasa umumnya dapat bertindak sebagai hama tanaman.
Serangga anggota ordo Homoptera ini meliputi kelompok wereng dan kutu-kutuan, seperti :
- Wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
- Kutu putih daun kelapa (Aleurodicus destructor Mask.)
- Kutu loncat lamtoro (Heteropsylla sp.).

d. Ordo Coleoptera (bangsa kumbang)
Anggota – anggotanya ada yang bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain.
Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal serta tidak memiliki vena sayap dan disebut elytra.
Apabila istirahat, elytra seolah – olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan.
Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya mandibula berkembang dengan baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan kepala.
Metamorfose bertipe sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong (pupa) —> dewasa (imago). Larva umumnya memiliki kaki thoracal (tipe oligopoda), namun ada beberapa yang tidak berkaki (apoda). Kepompong tidak memerlukan pakan dari luar (istirahat) dan bertipe bebas / libera.
Beberapa contoh anggotanya adalah :
- Kumbang badak (Oryctes rhinoceros L)
- Kumbang janur kelapa (Brontispa longissima Gestr)
- Kumbang buas (predator) Coccinella sp.

e. Ordo Lepidoptera (bangsa kupu/ngengat)
Dari ordo ini, hanya stadium larva (ulat) saja yang berpotensi sebagai hama, namun beberapa diantaranya ada yang predator. Serangga dewasa umumnya sebagai pemakan/pengisap madu atau nektar.
Sayap terdiri dari dua pasang, membranus dan tertutup oleh sisik – sisik yang berwarna – warni. Pada kepala dijumpai adanya alat mulut seranga bertipe pengisap, sedang larvanya memiliki tipe penggigit. Pada serangga dewasa, alat mulut berupa tabung yang disebut proboscis, palpus maxillaris dan mandibula biasanya mereduksi, tetapi palpus labialis berkembang sempurna.
Metamorfose bertipe sempurna (Holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva bertipe polipoda, memiliki baik kaki thoracal maupun abdominal, sedang pupanya bertipe obtekta.
Beberapa jenisnya antara lain :
- Penggerek batang padi kuning (Tryporiza incertulas Wlk)
- Kupu gajah (Attacus atlas L)
- Ulat grayak pada tembakau (Spodoptera litura)

f. Ordo Diptera (bangsa lalat, nyamuk)
Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter. Pada kepalanya juga dijumpai adanya antene dan mata facet.
Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap.
Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu :
- bagian pangkal yang berbentuk kerucut disebut rostum
- bagian tengah yang berbentuk silindris disebut haustellum
- bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc.
Metamorfosenya sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva tidak berkaki (apoda_ biasanya hidup di sampah atau sebagai pemakan daging, namun ada pula yang bertindak sebagai hama, parasitoid dan predator. Pupa bertipe coartacta.
Beberapa contoh anggotanya adalah :
- lalat buah (Dacus spp.)
- lalat predator pada Aphis (Asarcina aegrota F)
- lalat rumah (Musca domesticaLinn.)
- lalat parasitoid (Diatraeophaga striatalis).

g. Ordo Hymenoptera (bangsa tawon, tabuhan, semut)
Kebanyakan dari anggotanya bertindak sebagai predator / parasitoid pada serangga lain dan sebagian yang lain sebagai penyerbuk.
Sayap terdiri dari dua pasang dan membranus. Sayap depan umumnya lebih besar daripada sayap belakang. Pada kepala dijumpai adanya antene (sepasang), mata facet dan occelli.
Tipe alat mulut penggigit atau penggigit-pengisap yang dilengkapi flabellum sebagai alat pengisapnya.
Metamorfose sempurna (Holometabola) yang melalui stadia : telur-> larva–> kepompong —> dewasa. Anggota famili Braconidae, Chalcididae, Ichnemonidae, Trichogrammatidae dikenal sebagai tabuhan parasit penting pada hama tanaman.
Beberapa contoh anggotanya antara lain adalah :
- Trichogramma sp. (parasit telur penggerek tebu / padi).
- Apanteles artonae Rohw. (tabuhan parasit ulat Artona).
- Tetratichus brontispae Ferr. (parasit kumbang Brontispa).

h. Ordo Odonata (bangsa capung / kinjeng)
Memiliki anggota yang cukup besar dan mudah dikenal. Sayap dua pasang dan bersifat membranus. Pada capung besar dijumpai vena – vena yang jelas dan pada kepala dijumpai adanya mata facet yang besar.
Metamorfose tidak sempurna (Hemimetabola), pada stadium larva dijumpai adanya alat tambahan berupa insang dan hidup di dalam air.
Anggota-anggotanya dikenal sebagai predator pada beberapa jenis serangga keecil yang termasuk hama, seperti beberapa jenis trips, wereng, kutu loncat serta ngengat penggerek batang padi.
RANGKUMAN
Mengenal sifat – sifat morfologi luar dari binatang penyebab hama merupakan hal yang penting untuk mempermudah mengenali jenis – jenis hama yang ada di lapangan. Ada beberapa filum dalam dunia binatang yang sebagian dari anggotanya berpotensi menjadi hama tanaman, yakni Filum Aschelminthes, Mollusca, Chordata dan Athropoda.
Dalam filum Aschelminthes, anggota klas nematoda banyak yang berperan sebagai hama tanaman, misalnya anggota dari ordo Tylenchida, “Giantsnail”, Achatina fulica merupakan salah satu anggota filum Mollusca yang diketahui sering merusak berbegai jenis tanaman, baik tahunan maupun tanaman semusim.
Anggota ordo Rodentia, yakni tikus dan bajing merupakan anggota filum Chordata yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman. Anggota filum Chordata lain yang juga berpotensi menjadi hama tanaman adalah kera (Primates) dan babi (Ungulata).
Arthropoda merupakan filum terbesar dalam jumlah anggotanya, sehingga sebagian besar jenis hama tanaman merupakan anggota filum ini. Namun demikian, anggota filum ini khususnya dalam klas Arachida sebagian besar bertindak sebagai musuh alami hama, sedang dari klas Insekta sebagian dari anggotanya menjadi hama penting pada berbagai jenis tanaman dan yang lain ada pula yang berperan sebagai musuh alami hama.
2. CARA MERUSAK DAN GEJALA KERUSAKAN
Pembicaraan mengenai cara merusak dan gejala merusak yang diakibatkan oleh serangan hama khususnya dari serangga tidak dapat lepas dari pembicaraan mengenai morfologi alat mulut serangga hama. Dengan tipe alat mulut tertentu, serangga hama dalam merusak tanaman akan mengakibatkan gejala kerusakan yang khas pada tanaman yang diserangnya. Karena itu, dengan mempelajari berbagai tipe gejala ataupun tanda serangan akan dapat membantu dalam mengenali jenis – jenis hama penyebab yang dijumpai di lapangan. Bahkan lebih jauh dari itu dapat pula digunakan untuk menduga cara hidup ataupun untuk menaksir populasi hama yang bersangkutan.
Berdasarkan pada cara merusak dan gejala kerusakan yang ditimbulkannya, maka hama-hama penyebab kerusakan pada tanaman dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu hama penyebab gejala puru (gall), hama pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung, hama penyebab busuk buah, dan hama pengorok (miner)
RANGKUMAN
Jenis – jenis serangga dapat dikelompokkan berdasarkan tipe alat mulutnya. Dengan tipe alat mulut tertentu, perusakan tanaman oleh serangga akan meninggalkan gejala kerusakan yang khas pada tanaman. Oleh karena itu, dengan mempelajari berbagai tipe gejala serangan akan memepermudah untuk mengetahui jenis hama penyebab kerusakan yang dijumpai di lapangan. Gejala kerusakan dalam bentuk intensitas serangan hama dapat juga digunakan untuk menduga tingkat populasi hama di lapangan.
Berdasarkan cara merusak dan tipe gejala, ada tujuh tipe yaitu hama penyebab puru (gall), hama pemakan, hama penggerek, hama pengisap, hama penggulung, hama penyebab busuk buah dan hama penggorok (miner).
3. TAKTIK PENGENDALIAN
Pada dasarnya, pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan membunuh spesies hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi merugikan. Pengendalian hama tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya menekan populasinya sampai pada aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh karena itu, taktik pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.
Falsafah pengendalian hama yang harus digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian hama Terpadu (PHT) yang dalam implementasinya tidak hanya mengandalkan satu taktik pengendalian saja. Taktik pengendalian yang akan diuraikan berikut ini mengacu pada buku karangan Metcalf (1975) dan Matsumura (1980) yang terdiri dari :
1. Pengendalian secara mekanik
2. Pengendalian secara fisik
3. Pengendalian hayati
4. Pengendalian dengan varietas tahan
5. Pengendalian hama dengan cara bercocok tanam
6. Pengendalian hama dengan sanitasi dan eradikasi
7. Pengendalian kimiawi
A. PENGENDALIAN MEKANIK

Pengendalian mekanik mencakup usaha untuk menghilangkan secara langsung hama serangga yang menyerang tanaman. Pengendalian mekanis ini biasanya bersifat manual.
Mengambil hama yang sedang menyerang dengan tangan secara langsung atau dengan melibakan tenaga manusia telah banyak dilakukan oleh banyak negara pada permulaan abad ini. Cara pengendalian hama ini sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah – daerah yang upah tenaga kerjanya masih relatif murah.
Contoh pengendalian mekanis yang dilakukan di Australia adalah mengambil ulat-ulat atau siput secara langsung yang sedang menyerang tanaman kubis. Pengendalian mekanis juga telah lama dilakukan di Indonesia terutama terhadap ulat pucuk daun tembakau oleh Helicoverpa sp. Untuk mengendalikan hama ini para petani pada pagi hari turun ke sawah untuk mengambil dan mengumpulkan ulat – ulat yang berada di pucuk tembakau. Ulat yang telah terkumpul itu kemudian dibakar atau dimusnahkan. Rogesan sering dipraktekkan oleh petani tebu (di Jawa) untuk mencari ulat penggerek pucuk tebu (Scirpophaga nivella) dengan mengiris sedikit demi sedikit pucuk tebu yang menunjukkan tanda serangan. Lelesan dilakukan oleh petani kopi untuk menyortir buah kopi dari lapangan yang terserang oleh bubuk kopi (Hypotheneemus hampei)
B. PENGENDALIAN FISIK

Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor – faktor fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama sukar untuk hidup.
Bahan – bahan simpanan sering diperlakukan denagn pemanasan (pengeringan) atau pendinginan. Cara ini dimaksudkan untuk membunuh atau menurunkan populasi hama sehingga dapat mencegah terjadinya peledakan hama. Bahan-bahan tersebut biasanya disimpan di tempat yang kedap udara sehingga serangga yang bearada di dalamnya dapat mati lemas oleh karena CO2 dan nitrogen.
Pengolahan tanah dan pengairan dapat pula dimasukkan dalam pengendalian fisik; karena cara – cara tersebut dapat menyebabkan kondisi tertentu yang tidak cocok bagi pertumbuhan serangga. Untuk mengendalikan nematoda dapat dilakukan dengan penggenangan karena tanah yang mengandung banyak air akan mendesak oksigen keluar dari partikel tanah. Dengan hilangnya kandungan O2 dalam tanah, nematoda tidak dapat hidup lebih lama.
C. PENGENDALIAN HAYATI
Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh – musuh alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen – agen pengendali alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.
Dua jenis organisme yang digunakan untuk pengendalian hayati terhadap serangga dan tunggau adalah parasit dan predator. Parasit selalu berukuran lebih kecil dari organisme yang dikendalikan oleh (host), dan parasit ini selama atau sebagian waktu dalam siklus hidupnya berada di dalam atau menempel pada inang. Umumnya parsit merusak tubuh inang selama peerkembangannya. Beberapa jenis parasit dari anggota tabuhan (Hymenoptera), meletakkan telurnya didalam tubuh inang dan setelah dewasa serangga ini akan meninggalkan inang dan mencari inang baru untuk meletakkan telurnya.
Sebaliknya predator mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar sari serangga yang dikendalikan (prey), dan sifat predator secara aktif mencari mangsanya, kemudian memakan atau mengisap cairan tubuh mangsa sampai mati. Beberapa kumbang Coccinella merupakan predator aphis atau jenis serangga lain yang baik pada fase larva maupun dewasanya. Contoh lain serangga yang bersifat sebagai predator adalah Chilocorus, serangga ini sekarang telah dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati terhadap hama kutu perisai (Aspidiotus destructor) pada tanaman kelapa.
Agar predator dan tanaman ini sukses sebagai agen pengendali biologis terhadap serangga, maka harus dapat beradaptasi dulu dengan lingkungan tempat hidup serangga hama. Predator dan parasit itu harus dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang baru. Parasit dan predator juga harus bersifat spesifik terhadap hama dan mampu mencari dan membunuhnya.
Parasit harus mempunyai siklus hidup yang lebih pendek daripada inangnya dan mampu berkembang lebih cepat dari inangnya. Siklus hidup parasit waktunya harus sinkron dengan inangnya sehingga apabila saat populasi inang meningkat maka saat peningkatan populasi parasit tidak terlambat datangnya. Predator tidak perlu mempunyai siklus hidup yang sama dengan inangnya, karena pada umumnya predator ini mempunyai siklus hidup yang lebih lama daripada inangnya dan setiap individu predator mampu memangsa beberapa ekor hama.
Baik parasit maupun predator mempunyai ratio jantan dan betina yang besar, mempunyai keperidian dan kecepatan hidup yang tinggi serta memiliki kemampuan meenyebar yang cepat pada suatu daerah dan serangga – serangga itu secara efektif mampu mencari inang atau mangsanya.
Beberapa parasit fase dewasa memerlukan polen dan nektar, sehingga untuk pelepasan dan pengembangan parasit pada suatu daerah, yang perlu diperhatikan adalah daerah tersebut banyak tersedia polen dan nektar yang nanti dapat digunakan sebagai pakan tambahan.
Parasit yang didatangkan dari suatu daerah, mula – mula dipelihara dahulu di karantina selama beberapa saat agar serangga ini mampu beradaptasi dan berkembang. Selama pemeliharaan di dalam karantina, serangga-serangga ini dapat diberi pakan dengan pakan buatan atau mungkin dapat pula digunakan inangnya yang dilepaskan pada tempat pemeliharaan. Setelah dilepaskan di lapangan populasi parasit ini harus dapat dimonitor untuk mengetahui apakah parasit iru sudah mapan, menyebar dan dapat berfungsi sebagai agen pengendali biologis yang efektif; dan bila memungkinkan serangga ini mampu mengurangi populasi hama relatif lebih cepat dalam beberapa tahun.
Contoh pengendalian biologis yang pernah dilakukan di Australia adalah pengendalian Aphis dengan menggunakan tabuhan chalcid atau pengendalian kutu yang menyerang jeruk dengan menggunakan tabuhan Aphytes.
Selain menggunakan parasit dan predator, untuk menekan populasi serangga hama dapat pula memanfaatkan beberapa pathogen penyebab penyakit pada serangga. Seperti halnya dengan binatang lain, serangga bersifat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus dan protozoa. Pada kondisi lingkungan yang cocok beberapa jenis penyakit akan menajdi wabah epidemis. Penyakit tersebut secara drastis mampu menekan populasi hama hanya dalam beberapa hari.
Beberapa jenis bakteri, misal Bacillus thuringiensis secara komersial diperdagangkan dalam bentuk spora, dan bakteri ini dipergunakan untuk menyemprot tanaman seperti halnya insektisida. Yang bersifat rentan terhadap bahan ini adalah fase ulat, dan bilamana ulat-ulat itu makan spora, maka akhirnya bakteri akan berkembang di dalam usus serangga hama, akhirnya bakteri itu menembus usus dan masuk ke dalam tubuhnya, sehingga akhirnya larva akan mati.
Jamur dapat pula digunakan untuk mengendalikan serangga hama, sebagai contoh Entomorpha digunakan untuk mengendalikan Aphis yang menyerang alfafa; spesies Beauveria untuk mengendalikan ulat dan Metarrhizium anisopliae sekarang sudah dikembangkan secara masal dengan medium jagung. Jamur ini digunakan untuk mengendalikan larva Orycetes rhinoceros yang imagonya merupakan penggerek pucuk kelapa.
Lebih dari 200 jenis virus mampu menyerang serangga. Jenis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama adalah Baculovirus untuk menekan populasi Orycetes rhinoceros; Nuclear polyhidrosis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama Heliothis zeae pada tongkol jagung, bahan tersebut telah banyak digunakan di AS, Eropa dan Australia. Virus tersebut masuk dan memperbanyak diri dalam sel inang sebelum menyebar ke seluruh tubuh. Inti dari sel – sel yang terserang menjadi besar, kemudian virus tersebut menuju ke rongga tubuh akhirnya inang akan mati.
Metode pengelolaan agen pengendali biologi terhadap serangga hama meliputi :
1. Introduksi, yakni upaya mendatangkan musuh alami dari luar (exotic) ke wilayah yang baru (ada barier ekologi).
2. Konservasi, yakni upaya pelestarian keberadaan musuh alami di suatu wilayah dengan antara lain melalui pengelolaan habitat.
3. Augmentasi, parasit dan predator lokal yang telah ada diperbanyak secara massal pada kondisi yang terkontrol di laboratorium sehingga jumlah agensia sangat banyak, sehingga dapat dilepas ke lapangan dalam bentuk pelepasan inundative.

D. PENGENDALIAN DENGAN VARIETAS TAHAN
Beberapa varietas tanaman tertentu kuran dapat diserang oleh serangga hama atau kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan varietas lain. Varietas tahan tersebut mempunyai satu atau lebih sifat-sifat fisik atau fisiologis yang memungkinkan tanaman tersebut dapat melawan terhadap serangan hama.
Mekanisme ketahanan tersebut secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Toleransi
Tanaman yang memiliki kemampuan melawan serangan serangga dan mampu hidup terus serta tetap mampu berproduksi, dapat dikatakan sebagai tanaman yang toleran terhadap hama. Toleransi ini sering juga tergantung pada kemampuan tanaman untuk mengganti jaringan yang terserang, dan keadaan ini berhubungan dengan fase pertumbuhan dan kerapatan hama yang menyerang pada suatu saat.
2. Antibiosis
Tanaman – tanaman yang mengandung toksin (racun) biasanya memberi pengaruh yang kurang baik terhadap serangga. Tanaman yang demikian dikatakan bersifat antibiosis. Tanaman ini akan mempengaruhi banyaknya bagian tanaman yang dimakan hama, dapat menurutkan kemampuan berkembang biak dari hama dan memperbesar kematian serangga. Tanaman kapas yang mengandung senyawa gossypol dengan kadar tinggi mempunyai ketahanan yang lebih baik bila dibandingkan dengan yang mengandung kadar yang lebih rendah, karena bahan kimia ini bekerja sebagai antibiosis terhadap jenis serangga tertentu.
3. Non prefens
Jenis tanaman tertentu mempunyai sifat fisik dan khemis yang tidak disukai serangga. Sifat – sifat tersebut dapat berupa tekstur, warna, aroma atau rasa dan banyaknya rambut sehingga menyulitkan serangga untuk meletakkan telur, makan atau berlindung. Pada satu spesies tanaman dapat pula terjadi bahwa satu tanaman kurang dapat terserang serangga dibanding yang lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sifat yang ada sehingga dapat lebih menarik lagi bagi serangga untuk memakan atau meletakkan telur. Contoh pengendalian hama yang telah memanfaatkan varietas tahan adalah pengendalian terhadap wereng coklat pada tanaman padi, pengendalian terhadap kutu loncat pada lamtoro, pengendalian terhadap Empoasca pada tanaman kapas.
E. PENGENDALIAN HAMA DENGAN PENGATURAN CARA BERCOCOK TANAM
Pada dasarnya pengendalian ini merupakan pengendalian yang bekerja secara alamiah, karena sebenarnya tidak dilakukan pembunuhan terhadap hama secara langsung. Pengendalian ini merupakan usaha untuk mengubah lingkunagn hama dari keadaan yang cocok menjadi sebaliknya. Dengan mengganti jenis tanaman pada setiap musim, berarti akan memutus tersedianya makanan bagi hama-hama tertentu.
Sebagai contoh dalam pengendalian hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) diatur pola tanamnya, yakni setelah padi – padi, pada periode berikutnya supaya diganti dengan palawija. Cara ini dimaksudkan untuk menghentikan berkembangnya populasi wereng. Cara di atas dapat pula diterapkan pada hama lain, khususnya yang memiliki inang spesifik. Kebaikan dari pengendalian hama dengan mengatur pola tanam adalah dapat memperkecil kemungkinan terbentuknya hama biotipe baru. Cara – cara pengaturan pola tanam yang telah diterapkan pada pengendalian wereng coklat adalah :
a. Tanam serentak meliputi satu petak tersier (wikel) dengan selisih waktu maksimal dua minggu dan selisih waktu panen maksimal 4 minggu, atau dengan kata lain varietas yang ditanam relatif mempunyai umur sama. Dengan tanam serentak diharapkan tidak terjadi tumpang tindih generasi hama, sehingga lebih mudah memantau dan menjamin efektifitas pengendalian, karena penyemprotan dapat dilakukan serentak pada areal yang luas.
b. Pergiliran tanaman meliputi areal minimal satu WKPP dengan umur tanaman relatif sama.
c. Pergiliran varietas tahan. Untuk daerah-daerah yang berpengairan baik, para petani pada ummnya akan menanam padi – padi sepanjang tahun. Kalau pola demikian tidak dapat diubah maka teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pergiliran varietas yang ditanam. Pada pengendalian ini diusahakan supaya digunakan varietas yang mempunyai tetua berbeda, dengan demikian dapat menghambat terbentuknya wereng biotipe baru.
F. PENGENDALIAN HAMA DENGAN SANITASI DAN ERADIKASI
Beberapa jenis hama mempunyai makanan, baik berupa tanaman yang diusahakan manusia maupun tanaman liar (misal rumput, semak – semak, gulam dan lain – lain). Pada pengendalian dengan cara sanitasi eradikasi dititikberatkan pada kebersihan lingkungan di sekitar pertanaman. Kebersihan lingkungan tidak hanya terbatas di sawah yang ada tanamannya, namun pada saat bero dianjurkan pula membersihkan semak-semak atau turiang-turiang yang ada. Pada musim kemarau sawah yang belum ditanami agar dilakukan pengolahan tanah terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk membunuh serangga-serangga yang hidup di dalam tanah, memberikan pengudaraan (aerasi), dan membunuh rerumputan yang mungkin merupakan inang pengganti suatu hama tertentu.
Contoh pengendalian dengan eradikasi terhadap serangan hama wereng coklat adalah :
a. Pada daerah serangan wereng coklat tetapi bukan merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan pada tanaman padi yang telah puso. Pada daerah serangan berat eradikasi hendaknya diikuti pemberoan selama 1 – 2 bulan atau mengganti dengan tanaman selain padi.
b. Pada daerah serangan hama wereng yang juga merupakan daerah serangan virus, eradikasi dilakukan sebagai berikut :
1). Eradikasi selektif dilakukan pada padi stadia vegetatif yang terserang virus dengan intensitas sama dengan atau kurang dari 25 % atau padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus kurang dari 75 %.
2). Eradikasi total dilakukan terhadap pertanaman statdia vegetatif dengan intensitas serangan virus lebih besar dari 25 % atau pada padi stadia generatif dengan intensitas serangan virus lebih besar sama dengan 75 %.
Cara melakukan eradikasi adalah dengan membabat tanaman yang terserang hama, kemudian membakar atau membenamkan ke dalam tanah.
G. PENGENDALIAN KIMIA
Bahan kimia akan digunakan untuk mengendalikan hama bilamana pengendalian lain yang telah diuarikan lebih dahulu tidak mampu menurunkan populasi hama yang sedang menyerang tanaman.
Kelompok utama pestisida yang digunakan untuk mengendalikan serangga hama dengan tunggau adalah insektisida, akarisida dan fumigan, sedang jenis pestisida yang lain diberi nama masing-masing sesuai dengan hama sasarannya. Dengan demikian penggolongan pestisida berdasar jasad sasaran dibagi menjadi :
a. Insektisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa serangga. Contoh : Bassa 50 EC Kiltop 50 EC dan lain – lain.
b. Nematisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas jasad pengganggu yang berupa cacing – cacing parasit yang biasa menyerang akar tanaman. Contoh : Furadan 3 G.
c. Rodentisida : yaitu racun yang digunakan untuk memberantas binatang – binatang mengerat, seperti misalnya tupai, tikus. Contoh : Klerat RM, Racumin, Caumatatralyl, Bromodoiline dan lain – lain.
d. Herbisida : adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulam (tanaman pengganggu). Contoh : Ronstar ODS 5 / 5 Saturn D.
e. Fungisida : digunakan untuk memberantas jasad yang berupa cendawan (jamur). Contoh : Rabcide 50 WP, Kasumin 20 AB, Fujiwan 400 EC, Daconil 75 WP, Dalsene MX 2000.
f. Akarisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang berupa tunggau. Contoh : Mitac 200 EC, Petracrex 300 EC.
g. Bakterisida : yaitu racun yang digunakan untuk mengendalikan penykit tanaman yang disebabkan oleh bakteri. Contoh : Ffenazin – 5 – oksida (Staplex 10 WP).
Insektisida dapat pula dibagi menurut jenis aktivitasnya. Kebanyakan insektisida bersifat racun bilamana bersentuhan langsung atau tertelan serangga. Namun ada pula jenis lain yang bersifat sebagai repelen (jenis ini digunakan untuk mencegah serangga yang akan menyerang tanaman), atraktan (bahan yang dapat menarik serangga, dengan demikian serangga yang terkumpul akan lebih mudah terbunuh), anti feedan (senyawa ini dapat menghindarkan dari serangan suatu serangga) dan khemosterilan (yang dapat menyebabkan kemandulan bagi serangga yang terkena).
Menurut sifat kecepatan meracun, pestisida digolongkan menjadi :
1. Racun kronis : yaitu racun yang bekerjanya sangat lambat sehingga untuk mematikan hama membutuhkan waktu yang sangat lama. Contoh : racun tikus Klerat RMB.
2. Racun akut : adalah racun yang bekerjanya sangat cepat sehingga kematian serangga dapat segera diketahui setelah racun tersebut mengenai tubuhnya. Contoh : Bassa 50 EC, Kiltop 50 EC, Baycarb 50 EC dan lain – lain.
Ditinjau dari cara bekerjanya, pestisida dibagi menjadi :
1. Racun perut
Racun ini terutama digunakan untuk mengendalikan serangga yang mempunyai tipe alat mulut pengunyah (ulat,belalang dan kumbang), namun bahan ini dapat pula digunakan terhadap hama yang menyerang tanaman dengan cara mengisap dan menjilat. Bahan insektisida ini disemprotkan pada bagian yang dimakan serangga sehingga racun tersebut akan tertelan masuk ke dalam usus, dan di sinilah terjadi peracunan dalam jumlah besar.
Ada 4 cara aplikasi racun perut terhadap serangga :
a. Insektisida diaplikasikan pada makanan alami serangga sehingga bahan tersebut termakan oleh serangga sasaran. Bahan makanan itu dapat berupa daun, bulu-bulu / rambut binatang. Dalam aplikasinya, bahan – bahan makanan serangga harus tertutup rata oleh racun pada dosis lethal sehingga hama yang makan dapat mati.
b. Insektisida dicampur dengan bahan atraktan dan umpan itu ditempatkan pada suatu lokasi yang mudah ditemukan serangga.
c. Insektisida ditaburkan sepanjang jalan yang bisa dilalui hama. Selagi hama itu lewat biasanya antene dan kaki akan bersentuhan dengan insektisida atau bahkan insektisida itu tertelan. Akibatnya hama mati.
d. Insektisida diformulasikan dalam bentuk sistemik, dan racun ini diserap oleh tanaman atau tubuh binatang piaraan kemudian tersebar ke seluruh bagian tanaman atau badan sehingga apabila serngga hama tersebut mengisap cairan tanaman atau cairan dari tubuh binatang (terutama hama yang mempunyai tipe mulut pengisap, misal Aphis) dan bila dosis yang diserap mencapai dosis lethal maka serangga akan mati.
2. Racun kontak
Insektisida ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui permukaan tubuhnya khususnya bagian kutikula yang tipis, misal pada bagian daerah perhubungan antara segmen, lekukan-lekukan yang terbentuk dari lempengan tubuh, pada bagian pangkal rambut dan pada saluran pernafasan (spirakulum). Racun kontak itu dapat diaplikasikan langsung tertuju pada jasad sasaran atau pada permukaan tanaman atau pada tempat – tempat tertentu yang biasa dikunjungi serangga. Racun kontak mungkin diformulasikan sebagai cairan semprot atau sebagai serbuk. Racun kontak yang telah melekat pada serangga akan segera masuk ke dalam tubuh dan disinilah mulai terjadi peracunan.
Yang digolongkan sebagai insektisida kontak adalah :
a. Bahan kimia yang berasal dari kestrak tanamaan, seperti misalnya nikotin, rotenon, pirethrum.
b. Senyawa sintesis organik, misal BHC, DDT, Chlordan, Toxaphene, Phosphat organik.
c. Minyak dan sabun.
d. Senyawa anorganik seperti misalnya Sulfur dan Sulfur kapur.
3. Racun pernafasan
Bahan insektisida ini biasanya bersifat mudah menguap sehingga masuk ke dalam tubuh serangga dalam bentuk gas. Bagian tubuh yang dilalui adalah organ – organ pernafasan seperti misalnya spirakulum. Oleh karena bahan tersebut mudah menguap maka insektisida ini juga berbahaya bagi manusia dan binatang piaraan. Racun pernafasan bekerja dengan cara menghalangi terjadinya respirasi tingkat selulair dalam tubuh serangga dan bahan ini sering dapat menyebabkan tidak aktifnya enzim-enzim tertentu. Contoh racun nafas adalah : Hidrogen cyanida dan Carbon monoksida.
4. Racun Syaraf
Insektisida ini bekerja dengan cara menghalangi terjadinya transfer asetikholin estrase yang mempunyai peranan penting dalam penyampaian impul. Racun syaraf yang biasa digunakan sebagai insektisida adalah senyawa organo klorin, lindan, carbontetraclorida, ethylene diclorida : insektisida-insektisida botanis asli seperti misalnya pirethin, nikotin, senyawa organofosfat (parathion dan dimethoat) dan senyawa karbanat (methomil, aldicarb dan carbaryl).
5. Racun Protoplasmik
Racun ini bekerja terutama dengan cara merusak protein dalam sel serangga. Kerja racun ini sering terjadi di dalam usus tengah pada saluran pencernaan.Golongan insektisida yang termasuk jenis ini adalah fluorida, senyawa arsen, borat, asam mineral dan asam lemak, nitrofenol, nitrocresol, dan logam – logam berat (air raksa dan tembaga).
6. Racun penghambat khitin
Racun ini bekerja dengan cara menghambat terbentuknya khitin. Insektisida yang termasuk jenis ini biasanya bekerja secara spesifik, artinya senyawa ini mempunyai daya racun hanya terhadap jenis serangga tertentu. Contoh : Applaud 10 WP terhadap wereng coklat.
8. Racun sistemik
Insektisida ini bekerja bilamana telah terserap tanaman melalui akar, batang maupun daun, kemudian bahan-bahan aktifnya ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bilamana serangga mengisap cairan atau memakan bagian tersebut akan teracun.
Pestisida adalah merupakan racun, baik bagi hama maupun tanaman yang disemprot. Mempunyai efek sebagai racun tanaman apabila jumlah yang disemprotkan tidak sesuai dengan aturan dan berlebihan (overdosis), karena keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya kebakarn tanaman. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang memadai namun pertumbuhan tanaman tidak terganggu, pemakaian pestisida hendaknya memperhatikan kesesuaiannya, baik tepat jenis, tepat waktu maupun tepat ukuran (dosis dan konsentrasi). Dosis adalah banyaknya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama secara memadai pada lahan seluas 1 ha. Konsentrasi adalah banyaknya pestisida yang dilarutkan dalam satu liter air.
Untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat serta memperoleh efektifitas pengendalian yang tinggi maka oleh perusahaan pestisida, satu bahan aktif dibuat dalam bermacam-macam formulasi.
Tujuan dari formulasi ini adalah :
1. Mempermudah penyimpanan.
2. Mempermudah penggunaan.
3. Mengurangi daya racun yang berlebihan.
Pestisida terbuat dari campuran antara dua bahan, yaitu bahan aktif (bahan pestisida yang mempunyai daya racun) dan bahan pembawa / inert (bahan pencampur yang tidak mempunyai daya racun).
Macam-macam formulasi yang banyak dibuat oleh perusahaan pembuat pestisida adalah :
1. Formulasi dalam bentuk cairan
a. Cairan yang diemulsikan.
Biasanya ditandai dengan kode EC (Emulsifeable Concentrate) yaitu cairan yang diemulsikan. Pestisida ini dalam bentuk asli berwarna bening setelah dicampur air akan membentuk emulsi yang berwarna putih susu. Contoh : Dharmabas 50 EC, Bassa 50 EC dan lain – lain.
b. Cairan yang dapat dilarutkan.
Formulasi ini biasanya ditandai dengan kode WSC atau SCW yaitu kependekan dari Soluble Concentrated in Water. Pestisida ini bila dilarutkan dalam air tidak terjadi perubahan warna (tidak membentuk emulsi sehingga cairan tersebut tetap bening). Contoh : Azodrin 15 WSC.
2. Bentuk Padat
a. Berupa tepung yang dapat dilarutkan, dengan kode SP (Soluble Powder). Penggunaannya disemprotkan dengan sprayer. Contoh : Sevin 85 SP.
b. Berupa tepung yang dapat dibasahi dengan merek dagang WP (Weatable Powder). Pestisida ini disemprotkan dengan dicampur air. Karena sifatnya tidak larut sempurna, maka selama menyemprot seharusnya disertai dengan pengadukan secara terus-menerus.Contoh: Aplaud 10 WP.
c. Berupa butiran dengan kode G (Granulair). Aplikasi pestisida ini adalah dengan menaburkan atau membenamkan dekat. Contoh : Furadan 3 G, Dharmafur 3 G.
d. Campuran umpan (bait). Pestisida ini dicampur dengan bahan makanan yang disukai hama, kemudian diumpankan. Contoh : Klerat RMB.
RANGKUMAN
Pengendalian hama merupakan upaya manusia untuk mengusir, menghindari dan membunuh secara langsung maupun tidak langsung terhadap spesies hama. Pengendalian hama tidak bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan hanya menekan sampai pada tingkat tertentu saja sehingga secara ekonomi dan ekologi dapat dipertanggungjawabkan.
Falsafah pengendalian hama yang digunakan adalah Pengelolaan / Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT tidak pernah mengandalkan satu taktik pengendalian saja dalam memcahkan permasalahan hama yang timbul, melainkan dengan tetap mencari alternatif pengendalian yang lain.
Beberapa taktik pengendalian hama yang dikenal meliputi : taktik pengendalian secara mekanis, fisis, hayati, dengan varietas tahan, mengatur pola tanam, sanitasi dan eradikasi, dan cara kimiawi.

Budidaya Hortikultura di Musim Hujan Kendala dan Kiat Mengatasinya


Hujan memang selalu ditunggu banyak petani karena masa bero , gagal panen dan berebut air dapat segera diakhiri . Kedatangannya mampu menghijaukan kembali rumput dan hutan yang mengering; memunculkan harapan baru untuk dapat berhasil dalam bertani, serta memotong siklus hama yang telah menguras tenaga dan biaya di musim kemarau.
Budidaya sayuran selalu dilakukan sepanjang musim baik musim kemarau maupun musim hujan karena konsumen sayuran lebih menyukai produk segar dibandingkan dengan produk olahan. Hujan selain memudahkan petani untuk mendapatkan air dalam budidaya tanaman sayuran juga berarti sejumlah tantangan dan kendala yang akan datang dan mengancam keberhasilan panen atau menurunnya mutu produk sayuran.
Perubahan fisik yang muncul akibat hujan bagi lingkungan tumbuh tanaman adalah meningkatnya kelembaban udara dan meningkatnya kandungan air dalam tanah. Kedua hal tersebut berdampak pada percepatan perkembangan patogen baik jamur maupun bakteri, terganggunya keseimbangan nutrisi tanaman di dalam tanah serta munculnya kerusakan fisik lain berupa pecah batang , pecah buah juga robohnya tanaman.
Beberapa teknik untuk meningkatkan keberhasilan budidaya sayuran akan disajikan dan dilengkapi dengan tinjauan penyakit – penyakit utama yang biasa menyerang tanaman di musim hujan, uraian singkat mengenai siklus air, proses kehilangan dan pergerakan nutrisi tanaman utama, serta uraian dampak genangan air pada tanaman.
Kerusakan Tanaman Akibat Kelebihan Air
Organ tanaman sayuran banyak yang bersifat sukulen atau mempunyai kandungan air yang tinggi. Karena air hujan juga mengandung cukup banyak nitrogen maka beberapa jenis sayuran cenderung lebih mudah pecah pada waktu hujan sebagai contoh pecahnya batang tanaman melon, pecah buah semangka dan pecah kubis.
Akibat lain dari kebanyakan air bagi tanaman sayuran adalah munculnya gejala layu karena tanaman keracunan nitrogen. Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada waktu air memenuhi seluruh rongga udara di dalam tanah maka kebutuhan oksigen akar tidak terpenuhi. Pada kondisi cukup oksigen nitrogen tersedia bagi tanaman dalam bentuk NH4+ atau NO3- sedangkan pada kondisi anaerob atau tergenang air ion – ion nitrogen tersebut tereduksi menjadi NO2 yang sangat beracun bagi tanaman. Sebagian besar tanaman sayuran sangat peka terhadap kebanyakan air.
Kebanyakan air dalam tanah juga menyebabkan rendahnya daya dukung tanah terhadap tetap tegaknya tanaman menjadi rendah. Hal yang sering terjadi adalah robohnya tanaman akibat hujan angina meskipun tanaman sudah ditopang dengan lanjaran.
Gangguan lain yang disebabkan oleh limpahan air hujan adalah keseimbangan nutisi dalam tanah. Bentuknya dapat berupa rontoknya bunga dan buah serta turunnya mutu buah khususnya dalam kemanisan buah.
Teknik budidaya yang paling popular digunakan untuk mengurangi kelebihan air adalah dengan pembuatan saluran drainase. Terdapat dua macam cara pembuatan saluran drainase yaitu saluran drainase di atas permukaan tanah dan saluran drainase di bawah permukaan tanah.
Saluran drainase di atas permukaan tanah dimaksudkan untuk mengurangi genangan, mencegah kejenuhan air yang berkepanjangan dan mempercepat aliran ke arah pembuangan tanpa terjadinya erosi tanah. Drainase ini mencakup parit-parit pemasukan dan pembuangan dalam petak penanaman termasuk di dalamnya parit yang ada diantara bedeng penanaman.
Saluran drainase di bawah permukaan dimaksudkan untuk memindahkan kelebihan air di dalam tanah. Drainase ini dapat menurunkan tingginya kandungan air baik karena curah hujan, air irigasi permukaan , limpasan dari dataran yang lebih tinggi, dan air resapan. Bentuknya bervariasi ada drainase gorong-gorong, drainase batu, drainase kotak dan drainase bamboo.
Kerusakan Akibat Meningkatnya Perkembangan Penyakit
Datangnya musim hujan bulan Oktober hingga Maret ini selain memberikan persediaan air yang cukup bagi tanaman, ternyata juga dapat memberikan dampak negatif berupa lingkungan udara yang lembab. Kelembaban yang tinggi ini sangat kondusif bagi perkembangan tumbuhnya jamur maupun bakteri. Sayangnya, tidak hanya jamur dan bakteri yang menguntungkan yang hidup secara pesat dalam keadaan ini, melainkan juga yang merugikan. Bahkan disinyalir pertumbuhan jamur yang merugikan termasuk diantaranya penyebab berbagai penyakit tanaman bisa lebih tinggi. Akibatnya tentu saja resiko serangan penyakit di musim hujan menjadi lebih tinggi dibandingkan musim kemarau.
Adanya penyakit pada tanaman hortikultura tentu saja merugikan karena selain dapat mengurangi produktivitas maupun kualitas, juga dapat menyebabkan kegagalan panen.
Berikut adalah beberapa penyakit tanaman sayuran yang biasa dijumpai di musim hujan yang menyebabkan kegagalan atau menurunkan mutu produk sayuran :
Tanaman Cabai
Antracnose (Busuk Buah)
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Collectroticum gloeosporioides dan dilaporkan ditemukan di hampir seluruh dunia. Adapun gejala serangannya antara lain sebagai berikut : Pada buah muda ataupun tua permukaanya nampak bercak berair dan berkembang dengan cepat hingga berdiameter 3 – 4 cm. Bercak luka menurun dan berwarna merah tua kehitaman yang menampakkan massa spora yang berbentuk melingkar – lingkar. Adanya musim hujan dengan suhu dan kelembaban yang tinggi ini menjadi penyebab meningkatnya perkembangan jamur. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan cara : treatment benih, rotasi tanaman dan aplikasi fungisida Victory 80WP diselingi Promefon 250EC.
Cercospora Leaf Spot
Penyakit ini sama halnya seperti cacar pada manusia yaitu menimbulkan bintik-bintik/bercak-bercak melingkar terutama pada daunnya. Penyebabnya tidak lain adalah jamur Cercospora capsici. Penyakit bercak daun ternyata menyebar merata di seluruh dunia khususnya pada tanaman cabai.
Gejala serangan daun yang terluka berbentuk bulat dengan diameter 1 cm yang dikelilingi warna coklat dan berwarna abu – abu di tengahnya (seperti mata katak). Serangan yang terjadi menyebabkan daun rontok, baik dengan gejala daun menguning ataupun tanpa gejala daun menguning. Luka yang timbul pada batang, tangkai daun, dan tangkai buah berbentuk elips dengan pusat abu-abu yang dikelilingi warna gelap disekitarnnya. Buahnya tidak ikut terserang penyakit ini. Jamur ini terdapat pada benih dan seresah daun yang telah terkena serangan. Lamanya waktu hujan dan kebasahan daun serta jarak tanam yang rapat dapat mendorong perkembangan penyakit. Penyemprotan fungisida Victory 80WP dapat mengendalikan penyakit, tetapi perkembangannya bergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya apakah sesuai untuk perkembangan penyakit ini.
Choanephora Blight
Penyakit ini merupakan penyakit layu pada ujung cabai yang disebabkan Choanephora cucurbitarum. Meskipun termasuk jarang karena hanya ditemukan di daerah tropis, namun kita tetap harus mewaspadainya. Gejala Serangan penyakit ini ditandai dengan ujung cabang yang menjadi layu. Jika diamati dengan teliti akan tampak keperakan yang berbentuk seperti jamur dengan ujung yang gelap. Jamur ini juga dapat membunuh bunga dan kuncup bunga. Tingginya curah hujan dan suhu di musim hujan sangat mempengaruhi keberadaannya. Karena informasi yang didapatkan sangat sedikit, pengendalian yang tepat dan efektif terhadap penyakit ini masih dalam penelitian. Namun demikian, penyemprotan fungisida Victory 80WP dan Kocide 77WP dapat mencegah serangan penyakit.
Bacterial Spot
Bacterial spot atau bercak bakteri pada tanaman cabai berbeda dengan bercak melingkar cercospora. Penyakit ini disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. Vesicatoria. Penyakit ini termasuk salah satu penyakit cabai yang umum dialami petani karena ditemukan di seluruh dunia. Gejala Serangannya ditandai dengan timbulnya bercak berair yang mengering dengan dikelilingi warna kuning pada daun. Luka yang timbul dimulai dari bagian atas hingga mencapai bawah daun. Daun yang terkena serangannya menjadi kuning dan rontok. Luka pada buah berwarna gelap dan berbintik – bintik. Bercak nekrotis timbul pada batang dan tangkai daun. Perkembangan jamur ini disebabkan karena terbawa benih dan bisa berada pada seresah daun dari tanaman yang terserang. Banyak jenis bakteri ini yang menyerang cabai dan tomat. Penyakit ini juga didorong oleh suhu tinggi, kabut yang tebal, serta pengairan dengan system leb.
Pengendaliannya dapat dilakukan dengan melakukan pergiliran dengan tanaman yang tahan dan non-sayur. Selain itu juga dengan menggunakan benih yang bebas hama dan penyakit. Jenis varietas yang tahan terhadap penyakit ini mulai banyak, tetapi terkadang tidak untuk semua jenis bakteri. Penyemprotan fungisida tembaga seperti Kocide 77WP sangat efektif dalam mengendalikan serangan penyakit ini. Sungkup untuk menahan hujan juga dapat mengurangi serangan penyakit ini di musim penghujan.
Bacterial Soft Rot
Penyakit busuk lunak bakteri ini disebabkan oleh Erwinia carotovora sub sp. Carotovora dan ditemukan di seluruh dunia. Gejala Serangan ditandai dengan adanya bercak berair yang menyebar ke seluruh buah. Buah yang terserang menjadi rontok atau tergantung seperti kantong yang penuh air. Selama masa panen, pembusukan biasanya dimulai pada batang dan diikuti oleh buah. Penyakit ini ternyata tidak hanya menyerang cabai saja melainkan dapat terjadi pada berbagai macam buah dan sayuran. Bakteri penyebab penyakit ini terdapat pada seresah tanaman, serangga, bahkan di tanah. Bakteri ini masuk ke tanaman melalui luka yang ditimbulkan oleh serangga taupun luka mekanis.
Kondisi hujan dan suhu yang tinggi sangat sesuai untuk perkembangan bakteri ini. Buah yang telah dipanen pun bisa terkena penyakit ini dari air yang digunakan untuk mencuci buah. Untuk mengendalikannya dapat dilakukan pergiliran tanaman atau dengan dengan menanam tanaman yang tahan serta non – sayur. Selain itu system darinase lahan pun harus diperbaiki sehingga lahan cepat mengering dan mengurangi percikan air tanah. Kemudian pemanenan buah dianjurkan dilakukan saat kondisi kering dan hati-hati untuk menghindari adanya luka. Jika memungkinkan sebisa mungkin menghindari mencuci buah dengan air sembarang sebelum disterilisai dengan klorin.
Bacterial Wilt
Bacterial Wilt atau layu bakteri pada cabe yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum ini termasuk salah satu penyakit yang ditakuti petani cabe. Meskipun hanya ditemukan di daerah tropis dan subtropics yang memiliki curah hujan tinggi saja namun kerusakan akibat penyakit ini tidaklah sedikit karena bisa mengancam kegagalan panen yang cukup besar. Awal gejala serangan yang timbul adalah adanya layu pada daun terbawah (atau daun teratas pada bibit) yang diikuti oleh layu yang tiba – tiba pada seluruh tanaman tanpa adanya gejala kekuningan pada tanaman. Penyakit ini timbul pada sekelompok tanaman saja atau mungkin hanya satu tanaman saja. Jaringan angkut tanaman sakit menjadi coklat serta pembusukan pada korteks yang dekat dengan tanah. Aliran bakteri akan muncul dari jaringan angkut tanaman yang dipotong melintang dari batang terbawah dan akan mengendap di air. Penyakit ini dapat menyerang hampir pada 200 jenis tanaman yang berbeda. Tanaman yang sering terserang adalah tomat, tembakau, kentang dan terung, disamping itu juga sangat merusak pada tanaman cabai. Bakteri ini dapat bertahan di tanah dalam waktu lama. Masuknya bakteri ini melalui luka pada akar ataupun luka akar yang disebabkan oleh serangga, nematode, atau pengolahan tanah. Suhu yang tinggi dan kelembaban tanah yang tinggi sangat sesuai untuk perkembangan penyakit ini. Pengendalian penyakit layu dapat dilakukan antara lain : dengan menggunakan bedeng semai yang bebas dari hama dan penyakit, melakukan fumigasi pada bedeng semai serta sterilisasi media tanam. Kemudian lakukan pergiliran tanaman dengan tanaman lain seperti padi misalnya, pergiliran ini akan mengurangi jumlah bakteri. Hindari system penanaman yang dapat merusak akar. Gunakan bedengan yang lebih tinggi untuk memudahkan drainase. Cabai besar lebih tahan terhadap penyakit ini dibanding paprika. Jenis yang tahan terhadap penyakit ini sedang dikembangkan tetapi belum tersedia. Untuk tindakan pencegahan dapat dilakukan penyemprotan larutan Kocide 77WP konsentrasi 5 gr / L dengan volume semprot 200 ml / tanaman saat tanaman mulai berbuah atau mulai ada gejala serangan dengan interval 14 hari.
Tanaman Kubis – kubisan
Alternaria Leaf Spot
Seperti halnya pada tanaman cabe, bercak alternaria pun dapat menyerang kubis – kubisan. Namun, penyakit pada kubis ini disebabkan oleh Alternaria brassicae, A. brassicicola. Hampir seluruh tanaman kubis – kubisan sangat peka terhadap bercak daun Alternaria dan dapat menyerang tanaman pada seluruh fase pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan oleh 2 pathogen ini sama dan bisa ditemukan dalam satu tanaman. Serangan pada tanaman di persemaian dapat mengakibatkan damping off atau tanaman kerdil. Bentuk Bercak daun sangat beragam ukurannya dari sebesar lubang jarum hingga yang berdiameter 5 cm. Umumnya serangan dimulai dengan adanya bercak kecil pada daun yang membesar hingga kurang lebih berdiamter 1,5 cm dan berwarna gelap dengan lingkaran konsentris. Perubahan warna menjadi coklat pada head cauliflower dan brokoli juga disebabkan oleh pathogen ini. Patogen ini juga menimbulkan bercak elips nekrotis pada benih. Penyakit ini disebabkan oleh patogen yang terbawa benih. Alternaria sendiri dapat disebarkan oleh angin. Serangan dapat dipercepat oleh cuaca yang lembab dengan suhu optimum antara 25 – 30oC. Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain : menggunakan benih yang bebas dari patogen ini. Air panas dan perlakuan benih dengan bahan kimia juga sangat efektif. Kemudian , penggunaan fungisida Promefon 250EC juga dapat diterapkan untuk mengendalikan perkembangan beberapa penyakit. Hindari penyiraman pada head cauliflower dan brokoli untuk mencegah pembusukan head.
Bacterial Soft Rot
Penyakit busuk lunak ini sangat sering dijumpai pada tanaman kubis – kubisan. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora ini ditemukan di seluruh dunia. Busuk lunak dapat menyerang seluruh tanaman kubis-kubisan, tetapi lebih sering menyerang sawi putih dan kubis. Jaringan tanaman yang telah terserang menunjukkan gejala basah dan diameter serta kedalamannya melebar secara cepat. Bagian tanaman yang terkena menjadi lunak dan berubah warna menjadi gelap apabila serangan terus berlanjut. Tanaman yang terkena busuk lunak menimbulkan bau yang khas yang dimungkinkan oleh adanya perkembangan organisme lain setelah pembusukan terjadi. Serangan ini bisa terjadi di lahan, saat pengangkutan, ataupun saat penyimpanan. Bakteri busuk lunak timbul dari seresah tanaman yang telah terinfeksi, melalui akar tanaman, dari tanah, dan beberapa serangga. Luka pada tanaman seperti stomata pada daun, serangan serangga, kerusakan mekanis, ataupun bekas serangan dari pathogen lain merupakan sasaran yang empuk untuk serangan bakteri.
Hujan dan suhu yang tinggi mendorong penyebaran di lahan. Infeksi pada saat pengangkutan dan penyimpanan merupakan kontaminasi bakteri saat di lahan maupun pasca panen melalui peralatan pengangkutan dan panen serta tempat penyimpanan. Bakteri busuk lunak dapat berkembang pada suhu 5 – 37oC dengan suhu optimum berkisar 22oC. Pengendalian secara preventif bisa ditempuh melalui kebersihan lingkungan dan sistem budidaya. Menunggu tanah melapukkan sisa-sisa tanaman lama di lahan sebelum menanam tanaman selanjutnya sangat dianjurkan untuk mengatasi hal ini. Lahan harus memiliki drainase yang baik untuk mengurangi kelembaban tanah serta jarak tanamnya harus cukup memberikan pertukaran udara untuk mempercepat proses pengeringan daun saat basah. Pembuatan pelindung hujan dapat pula menghindari percikan tanah dan pembasahan daun yang akan mengurangi gejala busuk lunak. Penyemprotan bacterisida seperti Kocide 77WP dengan interval 10 hari sangat dianjurkan terutama saat penanaman musim hujan.
Black Rot
Penyakit busuk hitam (Black rot) yang disebabkan Xanthomonas campestris pv. Campestris termasuk salah satu penyakit penting pada tanaman kubis – kubisan. Busuk hitam dapat menyerang seluruh tanaman kubis – kubisan. Gejala awal yang timbul adalah pada tepi daun dan berlanjut hingga klorosis membentuk huruf V. Dengan berjalannya waktu, gejala yang timbul tadi kemudian mengering dan seperti terbakar (nekrotis). Serangan umumnya terjadi pada pori daun, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat menyerang di bagian daun mana saja yang telah terserang serangga ataupun luka secara mekanis sehingga memudahkan bakteri masuk. Bakteri ini menyerang jaringan pengangkutan tanaman dan dapat berpindah secara sistematis dalam jaringan pengangkutan tanaman tersebut. Jaringan angkut yang terserang warnanya menjadi kehitaman yang dapat dilihat sebagai garis hitam pada luka atau bisa juga diamati dengan memotong secara melintang pada batang daun atau pada batang yang terkena infeksi. Busuk hitam juga dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak. Bakteri banyak terdapat pada seresah dari tanaman yang terinfeksi, tetapi akan mati jika serasah tadi melapuk. Bakteri ini juga terdapat pada tanaman kubis – kubisan yang lain dan tanaman rumput-rumputan serta dapat pula terbawa benih. Suhu serta curah hujan yang tinggi sangat sesuai untuk perkembangan busuk hitam. Bakteri ini berada pada tetesan butir air dari tanaman yang terluka serta dapat menyebar ke seluruh tanaman melalui manusia ataupun peralatan yang sering bergerak melintasi lahan saat kondisi tanaman sedang basah.Pengendalian dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman yang bukan jenis kubis – kubisan, sehingga akan memberikan waktu yang cukup bagi seresah dari tanaman kubis – kubisan untuk melapuk. Lalu menggunakan benih bebas hama dan penyakit yang dihasilkan di iklim yang kering. Hindari untuk bekerja di lahan saat daun tanaman basah. Tanamlah varietas kubis yang tahan terhadap busuk hitam. Penyemprotan bakterisida Kocide 77WP sangat dianjurkan , terutama untuk budidaya di musim penghujan.
Clubroot
Clubroot atau Akar Gada merupakan penyakit terpenting pada tanaman kubis – kubisan yang disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae. Penyakit ini menyebar merata diseluruh areal pertanaman kubis di seluruh dunia; sering dijumpai pada daerah dataran rendah dan dataran tinggi . Hampir seluruh tanaman kubis-kubisan sangat rentan terserang akar gada. Kubis, sawi putih, dan Brussels sprout sangat rentan terkena akar gada. Gejalanya adalah pembesaran akar halus dan akar sekunder yang membentuk seperti gada. Bentuk gadanya melebar di tengah dan menyempit di ujung. Akar yang telah terserang tidak dapat menyerap nutrisi dan air dari tanah sehingga tanaman menjadi kerdil dan layu jika air yang diberikan untuk tanaman agak sedikit. Bagian bawah tanaman menjadi kekuningan pada tingkat lanjut serangan penyakit. Spora dapat bertahan di tanah selama 10 tahun, dan bisa juga terdapat pada rumput – runputan. Penyakit ini bisa menyebar melalui tanah, dalam air tanah, ataupun dari tanaman yang sudah terkena. Penyakit ini menyukai tanah yang masam dan serangan dapat terjadi pada suhu antara 10 dan 32oC. Penyakit ini memiliki berbagai bentuk gejala serangan sehingga mendorong untuk memuliakan tanaman yang tahan terhadap penyakit ini.
Pengendalian dilakukan dengan Penggunaan bibit yang bebas hama dan penyakit sangatlah penting dalam budidaya tanaman ini. Pergiliran tanaman kurang sesuai diterapkan untuk kasus ini karena sporanya dapat bertahan lama serta gulma yang dapat menyebabkan penyakit ini. Pengapuran tanah untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 sangat efektif untuk mengurangi perkembangan penyakit. Penyiraman fungisida Promefon 250EC pada lubang tanam yang dicampur dengan air saat tanam juga dapat mengurangi perkembangan penyakit. Tanaman yang taha haruslah diuji di beberapa lokasi karena jenis serangannya yang berbeda-beda di setiap lokasi.
• Tanaman Timun-timunan
Alternaria Leaf Spot
Penyakit bercak ternyata tidak hanya menyerang tanaman kubis maupun cabai saja namun juga pada tanaman yang tergolong timun – timunan. Penyakit bercak pada timun ini disebabkan jamur Alternaria cucumerina. Biasanya, penyakit ini menyerang hanya satu jenis tanaman saja. Tanaman dapat terserang pada berbagi fase pertumbuhan. Serangan pada bibit tanaman dapat menyebabkan mati atau kerdil. Sedangkan pada tanaman yang lebih tua akan layu pada tengah hari pada beberapa waktu, kemudian layu untuk seterusnya dan akhirnya mati. Jaringan angkut tanaman menjadi kuning atau coklat. Penyakit ini dapat bertahan di tanah untuk jangka waktu lama. Penyakit ini bisa berpindah dari satu lahan ke lahan lain melalui mesin – mesin pertanian, seresah daun yang telah terserang, dan air irigasi. Suhu tanah yang tinggi sangat sesuai untuk perkembangan penyakit ini. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan : menggunakan varietas yang tahan. Menghindari penanaman di lahan yang telah diketahui mengandung penyakit ini. Serta mencuci peralatan saat berpindah dari lahan satu ke lahan lainnya. Lahan yang tergenangi untuk padi dapat mengurangi keberadaan penyakit di tanah. Apabila terlanjur ada serangan, dianjurkan untuk menyemprot fungisida Promefon 250EC bergantian dengan Victory 80WP.
Fusarium Wilt
Layu fusarium merupakan penyakit yang sering menyerang tanaman famili timun – timunan. Penyebabnya adalah Fusarium oxysporum f.sp. cucumerinum pada mentimun, F. oxysporum f.sp. melonis pada melon cantaloupe; dan F. oxysporum f.sp. niveum pada semangka. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia, namun beberapa jenis terdapat hanya pada lokasi tertentu saja. Seperti halnya penyakit alternaria, penyakit ini hanya menyerang satu jenis tanaman saja. Tanaman yang terserang bisa terjadi pada berbagai tahap pertumbuhan. Mulai dari bibit hingga tanaman tua. Baik saat bibit maupun tanaman dewasa , serangan penyakit ini dapat meyebabkan layu yang akhirnya mati. Tandanya dapat dilihat pada jaringan angkut tanaman yang berubah warna menjadi kuning atau coklat.Penyakit ini dapat bertahan di tanah untuk jangka waktu lama dan bisa berpindah dari satu lahan ke lahan lain melalui mesin – mesin pertanian, seresah daun yang telah terserang, maupun air irigasi. Suhu tanah yang tinggi sangat sesuai untuk perkembangan penyakit ini. Adapun pengendalian nya dapat dilakukan dengan : menggunakan varietas yang tahan bila memungkinkan. Hindari lahan yang telah diketahui mengandung penyakit ini. Cucilah peralatan saat berpindah dari lahan satu ke lahan lainnya. Lahan yang tergenangi untuk padi dapat mengurangi keberadaan penyakit di tanah.
Downy Mildew
Downy Mildew termasuk penyakit yang paling merusak pada tanaman timun-timunan yang disebabkan oleh jamur Pseudoperonospora cubensis. Penyakit ini banyak terdapat pada mentimun dan melon, tetapi sesekali menyerang dapat merusak seluruh tanaman timun-timunan. Gejala yang timbul biasanya terjadi pada daun yang berupa bercak kekuningan yang berubah dari kecoklatan menjadi coklat tua. Saat kelembaban tinggi, timbulnya spora menjadi bukti pada bagian bawah daun yang luka dimana spora tadi masuk ke dalam daun melalui stomata dan menghasilkan spora yang berwarna. Penyakit ini merupakan parasit yang dapat berada pada tanaman yang dibudidayakan, tanaman local / induk, ataupun jenis timun-timunan yang liar di daerah tropis dan subtropics.
Spora yang terbawa oleh udara atau percikan air hujan menjadi penyebab utama penyebaranya. Selain itu, adanya perbedaan suhu yang tinggi ditambah dengan kelembaban yang tinggi dari embun , kabut, atau hujan mempengaruhi pesatnya penyebaran sporanya. Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan varietas yang tahan bila ada. Penyemprotan fungisida Starmyl 25WP dicampur Victory 80WP sangat dianjurkan jika tidak ada varietas yang tahan dan guna mencegah serta mengendalikan penyakit agar tidak meluas.
Late Blight
Busuk Daun atau Late Blight merupakan penyakit busuk pada tanaman tomat yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans. Penyakit ini ditemukan di iklim sedang dan daerah datarn tinggi tropis. Penyakit late blight ini tidak hanya menyerang bagian daun saja melainkan juga batang serta buahnya. Pada bagain daun serangan ditandai dengan munculnya potongan – potongan kecil yang tidak beraturan dan berair serta menutupi bagian terbesar daun. Pembentukan spora jamur dapat dilihat pada sisi bawah daun dan berwarna putih. Kemudian luka mengering dan menjadi coklat. Akhirnya terjadi bercak pada seluruh daun. Pada bagian batang penyakit ini ditandai dengan muncul luka – luka kecil yang tidak beraturan dan berair dan dapat mematikan bagian batang dan tangkai daun yang terserang, atau menempel, dan membentuk luka berwarna coklat tua. Sedangkan pada bagian buahnya ditunjukkan dengan permukaan halus, kehijauan hingga coklat, bagian yang memiliki bentuk tidak beraturan tersebut membuat buah menjadi kasar dan permukaan buah menjadi ulet. Luka dapat melebar pada seluruh buah.
Daun yang basah dalam waktu yang lama dari seringnya hujan atau embun, serta kondisi suhu dingin hingga sedang merupakan kondisi yang sesuai untuk perkembangan penyakit ini. Adanya cuaca yang kering dan panas dapat menghentikan perkembangan penyakit ini.
Jamur penyebab penyakit busuk daun dapat bertahan pada tanaman tomat dan kentang terutama pada umbi kentang. Tetapi tidak dapat bertahan pada jaringan yang melapuk. Spora menyebar melalui angin dan percikan air hujan. Air yang berada di permukaan tanaman pun bisa menyebabkan perkecambahan dan penyerangan spora. Pengendalian dapat dilakukan dengan memberikan fungisida seperti Starmyl 25WP (Metalaksil), Victory 80WP (Mancozeb), Kocide 77WP (tembaga hidroksida). Gunakan tanaman yang bebas hama dan penyakit. Hindari penanaman tomat dekat lahan kentang atau lahan yang sebelumnya pernah ditanami kentang. Bakar seresah tanaman tomat atau kentang yang terinfeksi. Beberapa tanaman memiliki ketahanan terhadap jenis 0, tapi tidak tahan terhadap jenis 1.
Bacterial Wilt
Seperti halnya pada tanaman cabe, penyakit layu bakteri juga bisa menyerang tanaman tomat. Namun, penyebabnya adalah Ralstonia solanacearum, yang sebelumnya dikenal dengan Pseudomonas solanacearum. Serangan paling parah terdapat di daerah tropis dan subtropics dengan curah hujan tinggi. Penyakit layu bakteri menyerang hanya pada beberapa kelompok tanaman saja. Gejala awal ditunjukkan berupa layu pada daun – daun pucuk, dua hari kemudian layu mendadak dan permanent. Akar adventis dapat berkembang pada batang utama. Gejala tambahan berupa pencoklatan pada jaringan pembuluh, jaringan gabus berair dan diikuti pencoklatan dan kemudian pecoklatan jaringan kortek yang dekat dengan tanah. Aliran masa bakteri dapat dilihat ketika potongan batang yang masih segar dicelupkan dalam air.
Diantara beberapa tanaman hortikultura yang ada, tomat merupakan tanaman yang paling peka terhadap penyakit ini. Bakteri penyebab layu ini ternyata dapat bertahan di dalam tanah dalam waktu yang lama meskipun tanpa adanya tanaman inang. Bakteri ini menembus akar melalui luka, yang dapat disebabkan oleh serangga, nematode dan luka akibat praktek budidaya. Suhu dan kelembaban tanah yang tinggi sangat kondusif / cocok untuk pertumbuhan penyakit ini. Hingga saat ini belum ada pengendalian secara kimiawi yang effektif . Namun untuk pencegahan sebaiknya sebelum tanam, perlu dilakukan sterilisasi tanah atau pengasapan bedengan. Pergiliran system tanam dengan tanaman tahan kurang berhasil, namun demikian pergiliran dengan tanaman padi dapat mengurangi gejala sengan penyakit layu bakteri. Varietas yang toleran dapat bertahan hingga 70 – 80%. Gunakan bedengan yang tinggi agar drainase dapat berjalan baik. Menjaga tanah agar tetap pada pH 5.5 atau lebih tinggi. Hindari penggunaan lahan yang telah terinfeksi oleh nematode.
Blossom End Rot
Busuk Ujung Buah atau Blossom End Rot juga termasuk penyakit penting pada tanaman tomat terutama di musim hujan. Penyakit ini ditandai dengan adanya luka berwarna kecoklatan sampai coklat tua pada bagian ujung buah yang nampak cekung. Luka tersebut membesar dan menjadi lebih cekung dan kulit mengelupas, kemudian diikuti oleh busuk kering. Jamur berwarna hitam tumbuh pada permukaan yang luka. Busuk ujung buah bukanlah disebabkan oleh penyakit namun lebih disebabkan oleh kekurangan unsur kalsium. Kondisi musim hujan yang ada berdampak pada berkurangnya serapan unsur kalsium pada tanaman tomat antara lain sehingga menimbulkan fluktuasi kelembaban tanah maupun kemasaman tanah, penggunaan nitrogen dalam bentuk ammonium, pemupukan nitrogen yang berlebihan, kelembaban relatif yang tinggi dan kerusakan akar. Yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan. Agar tidak terjadi hal seperti ini maka dianjurkan : menggunakan varietas yang lebih tahan terhadap penyakit ini. Jika perlu, berikan kapur atau pemupukan kalsium sebelum tanam. Irigasi selama cuaca kering dan gunakan mulsa agar kelembaban tanah tempat tumbuh tanaman konstan. Perawatan tanaman harus hati – hati untuk mengurangi resiko kerusakan akar. Hindari penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan, khususnya dalam bentuk ammonium. Hindari pula lahan yang sulit diairi atau yang mempunyai tingkat kemasaman tinggi. Penyemprotan pupuk mikro FItomic setiap minggu mulai awal pembentukan buah sangat mengurangi timbulnya penyakit ini.