Selasa, 20 Desember 2011

Pangan Olahan Organik

Saat ini pangan organik tidak hanya diperdagangkan dalam bentuk segar saja, namun telah banyak pula diperdagangkan dalam bentuk olahan sehingga memberikan konsumen banyak pilihan bagi produk organik yang dikonsumsinya. Kegiatan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil merupakan salah satu tahapan produksi yang penting dalam pertanian organik. Dua kegiatan ini dilakukan untuk menghasilkan pangan organik yang berkualitas yang tetap terjaga status organiknya.
Pangan organik adalah pangan yang dihasilkan dari sistem pertanian organik, dari budidaya, pasca panen hingga pengolahan hasil. Pangan dapat dinyatakan organik apabila sistem produksi tersebut dijalankan dengan benar dan mengikuti kaidah-kaidah pangan organik.
Untuk menghasilkan pangan organik, perlu dilakukan budidaya, pasca panen, pengolahan, pelabelan hingga pemasaran yang memenuhi prinsip-prinsip pangan organik yang sesuai dengan SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik.
Penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pangan organik bertujuan untuk menjaga kualitas dan meningkatkan daya simpan produk, meningkatkan nilai tambah, menjaga kualitas pangan yang dihasilkan dan memberikan kemudahan bagi konsumen dengan tetap menjaga integritasnya sebagai pangan organik.
Keorganikan produk organik ditentukan oleh proses produksinya, dari lahan hingga produk akhir [from the farm to the table]. Integritas produk pangan organik harus tetap dijaga selama fase penanganan pasca panen dan pengolahan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan hati-hati untuk menghindari kontaminasi, meminimalkan pemurnian serta penggunaan aditif dan alat bantu pengolahan yang diizinkan. Ada dua hal yang berpotensi mempengaruhi keorganikan produk olahan organik. Pertama, mengenai kandungan bahan organik yang digunakan. Kedua, potensi kontaminasi akibat pencampuran dengan produk non organik dan bahan-bahan yang dilarang saat proses pengolahannya.
Produk pangan organik olahan harus terdiri dari bahan-bahan pangan yang dibudidayakan dan diolah secara organik. Jika menggunakan bahan tambahan, maka bahan tambahan tersebut harus bahan yang diijinkan digunakan dalam pengolahan pangan organik. Jika ingridien asal produk pertanian organik tidak tersedia, atau dalam jumlah tidak mencukupi, bahan pangan non organik dapat digunakan dalam pangan olahan organik maksimal 5 % dari total berat atau volume, tidak termasuk air dan garam. Artinya, standar hanya memperkenankan minimal 95% kandungan bahan pangan organik yang digunakan dalam pangan olahan organik, tidak termasuk air dan garam. Bahan pangan organik tersebut bukan merupakan campuran bahan pangan organik dan non organik yang sejenis.
Bahan baku organik berasal dari produsen yang telah disertifikasi organik. Hal ini diperlukan untuk mengetahui asal usul dan keorganikan bahan baku yang digunakan. Pada resep produk olahan, kita dapat menghitung prosentase kandungan bahan organik yang digunakan.
Pangan olahan organik wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan. Untuk menghasilkan pangan organik yang berkualitas, prosesor perlu menjaga integritas keorganikan produk dan memenuhi Cara Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Pangan Organik Yang Baik (Good Handling Practices-GHP & Good Manufacturing Practices-GMP for Organic Foods).
Melalui pendekatan GMP dan GHP, prosesor perlu mengidentifikasi titik kritis terjadinya potensi kontaminasi produk dari semua tahapan produksi yang dilakukan, baik kontaminasi secara fisik, kimia, mikrobiologi maupun potensi pencampuran dengan produk non organik dan bahan-bahan yang dilarang saat proses pengolahan produk organik. Setelah diidentifikasi, prosesor perlu membuat tindakan pencegahan dan tindakan perbaikan yang diperlukan untuk mencegah dan memperbaiki terjadinya kontaminasi keorganikan produk sekaligus memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan
Misalnya identifikasi potensi kontaminasi keorganikan produk saat pengangkutan bahan baku. Pemasok menggunakan kendaraan yang digunakan sebelumnya untuk mengangkut produk non organik. Tindakan pencegahannya, prosesor meminta pemasok menggunakan kendaraan khusus untuk produk organik, atau, pemasok diminta melakukan pembersihan kendaraan yang digunakan sebelum digunakan untuk mengangkut produk organik. Apabila kontaminasi teridentifikasi saat pengangkutan produk, tindakan yang dilakukan dengan tidak menerima bahan baku tersebut.
Pengendalian hama pada gudang dan area produksi dilakukan dengan menghilangkan habitat (sarang hama). Tindakan pencegahan ini menjadi cara utama untuk pengendalian hama. Namun, jika tindakan pencegahan tersebut dianggap tidak cukup, dilakukan pengendalian hama dengan menggunakan cara mekanis/fisik dan biologis seperti dengan penggunaan suara, pencahayaan, perangkat, pengendali suhu dan udara. Radiasi ion untuk pengendalian hama, pengawetan pangan, penghilangan patogen atau sanitasi, tidak diperbolehkan dilakukan pada produk pangan organik.
Metode pemrosesan bahan pangan harus dilakukan secara mekanis, fisik atau biologis (seperti fermentasi dan pengasapan) serta meminimalkan penggunaan ingridien dan aditif non-pertanian. Potensi kontaminasi keorganikan produk terjadi pada saat pengolahan. Misalnya prosesor mengolah produk organik dan non organik menggunakan peralatan di tempat produksi yang sama. Pencegahan yang dilakukan dengan memberikan prioritas untuk pengolahan produk organik dahulu kemudian selang beberapa saat dilanjutkan dengan pengolahan non organik. Peralatan yang digunakan perlu dibilas dengan air panas sebelum digunakan untuk pengolahan organik. Bila terjadi kontaminasi dan pencampuran produk, lot produksi yang bersangkutan harus dipisahkan dan tidak dapat diklaim sebagai produk organik.
Dalam pertanian organik, penggunaan bahan-bahan yang mengandung GMO tidak diperbolehkan dilakukan pada produk pangan organik. Penggunaan bahan kemasan sebaiknya dipilih dari bahan yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme (bio-degradable materials), bahan hasil daur-ulang (recycled materials), atau bahan yang dapat didaur-ulang (recyclable materials). Namun apabila bahan ini sulit didapat dan mahal, disarankan menggunakan kemasan berkualitas food grade. Selama penyimpanan, produk organik harus dilindungi setiap saat agar tidak tercampur dengan produk pangan non-organik dan tidak tersentuh bahan-bahan yang tidak diijinkan untuk digunakan dalam sistem produksi pertanian organik dan penanganannya. Jika hanya sebagian produk yang tersertifikasi organik, maka penyimpanannya dilakukan secara terpisah dan diidentifikasi secara jelas dengan produk non organik. Tempat penyimpanan dan kontainer untuk pengangkutan produk pangan organik harus dibersihkan dulu dengan menggunakan metode dan bahan yang diijinkan digunakan untuk sistem produksi pertanian organik.

Sertifikasi pangan  olahan organik
Untuk sertifikasi organik, prosesor dapat mengajukan sertifikasi kepada lembaga sertifikasi organik. Lembaga sertifikasi akan memberikan formulir aplikasi untuk pengolahan organik, kemudian diisi dan dikembalikan ke lembaga sertifikasi organik dilengkapi dengan dokumen terkait, seperti dokumen sistem mutu produk organik.
Apabila kita telah menerapkan sistem keamanan pangan seperti HACCP atau ISO 22000, sistem mutu produk organik dapat menjadi bagian dari sistem tersebut. Sistem tersebut diterapkan sesuai dengan standar organik yang diacu dan didokumentasikan.
Inspektor dari lembaga sertifikasi akan mengecek seluruh proses produksi dan fasilitas yang digunakan termasuk dokumentasi dan resep produk untuk memastikan bahwa proses produksi yang dilakukan sesuai dengan standar pangan organik. Apabila kita memperoleh bahan baku yang belum disertifikasi, maka sumber bahan baku menjadi subjek inspeksi. Tentunya ini memerlukan waktu dan biaya inspeksi yang lebih mahal. Disarankan agar prosesor menggunakan bahan baku yang telah disertifikasi organik. Standar organik yang digunakan sebagai acuan untuk sertifikasi organik tergantung pada tujuan pasarnya. Untuk itu, prosesor perlu mengidentifikasi lembaga sertifikasi yang kredibel sehingga produk organik yang telah disertifikasinya dapat diterima pasar.

Pelabelan pangan olahan organik
Produk pangan dapat dilabel sebagai produk olahan organik, apabila mengandung bahan pangan organik minimal 95% dari total volume atau berat produk, tidak termasuk garam dan air. Label “Organik” ini dapat dicantumkan pada kemasan produk, namun ukurannya tidak melebihi dari ukuran label produk. Dalam SNI, untuk produk olahan yang mengandung bahan pangan organik kurang dari 95% namun lebih dari 70%, maka produk tersebut tidak dapat dilabel sebagai produk “Organik”. Namun dalam daftar ingridien, bahan pangan organik dapat dicantumkan dan ditampilkan dalam susunan menurun berdasarkan berat. Informasi dalam daftar ingridien tampil dengan warna yang sama dan dengan jenis serta ukuran huruf yang sama seperti informasi dalam daftar ingridien yang lain Dalam label dan iklan produk olahan organik dilarang memuat keterangan yang menyatakan kelebihan pangan olahan organik dari pangan non organik. Jadi klaim bahwa produk organik lebih menyehatkan atau sejenisnya dilarang dicantumkan dalam label dan iklan produk olahan organik.

Regulasi nasional pangan olahan organik 
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) menerbitkan aturan pengawasan pangan olahan organik yang diproduksi atau dimasukkan untuk diperdagangkan ke dalam wilayah Indonesia. Peraturan Kepala Badan POM nomor HK.00.06.52.0100 tertanggal 7 Januari 2008 mewajibkan setiap produk olahan organik memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan serta memenuhi ketentuan tentang pelabelan dan periklanan yang berlaku. Pangan olahan organik mengandung bahan pangan organik minimal 95% dari total volume atau berat produk, tidak termasuk garam dan air. Bahan yang sama tidak boleh berasal dari pencampuran bahan organik dan non-organik.
Ijin edar produk olahan organik dikeluarkan oleh Badan POM. Bagi produk olahan organik lokal, produk olahan menggunakan pangan segar organik yang telah disertifikasi organik oleh Lembaga Sertifikasi Pertanian Organik yang terakreditasi di Indonesia. Bagi pangan olahan impor, produk tersebut telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh otoritas kompeten di negara asal dan disahkan oleh Otoritas Kompeten Pertanian Organik Departemen Pertanian [OKPO Deptan] Indonesia.
Peraturan ini juga mengatur pelabelan produk olahan organik. Produk pangan olahan organik yang memenuhi aturan ini dapat melabel produknya dengan mencantumkan kata ”organik” setelah nama jenis pangan dan logo ”ORGANIK INDONESIA” sehingga konsumen dapat mengenali produk olahan organik yang telah terdaftar di Badan POM.
Dalam label produk, ukuran kata “organik” tidak boleh melebihi ukuran huruf untuk nama jenis produk. Selain itu, produsen organik dilarang mengklaim kelebihan produk organik dibandingkan produk konvensional. Prosesor atau pemasar produk olahan organik dapat memperoleh ijin edar produk olahan organik dengan mengajukan pendaftaran ke Badan POM disertai contoh kemasan atau label produk yang didaftarkan. Izin yang sudah dikeluarkan Badan POM berlaku selama 5 tahun.

Pasar pangan organik dunia
Permintaan produk organik global tetap meningkat. Menurut Organic Monitor [2006], pasar produk organik dunia -baik makanan dan minuman- mencapai 38,6 milyar US dolar pada tahun 2006 atau meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar 18 milyar US dolar. Eropa dan Amerika Serikat menjadi pasar utama produk organik.
Sementara pasar Asia diperkirakan mencapai 780 juta US dollar di tahun 2006. Pasar produk organik Asia berada di Jepang, Korea Selatan, Singapura, Taiwan dan Hongkong. Diharapkan pada akhir tahun 2010, pasar produk organik dunia diperkirakan mencapai 70,2 milyar US dolar.
Namun sayang, kita tidak memiliki data mengenai pasar produk organik di Indonesia. Namun begitu, bila kita berjalan ke beberapa outlet yang khusus menjual produk organik di Jakarta atau Surabaya, ditemukan beragam produk olahan organik, dimana sebagian besar merupakan produk impor.
Indonesia memiliki potensi sebagai produsen produk organik dunia. Di akhir 2008, Indonesia diperkirakan memiliki 89.190 hektar lahan yang telah disertifikasi organik atau meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2007 seluas 41.431 hektar. Kopi, kakao, mete, rempah-rempah dan tanaman obat, gula aren, udang, madu hutan, kelapa dan produk turunannya, minyak atsiri merupakan produk organik andalan Indonesia. Untuk kopi dan kakao diekspor dalam bentuk bahan baku. Sementara untuk produk lainnya diolah menjadi pangan organik dan diekspor ke pasar Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar