Daun
dan buah kelor yang masih muda biasa disayur di Bali, sayur kelor ini
sangat sering dijumpai terutama di lingkungan pedesaan, semenjak jaman
dahulu tanaman kelor ini tidak saja dijadikan sebagai sayur, melainkan
juga sebagai tanaman obat. Misalnya jika ada luka memar karena terkena
benda tumpul, maka daun kelor ditumbuk halus kemudian dibalurkan pada
luka memar tersebut dan hasilnya cepat sembuh.
Tanaman kelor merupakan perdu dengan tinggi sampai 10 meter, berbatang lunak dan rapuh, dengan daun sebesar ujung jari berbentuk bulat telur dan tersusun majemuk. Tanaman ini berbunga sepanjang tahun berwarna putih, buah besisi segitiga dengan panjang sekitar 30 cm, tumbuh subur mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Menurut sejarahnya, tanaman kelor atau marongghi (Moringa oleifera), berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian menyebar ke kawasan di sekitarnya sampai ke Benua Afrika dan Asia-Barat.Bahkan, di beberapa negara di Afrika, seperti di Etiopia, Sudan, Madagaskar, Somalia, dan Kenya, sekarang mulai dikembangkan pula di Arab Saudi dan Israel, menjadi bagian untuk program pemulihan tanah kering dan gersang, karena sifat dari tanaman ini mudah tumbuh pada tanah kering ataupun gersang, dan kalau sudah tumbuh maka lahan di sekitarnya akan dapat ditumbuhi oleh tanaman lain yang lebih kecil, sehingga pada akhirnya pertumbuhan tanaman lain akan cepat terjadi.
Di Indonesia, khususnya di pedesaan, tanaman kelor dimanfaatkan sebagai tanaman pagar hidup, batas tanah ataupun penjalar tanaman lain. Pemanfaatan lain: daun, bunga serta buah muda sebagai sayuran, sudah sejak lama dilakukan. Sebagai tanaman berkhasiat obat, tanaman kelor mulai dari akar, batang, daun, dan bijinya, sudah dikenal sejak lama di lingkungan pedesaan.
(1) Akar kelor dan kulit akar pepaya digiling-dihancurkan, digunakan untuk obat luar (balur) penyakit beri-beri dan sebangsanya.
(2) Daun kelor ditambah dengan kapur sirih, juga merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan.
(3) Sebagai obat dalam, air rebusan akar ampuh untuk obat rematik, epilepsi, antiskorbut, diuretikum, sampai ke obat gonorrhoea.
(4) Biji tua bersama dengan kulit jeruk dan buah pala, akan dapat menjadi “spiritus moringae compositus” yang digunakan sebagai stimulans, stomachikum, carminativum sampai diuretikum.
Sejak awal tahun 1980-an Jurusan Teknik Lingkungan ITB, melaukan penelitian biji kelor untuk penjernihan air permukaan (air kolam, air sungai, air danau sampai ke air sungai) sebagai pengendap (koagulans) dengan hasil yang memuaskan. Rangkaian penelitian manfaat tanaman kelor mulai dari daun, kulit batang, buah sampai bijinya. Fokus penelitian ditujukan kepada program pengadaan air jernih untuk para pemukim di kawasan pantai atau pesisir, khususnya di kawasan transmigrasi yang mengandalkan air payau atau air gambut berwarna kecoklatan sebagai sumber air minum.
Rasa air gambut yang pahit dan warna kecoklatan, tentu saja tidak memenuhi syarat sebagai air minum. Bahkan, air gambut yang digunakan untuk mencuci pakaian pun yang berwarna putih justru akan berubah menjadi kecoklatan. Maka dengan sistem penyaringan sederhana ditambah dengan pengendap yang berasal dari serbuk atau tumbukan biji kelor, pada akhirnya akan menjadi air jernih, walau belum bersih. Sehingga untuk air minum harus dilakukan perlakuan, antara lain dimasak terlebih dahulu.
Di lingkungan pedesaan, penanaman kelor yang paling umum cukup dengan cara stek batang tua atau cukup tua, yang langsung ditancapkan ke dalam tanah, apakah sebagai batas tanah, pagar hidup ataupun batang perambat. Walau semaian biji tua dapat dijadikan bibit, umumnya jarang dipergunakan. Disamping itu, manfaat lain dari batang bersama daun kelor, umumnya digunakan sebagai “alat” untuk melumerkan atau menon-aktifkan “kekuatan magis” seseorang, yaitu dengan cara disapu-sapukan ke bagian muka ataupun dijadikan “alat tidur”, misal seseorang yang tahan terhadap pukulan, bacokan, bahkan tidak mempan oleh terjangan peluru, maka dengan cara disapu-sapukan ke bagian tubuhnya, ataupun dijadikan alas tidurnya, atau ada pula air tanaman kelor disiramkan ke seluruh tubuhnya, maka kekuatan magis tubuhnya akan lumer atau hilang. Hal yang sama juga kepada orang tua, umumnya pada zaman dulu yang memiliki “ajimat” sehingga kalau mau meninggal akan susah sekali, maka dengan menggunakan tanaman kelor, akan dapat dibantu untuk memudahkan kematiannya tersebut.
Pengalaman di Benua Afrika
Laporan hasil penelitian pemanfaatan tanaman kelor untuk penghijauan & penahan penggurunan di Etiopia, Somalia, dan Kenya oleh tim Jerman (Journal Berkala Institute for Scientific Cooperation, Tubingen, 1993). Di Etiopia, Somalia, dan Sudan sejak lama penduduknya mempunyai tradisi menanam pohon kelor, sebagai bahan sayuran, bahan baku obat-obatan, juga untuk diperdagangkan.
Seperti di Lembah Rift untuk lahan seluas satu hektar hanya ditanam 30-50 batang, karena di antara pohon kelor tersebut ditanam pula tanaman lainnya penghasil pangan, seperti sorgum, jagung, serta sayuran, khususnya kacang-kacangan. Tanaman kelor memiliki kemampuan menyerap air tanah walau dari kandungan yang sangat minim hingga tanah menjadi lembab, tanaman lainnya akan ikut menjadi tumbuh subur. Kelor yang sudah besar dan tinggi, akan berfungsi pula sebagai pohon lindung ataupun pohon rambatan.
Di kawasan Arba Minch dan Konso, pohon kelor digunakan sebagai tanaman untuk penahan longsor, konservasi tanah, dan terasering. Sehingga pada musim hujan walau dalam jumlah yang paling minimal, jatuhan air hujan akan dapat ditahan oleh sistem akar kelor, dan pada musim kemarau “tabungan” air sekitar akar kelor akan menjadi sumber air bagi tanaman lain. Juga karena sistem akar kelor cukup rapat, bencana longsor jarang terjadi.
Di kawasan ini pun di antara pohon kelor juga dibudidayakan berbagai jenis tanaman, antara lain jagung dan sorgum, juga sayuran. Jenis budidaya yang juga dilakukan adalah tanaman industri seperti kopi, kapas, lada, dan tebu. Sangat unik adalah kebiasaan penduduk sekitar Arba Minch yang memiliki lahan terbatas, sekitar 0,1 ha atau 1.000 meter persegi, atau hanya ratusan bahkan puluhan meter persegi saja, pohon kelor hanya dijadikan pagar hidup, pembatas tanah ataupun pohon perambat sama seperti di Indonesia.
Akan tetapi hasilnya, kalau daunnya dapat langsung digunakan sebagai sayuran, maka bunganya akan tetap dipelihara hingga menjadi buah dan menghasilkan biji yang dapat dijual kepada perusahaan asing yang memerlukan untuk pembuatan tepung atau minyak sebagai bahan baku pembuatan obat dan kosmetik bernilai tinggi.
Budidaya tanaman kelor sederhana dan mudah, minim pupuk seandainya memupuk cukup dengan pupuk kompos dan jarang diserang hama (oleh serangga) ataupun penyakit (oleh mikroba). Pupuk yang baik justru beraal juga dari tanaman kacang2an yang mengandung bintil akar misal kacang hijau, kacang kedelai ataupun kacang panjang yang ditanamkan sekitar pohon kelor. Juga pengalaman panjang secara tradisi penggunaan tanaman kelor sebagai bahan berkhasiat obat di kawasan tersebut adalah bahwa akarnya sangat baik untuk pengobatan malaria, mengurangi rasa sakit, penurun tekanan darah tinggi, dan sebagainya, sedang daunnya untuk penurun tekanan darah tinggi, diare, diabetes melitus (kencing manis), dan penyakit jantung.
Perlu untuk diketengahkan manfaat biji kelor yang sudah mulai dikembangkan melalui Program UNDP, yaitu sebagai bahan pengendap/koagulator untuk menjernihkan air secara cepat, murah dan aman, seperti di ITB.
Yaitu dengan nilai pH yang berbeda, maka antara 100-150 mg bubuk/serbuk/liter air, memberikan hasil turbiditas tinggi pada air (800-10.000 FTU), kalau dibandingkan dengan koagulan umum seperti Al2(SO4)3 yang baru efektif pada pH 7 saja.
Juga kandungan senyawa yang terdapat pada serbuk biji kelor memiliki sifat antimikroba, khususnya terhadap bakteri. Sehingga kalaupun di dalam air terdapat bakteri Coli (salah satu yang disyaratkan tidak terdapat di dalam air minum), akan tereduksi atau mati. Serta, menurut perhitungan yang sudah diuji coba oleh tim ahli dari UNDP, maka kebutuhan biji kelor untuk pengolahan air minum di kawasan pantai atau rawa, cukup 2-3 pohon dewasa selama setahun dengan keluarga sebanyak 6-8 orang, dengan perhitungan kebutuhan air sekitar 20 l/hari/ jiwa.
Tanaman kelor merupakan perdu dengan tinggi sampai 10 meter, berbatang lunak dan rapuh, dengan daun sebesar ujung jari berbentuk bulat telur dan tersusun majemuk. Tanaman ini berbunga sepanjang tahun berwarna putih, buah besisi segitiga dengan panjang sekitar 30 cm, tumbuh subur mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Menurut sejarahnya, tanaman kelor atau marongghi (Moringa oleifera), berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian menyebar ke kawasan di sekitarnya sampai ke Benua Afrika dan Asia-Barat.Bahkan, di beberapa negara di Afrika, seperti di Etiopia, Sudan, Madagaskar, Somalia, dan Kenya, sekarang mulai dikembangkan pula di Arab Saudi dan Israel, menjadi bagian untuk program pemulihan tanah kering dan gersang, karena sifat dari tanaman ini mudah tumbuh pada tanah kering ataupun gersang, dan kalau sudah tumbuh maka lahan di sekitarnya akan dapat ditumbuhi oleh tanaman lain yang lebih kecil, sehingga pada akhirnya pertumbuhan tanaman lain akan cepat terjadi.
Di Indonesia, khususnya di pedesaan, tanaman kelor dimanfaatkan sebagai tanaman pagar hidup, batas tanah ataupun penjalar tanaman lain. Pemanfaatan lain: daun, bunga serta buah muda sebagai sayuran, sudah sejak lama dilakukan. Sebagai tanaman berkhasiat obat, tanaman kelor mulai dari akar, batang, daun, dan bijinya, sudah dikenal sejak lama di lingkungan pedesaan.
(1) Akar kelor dan kulit akar pepaya digiling-dihancurkan, digunakan untuk obat luar (balur) penyakit beri-beri dan sebangsanya.
(2) Daun kelor ditambah dengan kapur sirih, juga merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan.
(3) Sebagai obat dalam, air rebusan akar ampuh untuk obat rematik, epilepsi, antiskorbut, diuretikum, sampai ke obat gonorrhoea.
(4) Biji tua bersama dengan kulit jeruk dan buah pala, akan dapat menjadi “spiritus moringae compositus” yang digunakan sebagai stimulans, stomachikum, carminativum sampai diuretikum.
Sejak awal tahun 1980-an Jurusan Teknik Lingkungan ITB, melaukan penelitian biji kelor untuk penjernihan air permukaan (air kolam, air sungai, air danau sampai ke air sungai) sebagai pengendap (koagulans) dengan hasil yang memuaskan. Rangkaian penelitian manfaat tanaman kelor mulai dari daun, kulit batang, buah sampai bijinya. Fokus penelitian ditujukan kepada program pengadaan air jernih untuk para pemukim di kawasan pantai atau pesisir, khususnya di kawasan transmigrasi yang mengandalkan air payau atau air gambut berwarna kecoklatan sebagai sumber air minum.
Rasa air gambut yang pahit dan warna kecoklatan, tentu saja tidak memenuhi syarat sebagai air minum. Bahkan, air gambut yang digunakan untuk mencuci pakaian pun yang berwarna putih justru akan berubah menjadi kecoklatan. Maka dengan sistem penyaringan sederhana ditambah dengan pengendap yang berasal dari serbuk atau tumbukan biji kelor, pada akhirnya akan menjadi air jernih, walau belum bersih. Sehingga untuk air minum harus dilakukan perlakuan, antara lain dimasak terlebih dahulu.
Di lingkungan pedesaan, penanaman kelor yang paling umum cukup dengan cara stek batang tua atau cukup tua, yang langsung ditancapkan ke dalam tanah, apakah sebagai batas tanah, pagar hidup ataupun batang perambat. Walau semaian biji tua dapat dijadikan bibit, umumnya jarang dipergunakan. Disamping itu, manfaat lain dari batang bersama daun kelor, umumnya digunakan sebagai “alat” untuk melumerkan atau menon-aktifkan “kekuatan magis” seseorang, yaitu dengan cara disapu-sapukan ke bagian muka ataupun dijadikan “alat tidur”, misal seseorang yang tahan terhadap pukulan, bacokan, bahkan tidak mempan oleh terjangan peluru, maka dengan cara disapu-sapukan ke bagian tubuhnya, ataupun dijadikan alas tidurnya, atau ada pula air tanaman kelor disiramkan ke seluruh tubuhnya, maka kekuatan magis tubuhnya akan lumer atau hilang. Hal yang sama juga kepada orang tua, umumnya pada zaman dulu yang memiliki “ajimat” sehingga kalau mau meninggal akan susah sekali, maka dengan menggunakan tanaman kelor, akan dapat dibantu untuk memudahkan kematiannya tersebut.
Pengalaman di Benua Afrika
Laporan hasil penelitian pemanfaatan tanaman kelor untuk penghijauan & penahan penggurunan di Etiopia, Somalia, dan Kenya oleh tim Jerman (Journal Berkala Institute for Scientific Cooperation, Tubingen, 1993). Di Etiopia, Somalia, dan Sudan sejak lama penduduknya mempunyai tradisi menanam pohon kelor, sebagai bahan sayuran, bahan baku obat-obatan, juga untuk diperdagangkan.
Seperti di Lembah Rift untuk lahan seluas satu hektar hanya ditanam 30-50 batang, karena di antara pohon kelor tersebut ditanam pula tanaman lainnya penghasil pangan, seperti sorgum, jagung, serta sayuran, khususnya kacang-kacangan. Tanaman kelor memiliki kemampuan menyerap air tanah walau dari kandungan yang sangat minim hingga tanah menjadi lembab, tanaman lainnya akan ikut menjadi tumbuh subur. Kelor yang sudah besar dan tinggi, akan berfungsi pula sebagai pohon lindung ataupun pohon rambatan.
Di kawasan Arba Minch dan Konso, pohon kelor digunakan sebagai tanaman untuk penahan longsor, konservasi tanah, dan terasering. Sehingga pada musim hujan walau dalam jumlah yang paling minimal, jatuhan air hujan akan dapat ditahan oleh sistem akar kelor, dan pada musim kemarau “tabungan” air sekitar akar kelor akan menjadi sumber air bagi tanaman lain. Juga karena sistem akar kelor cukup rapat, bencana longsor jarang terjadi.
Di kawasan ini pun di antara pohon kelor juga dibudidayakan berbagai jenis tanaman, antara lain jagung dan sorgum, juga sayuran. Jenis budidaya yang juga dilakukan adalah tanaman industri seperti kopi, kapas, lada, dan tebu. Sangat unik adalah kebiasaan penduduk sekitar Arba Minch yang memiliki lahan terbatas, sekitar 0,1 ha atau 1.000 meter persegi, atau hanya ratusan bahkan puluhan meter persegi saja, pohon kelor hanya dijadikan pagar hidup, pembatas tanah ataupun pohon perambat sama seperti di Indonesia.
Akan tetapi hasilnya, kalau daunnya dapat langsung digunakan sebagai sayuran, maka bunganya akan tetap dipelihara hingga menjadi buah dan menghasilkan biji yang dapat dijual kepada perusahaan asing yang memerlukan untuk pembuatan tepung atau minyak sebagai bahan baku pembuatan obat dan kosmetik bernilai tinggi.
Budidaya tanaman kelor sederhana dan mudah, minim pupuk seandainya memupuk cukup dengan pupuk kompos dan jarang diserang hama (oleh serangga) ataupun penyakit (oleh mikroba). Pupuk yang baik justru beraal juga dari tanaman kacang2an yang mengandung bintil akar misal kacang hijau, kacang kedelai ataupun kacang panjang yang ditanamkan sekitar pohon kelor. Juga pengalaman panjang secara tradisi penggunaan tanaman kelor sebagai bahan berkhasiat obat di kawasan tersebut adalah bahwa akarnya sangat baik untuk pengobatan malaria, mengurangi rasa sakit, penurun tekanan darah tinggi, dan sebagainya, sedang daunnya untuk penurun tekanan darah tinggi, diare, diabetes melitus (kencing manis), dan penyakit jantung.
Perlu untuk diketengahkan manfaat biji kelor yang sudah mulai dikembangkan melalui Program UNDP, yaitu sebagai bahan pengendap/koagulator untuk menjernihkan air secara cepat, murah dan aman, seperti di ITB.
Yaitu dengan nilai pH yang berbeda, maka antara 100-150 mg bubuk/serbuk/liter air, memberikan hasil turbiditas tinggi pada air (800-10.000 FTU), kalau dibandingkan dengan koagulan umum seperti Al2(SO4)3 yang baru efektif pada pH 7 saja.
Juga kandungan senyawa yang terdapat pada serbuk biji kelor memiliki sifat antimikroba, khususnya terhadap bakteri. Sehingga kalaupun di dalam air terdapat bakteri Coli (salah satu yang disyaratkan tidak terdapat di dalam air minum), akan tereduksi atau mati. Serta, menurut perhitungan yang sudah diuji coba oleh tim ahli dari UNDP, maka kebutuhan biji kelor untuk pengolahan air minum di kawasan pantai atau rawa, cukup 2-3 pohon dewasa selama setahun dengan keluarga sebanyak 6-8 orang, dengan perhitungan kebutuhan air sekitar 20 l/hari/ jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar