Kamis, 15 Desember 2011

Kotoran Manusia Sebagai Bahan Penyubur Tanah


Oleh: Patrick Mwalukisa dan Santaran S. Oinam *

Pemanfaatan feses sebagai pupuk bahkan sudah dimulai sejak tahun 1908 di Cina. Saat itu, Dewan Kota Shanghai menjual hak mengumpulkan feses kepada seorang pengusaha Cina seharga 31.000 keping emas. Feses seberat 78.000 ton dikumpulkan dengan prosedur khusus, untuk dibawa ke pedesaan dan dijual sebagai pupuk kepada petani. Pemanfaatan feses juga terjadi di Jepang pada masa itu. Jumlah total yang diaplikasikan di seluruh tanah pertanian Jepang bahkan mencapai 23.850.295 ton, atau rata-rata 1,75 ton per 4.000 meter persegi lahan.

Praktik ini juga dilakukan sejak dulu di Vietnam Utara. Petani biasa memanfaatkan feses segar untuk memupuk sawah mereka. Praktik ini memang kurang sehat sebab berisiko menularkan penyakit. Karena itu, tahun 1956 Dinas Kesehatan setempat memulai kampanye penggunaan “jamban kering dengan dua penampungan”. Pemakaian jamban ini dimaksudkan agar bakteri patogen yang ada dalam feses mati sebelum diaplikasikan sebagai pupuk. Kampanye ini diikuti program pendidikan kesehatan yang dilaksanakan terus menerus dalam jangka panjang.

Sumber Daya Terbatas dan Sulitnya Akses
Pemanfaatan feses sebagai bahan penyubur tanah (lihat Kotak 1) adalah solusi efektif bagi daerah bersumber daya terbatas dan sulit memperoleh input pertanian. Alasan ini juga yang mendorong masyarakat di Lembah Lahaul, Pegunungan Himalaya, India, untuk membuat kompos dari kotoran manusia. Selain lokasi desa yang sangat terpencil, iklim yang tak bersahabat juga membuat petani di sana mengembangkan cara budi daya yang unik.
Kotak 1. Menyempurnakan Daur Makan di Alam
Feses yang sudah menjadi kompos atau humus memberikan beberapa efek positif ketika diaplikasikan ke tanah. Ia adalah bahan pelembab tanah yang aman. Pupuk ini mampu meningkatkan kemampuan tanah mengikat air dan meningkatkan kesehatan tanaman lewat kandungan unsur hara yang dimilikinya. Pupuk feses sedikit berbeda dibanding kompos. Ia berwarna lebih terang dan partikelnya lebih besar. Pupuk feces yang sudah jadi tidak akan menarik datangnya lalat dan menyebabkan polusi karena tidak berbau.

Ketidaksuburan tanah merupakan hambatan besar bagi pertanian berkelanjutan di daerah ini. Lapisan humusnya hilang dan unsur hara banyak tercuci akibat tingginya curah salju, salju longsor, tanah longsor, dan erosi. Rumput dan tanaman penutup tanah sulit tumbuh sehingga tidak mungkin memelihara ternak untuk menghasilkan pupuk kandang dalam jumlah cukup bagi pertanian. Tak ada jalan lain, petani harus menggunakan feses sebagai pupuk penyubur tanaman. Sebelum pemanfaatan ini memasyarakat, masalah terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menghilangkan rasa jijik.
Kini, tantangannya justru penggunaan jamban modern yang semakin populer. Jamban modern diperkenalkan karena jamban tradisional dianggap kurang sehat. Akibatnya petani kini kesulitan mendapat bahan baku sehingga jumlah petani yang mengaplikasikan pupuk feses makin berkurang.
Feses Sebagai Komoditas
Melintas benua, praktik ini juga dilakukan di sejumlah negara di Afrika. Tahun 1988 di Desa Mbebe, Distrik Ileje, Tanzania, dilaksanakan Ileje Food Crop Production, program hasil kerja sama pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Tujuan utamanya adalah mengajarkan metode pertanian efisien sumber daya kepada petani. Pemakaian pupuk organik diperkenalkan guna mendongkrak produksi serealia yang merosot dan dipersalahkan sebagai penyebab tingginya gizi buruk dan tingkat kematian di bawah 5 tahun.
Petani yang memiliki ternak membuat pupuk kandang, sementara yang tidak memiliki menggunakan pupuk hijau seperti orok-orok dan kompos. Salah satu petani lantas mencoba menggunakan feses sebagai pupuk. Ia menguras jambannya yang sudah berumur 3 tahun dan menggunakannya untuk memupuk tanaman jagung. Hasilnya ternyata baik. Petani mencatat kenaikan panen yang signifikan dari penggunaan feses sebagai pupuk.
Sejumlah petani yang melihat hasil ini, akhirnya tertarik untuk mencoba. Tahun berikutnya, jumlah petani yang menggunakan feses meningkat. Bahkan petani mulai membeli isi jamban lama sebesar 800—1.000 shilling Tanzania (sekitar Rp 10.000) per lubang. Feses pun menjadi sebuah komoditas berharga.
Pupuk Feses di Negara Barat
Tak hanya di negara Asia dan Afrika, pemanfaatan feses sebagai pupuk ternyata juga dilakukan di negara barat. Penduduk di sana menyebutnya sebagai jamban kompos. Konstruksi jamban yang khusus, memungkinkan dilakukannya “panen feses” setelah beberapa tahun. Model jamban kompos yang dipakai di Swedia disebut “clivus”, sementara di Norwegia dinamai “komidi putar”.
Sejumlah aplikasi lapangan ini tentunya menjadi bukti nyata bahwa feses memang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan penyubur tanah. Praktik ini ibarat “menyempurnakan” daur makan di alam. Alam menghasilkan bahan pangan, kita memakannya, dan kotoran kita kembalikan ke alam. Selain itu, faktor murah dan mudah didapat bisa dipertimbangkan sebagai keunggulan pupuk feses dibanding pupuk kimia.
Tantangan terbesar dari pemanfaatan feses sebagai pupuk adalah faktor kesehatan. Karena itu, rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai teknis penanganan pupuk feses yang aman bisa dijadikan bahan pembelajaran. Selain itu harus dipastikan bahwa bakteri patogen di dalam feses sudah mati. Sejumlah faktor yang bisa mematikan bakteri patogen bisa dilihat di Kotak 2.
Kotak 2. Panduan WHO Mengenai Penanganan Pupuk Feses yang Aman
Jika feses dan bahan organik lain diproses menjadi kompos pada suhu ruang, hasil akhir proses tersebut tidak berbau dan baik dipakai sebagai bahan penyubur tanah. Untuk meminimalkan risiko kesehatan dari penggunaan feses, WHO mengeluarkan sejumlah rekomendasi.
Jika sulit mencapai suhu tinggi pada penyimpanan/penimbunan, WHO merekomendasikan waktu simpan yang lebih lama. Penyimpanan selama satu setengah sampai dua tahun dengan suhu 2—20°C akan menghilangkan bakteri penyebab penyakit dan mengurangi virus serta protozoa parasit sampai di bawah tingkat berisiko.
WHO juga merekomendasikan langkah pencegahan untuk mengurangi risiko kesehatan. Ini mencakup pemakaian pelindung pribadi seperti sepatu bot, sarung tangan, masker, dan tidak menggunakan peralatan yang dipakai menangani feses untuk keperluan lain. Selain itu, anak-anak harus dijauhkan dari tempat penyimpanan, pemrosesan, atau lokasi penggunaan pupuk.
Pupuk feses sebaiknya diberikan dengan cara “aplikasi dekat tanah”. Maksudnya, pupuk dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditimbuni tanah sampai tertutup rapat.
Terakhir WHO menyebutkan bahwa kebersihan rumah dan pribadi sangat penting. Selain menerapkan teknologi yang tepat, masyarakat juga perlu melakukan praktik kebersihan yang baik. Jika rekomendasi ini diikuti maka secara umum risiko bagi masyarakat yan mengumpulkan dan mengunakan feses (maupun yan mengonsumsi produk hasil pemupukan) akan dikurangi sampai tingkat aman.


Teknik Pengolahan Feses Menjadi Pupuk
Secara garis besar, ada tiga teknik pengolahan feses yang memberikan hasil kurang lebih sama.
1. Pengeringan
Feses dipisahkan dari urine dan disimpan dalam penampungan sampai mengering. Urine juga bisa dipakai sebagai pupuk cair. Namun sebelum dipakai, urine harus disimpan dalam wadah tertutup selama kurang lebih enam bulan untuk mematikan bakteri patogen yang dikandungnya.
2. Pengomposan
Feses (dan urine) disimpan dalam penampungan dan dicampur dengan sampah rumah tangga, sampah kebun, atau bahan organik lain. Campuran ini akan mengalami pembusukan dan terurai. Setelah 6—8 bulan biasanya sudah bisa dipanen sebagai kompos.
3. Pengomposan dengan tanah
Feses (dan urine) disimpan dalam penampungan yang sudah diisi tanah terlebih dulu. Setiap ada tambahan feses segar, tumpukan baru ini ditimbun dengan tanah biasanya juga ditambahkan abu dapur. Setelah 3—4 bulan biasanya seluruh patogen pada feses sudah mati dan feses siap dipakai sebagai pupuk.


*) artikel dituliskan kembali oleh Shintia D. Arwida.
Santaram S. Oinam
G.B. Pant Institute of Himalayan Environment & Development, North-East
Unit, Vivek Vihar, Itanagar 791 113, Arunachal Pradesh, India. E-mail: oinamsantaram1@rediffmail.com
Patrick M. Mwalukisa
Kepala Departemen Pertanian Organisasi Pembangunan Perdesaan Ileje,
PO BOX 160 Ileje, Tanzania
Referensi:
-Drangert, J.O., 1998. Urine blindness and the use of nutrients from
human excreta in urban agriculture. GeoJournal, 45: 201-208.
-Jonsson, H., A.R. Stinzing, B. Vinneras, dan E. Salomon, 2004.
Guidelines on the Use of Urine and faeces in Crop Production.
EcoSanRes., 1-35.
-Kuniyal, J.C., S.C.R. Vishvakarma, dan G.S. Singh, 2004.
Changing crop biodiversity and resource use effi ciency of traditional
versus introduced crops in the cold desert of the northwestern
Indian Himalaya: a case of Lahaul valley.
Biodiversity and Conservation 13 (7): 1271-1304.
-Mashauri, D.A., M.A Senzia, 2002. Reuse of nutrients from ecological
sanitation toilets as a source of fertiliser.
(www.2.gtz.de/ecosan/download/CESMA2002-mashuari.pdf)
-Oinam, S.S., Y.S. Rawat, R.S. Khoiyangbam, K. Gajananda,
J.C. Kuniyal, dan S.C.R. Vishvakarma, 2005.
Land use and land cover changes in Jahlma watershed of the
Lahaul valley, cold desert region of the northwestern Himalaya, India.
Journal of Mountain Science, 2 (2): 129-136.
-Winbald U & Simpson-Hebert M (editors): Ecological sanitation-revised
and enlarged edition. SEI, Stockholm Sweden, 2004.
-Esrey, S.A, Andersson, I., Hillers, A., Sawyer, R. 2001.
Closing The Loop: Ecological sanitation for food security.
Publication on Water Resources No.18.
Swedish International Development Cooperation Agency.
-King, F.H.. 1911. Farmers of Forty Century.
Democrat Printing CO. Madison

Tidak ada komentar:

Posting Komentar